Aku cukup mengenal dia. Dia adalah kakak kelas dan senior-ku. Kami pernah berada di bawah satu atap. Walau hanya dalam waktu  singkat, kesimpulanku lebih dari cukup menggambarkan siapa dia.
Orangnya rajin. Ia selalu bekerja sebelum waktu bekerja dimulai dan belum akan usai walau jam bekerja sudah usai. Ia tak banyak bicara. Senyuman adalah senjatanya.
Sosok yang sangat disiplin dan ringan tangan untuk bekerja itu tak berparas seperti orang Flores khususnya atau Nusa Tenggara Timur (NTT) umumnya. Dari potongan wajahnya benar kiranya bila ia kerap disapa mas.
Ya, walau mengaku berasal dari Flores bagian barat, tetapi ia tak bisa menyembunyikan jejak keturunan Jawa yang mengalir dalam diri dan membentuk rupanya. Sungguh tak ada kepalsuan padanya!
Dia adalah Robertus Belarminus Asiyanto. Kami biasa memanggilnya Mas Yanto. Sejak Oktober 2015 sebutannya bertambah dengan kata "pastor," "pater", atau "romo."
Saat ia diurapi menjadi pastor Katolik di Seminari Tinggi Santu Paulus Ledalero, Maumere, Flores, kabar itu seketika tersebar luas. Namanya disebut-sebut seiring beredarnya potongan gambar di media sosial yang menunjukkan sosoknya dengan pakaian kebesaran seorang pastor Katolik didampingi wanita muslimah.
Ada potongan gambar ketika wanita berkerudung hitam itu menumpangkan tangan dengan hikmat di atas kepala Pater Yanto yang berlutut takzim. Penumpangan tangan menjadi simbol pemberian restu atau dukungan.
Pada kesempatan berbeda, wanita yang tak muda lagi itu terlihat begitu berseri-seri. Ada rona kegembiraan di balik keriput kulitnya.
Wanita bernama Siti Asiyah itu adalah ibu dari Pater Yanto, SVD. Ia bergembira karena bisa ikut mengantar putranya menjadi seorang pastor atau imam Katolik.
Majemuk
Cerita Pastor Yanto itu sungguh berkesan. Kisahnya mengirim pesan yang kuat. Seorang wanita muslim yang tanpa sungkan dan takut memberikan restu bagi putranya untuk menjadi pelayan dan pewarta kabar gembira sekaligus misionaris Katolik.
Sebagai orang yang pernah mengenal Pastor Yanto, kisah tersebut ikut meletupkan rasa bangga dan haru dalam diriku. Saya angkat topi tinggi-tinggi untuk keluarga Pastor Yanto. Saya sekaligus berterima kasih karena keluarga itu telah memberi teladan dan inspirasi baru tentang indahnya kemajemukan.
Perbedaan keyakinan bukan sebuah kecelakaan. Bukan pula tabu. Ibu Situ tahu hal tersebut hanyalah soal pilihan. Anaknya menjadi Pastor Katolik, tetapi tujuan akhirnya tetaplah sama. Mengabdi demi keselamatan manusia dan ikut memuji kebesaran Dia yang satu dan sama.
Cerita Ibu Siti adalah satu dari sekian banyak guratan toleransi yang sudah, sedang, dan akan terus membentuk penghuni NTT. Provinsi kepulauan dengan 21 kabupaten dan satu kota madya.
Pembagian wilayah administratif itu terus berubah untuk menangkup jumlah penduduk yang kian bertambah. Lebih dari itu, di balik pembagian wilayah itu sesungguhnya terkandung jauh lebih banyak perbedaan suku dan ras, serta menjadi ruang berseminya semua keyakinan baik yang diakui secara resmi oleh negara maupun yang masih menjadi bagian dari keyakinan tradisional.
Menukil data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), jumlah penduduk NTT per Juni 2021 adalah 5,48 juta jiwa. Sebagian besar, sekitar 2,94 juta (53,61 persen) adalah penganut Katolik.
Sisanya memeluk Kristen (sekitar 1,98 juta jiwa atau 3,68 persen), Islam (517,74 ribu atau 1,44 persen), Hindu (5,87 ribu atau 0,11 persen), dan Budha (0,01 persen). Selain itu, ada puluhan penganut Konghucu dan cukup banyak, sekitar 35,88 ribu (0,65 persen), menganut aliran kepercayaan tertentu.
Keberagaman keyakinan itu masih beririsan dengan begitu banyak pertalian darah dan hubungan kekeluargaan serta perkawinan yang melintasi suku dan agama.
Adalah pemandangan yang biasa di NTT mendapati suatu wilayah dihuni oleh penduduk dari latar belakang kepercayaan dan budaya berbeda. Bahkan dalam satu keluarga, pemandangan seperti keluarga Pater Yanto bukan lagi hal yang aneh.
Berbagi lahan parkir
Melihat gereja dan masjid berdiri berdampingan sudah menjadi pemandangan yang saya jumpai sejak kecil hingga hari ini.
Di Bajawa, Kabupaten Ngada, tempat dari mana saya lahir dan menghabiskan masa kecil, sebuah gereja Protestan saling berhadapan muka dengan masjid raya. Tak jauh dari situ berdiri gedung gereja Katolik.
Kita tidak hanya melihat fisik tempat-tempat ibadah itu seperti saling menatap. Lalu lintas umat beragama pun tidak pernah saling bergesekan. Walau hanya dipisahkan sebuah ruas jalan utama, hubungan di antara para pemeluk selalu harmonis.
Saat hari raya keagamaan tiba, berbagai kelompok keagamaan itu ikut terlibat. Saat umat muslim merayakan Idul Adha misalnya, umat beragama lain akan dilibatkan dan merasa perlu dilibatkan sebagai panitia.
Begitu juga sebaliknya. Saat Hari Natal atau Paskah, tidak sedikit remaja masjid yang ikut mengamankan perayaan. Mereka aktif menjaga keamanan dan turut membantu mengatur ketertiban umat dan lalu lintas kendaraan.
Situasi seperti ini mudah dijumpai di banyak tempat di NTT. Di Kupang, Gereja HKBP Kota Baru dan Masjid Al-Mutaqin bersisian. Lantunan ayat-ayat suci al-Quran dan gema lagu-lagu rohani Kristen silih berganti mengisi ruang pendengaran umat sekitar.
Kala Ramadan datang, umat Kristen sudah paham dengan sendirinya akan berbagai kegiatan keagamaan yang akan dilaksanakan di sekitar masjid mulai dari tarawih hingga aneka perlombaan.
Pada hari Minggu, pihak masjid baru melakukan kegiatan tambahan setelah kebaktian digelar. Sebaliknya, kebaktian di gereja akan selesai sebelum waktu salah dzuhur.
Tidak hanya tak ingin mengganggu sesama, saling pengertian yang sudah terbangun itu pun termanifestasi dalam urusan parkir. Mengingat lahan parkir terbatas, maka para pemeluk saling berbagi ruang.
Bahkan, halaman masjid pun diperkenankan untuk memarkir mobil saat ibadah hari Minggu. Begitu juga sebaliknya. Pada hari Jumat, pemuda gereja dengan sukarela membantu dan menyediakan lahan parkir untuk umat Muslim yang hendak beribadah.
Toleransi Tertinggi
Saya cukup tersentak ketika belum lama ini SETARA Institue merilis Indeks Kota Toleran (IKT) 2022. SETARA menggunakan empat variabel dan delapan indikator untuk mengukur tingkat toleransi di 94 kota di Tanah Air.
SETARA kemudian menyimpulkan dalam daftar kota paling toleran dan kota paling tidak toleran. Kota dengan skor paling sedikit dari sejumah variabel dan indikator itu akan masuk dalam kelompok tidak toleran. Demikian juga sebaliknya.
Kategorisasi soal toleransi juga dibuat Kementerian Agama melalui Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) di Indonesia tahun 2021. Dari indeks tersebut bisa dibaca gejala intoleransi, ekstremisme, dan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip kebhinekaan lainnya.
Kesimpulan yang ditarik Puslitbang Kementerian Agama, indeks kerukunan umat beragama 2021 di Indonesia  semakin membaik dengan mencapai skor tertinggi yakni 72,39, di banding tahun-tahun sebelumnya. Konklusi itu diambil dari datar 13.600 responden dari 34 provinsi di Indonesia.
Indeks tersebut mengalami peningkatan, seiring skor yang dinamis dari tahun ke tahun. Menariknya, melansir Merdeka.com (20/12/2022), NTT meraih 84,2, skor tertinggi di banding daerah-daerah lain. Dalam hal ini, NTT yang kerap diplesetkan dengan Nanti Tuhan Tolong karena berbagai keterbelakangan boleh berbangga dengan akronim positif sebagai Nusa Toleransi Tertinggi.
Data-data di atas tentu masih bisa difalsifikasi dan divalidasi. Bisa saja, tidak mewakili kondisi sesungguhnya dan keseluruhan. Dengan kata lain, hanya bersifat sebagian mewakili keseluruhan.
Bisa juga dibaca secara positif. Menjadi semacam pengingat bahwa urusan toleransi di Nusantara yang sangat kaya akan suku, agama, ras, dan berbagai latar belakang sosial-kultural masih menjadi pekerjaan rumah bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H