Namun, demikian ada sejumlah detail yang pada akhirnya membuat hasil akhir sungguh mencengangkan.
Pertama, efektivitas. City boleh menguasai pertandingan. Kevin De Bruyne dan kawan-kawan boleh saja membuat Courtois lebih sibuk dari Ederson, terutama di babak pertama.
Namun, dari berbagai upaya di babak pertama melalui Mahrez, De Bruyne, Silva, hingga Foden, tak satu pun yang berakhir gol.
Begitu juga di menit akhir pertandingan, tembakan Jack Grealish berhasil digagalkan Ferland Mendy dan aksi Courtois benar-benar menyelamatkan gawangnya. Satu-satunya penyelematan Ederson di waktu normal adalah upayanya menggagalkan "hat-trick" Rodrygo.
Kedua, mentalitas. City memang siap untuk menampilkan permainan apik. Namun, mereka sepertinya tidak siap ketika Benzema mencetak gol yang membuat Madrid menarik pendulum kemenangan ke arah mereka.
Gol ini benar-benar memukul City. Sampai-sampai kita tak melihat para pemain City ingin bangkit. Saat peluit akhir dibunyikan para pemain terpaku seperti tanpa emosi.
Di sisi berbeda, para pemain Madrid menunjukkan itu. Mereka sudah mengalami sejumlah situasi sulit sejak babak-babak sebelumnya.
El Real hampir tersingkir di babak 16 besar. Namun, mereka berhasil bangkit dari ketertinggalan 0-2. Di babak perempat final situasi tak jauh berbeda. Dalam posisi tertinggal, Rodrygo memaksa pertandingan berlanjut ke perpanjangan waktu dan Benzema akhirnya menunjukkan tuahnya dengan gol di menit-menit akhir.
Bila Liverpool sebelumnya menyandang predikat sebagai "raja comeback" dan itu terjadi beberapa musim lalu saat menghadapi Barcelona, maka musim ini sebutan tersebut sepertinya lebih tepat diberikan kepada Madrid.
Madrid menunjukkan itu dalam tiga laga besar yang mencengangkan. Dan sebutan itu masih akan bertahan hingga ada tim lain yang bisa menunjukkan dengan cara yang lebih dramatis dan konsisten.
Madrid sepertinya sudah terbiasa menghadapi situasi penuh tekanan. Mereka pun sudah tahu bagaimana caranya bangkit.