Melihat gereja dan masjid berdiri berdampingan sudah menjadi pemandangan yang saya jumpai sejak kecil hingga hari ini.
Di Bajawa, Kabupaten Ngada, tempat dari mana saya lahir dan menghabiskan masa kecil, sebuah gereja Protestan saling berhadapan muka dengan masjid raya. Tak jauh dari situ berdiri gedung gereja Katolik.
Kita tidak hanya melihat fisik tempat-tempat ibadah itu seperti saling menatap. Lalu lintas umat beragama pun tidak pernah saling bergesekan. Walau hanya dipisahkan sebuah ruas jalan utama, hubungan di antara para pemeluk selalu harmonis.
Saat hari raya keagamaan tiba, berbagai kelompok keagamaan itu ikut terlibat. Saat umat muslim merayakan Idul Adha misalnya, umat beragama lain akan dilibatkan dan merasa perlu dilibatkan sebagai panitia.
Begitu juga sebaliknya. Saat Hari Natal atau Paskah, tidak sedikit remaja masjid yang ikut mengamankan perayaan. Mereka aktif menjaga keamanan dan turut membantu mengatur ketertiban umat dan lalu lintas kendaraan.
Situasi seperti ini mudah dijumpai di banyak tempat di NTT. Di Kupang, Gereja HKBP Kota Baru dan Masjid Al-Mutaqin bersisian. Lantunan ayat-ayat suci al-Quran dan gema lagu-lagu rohani Kristen silih berganti mengisi ruang pendengaran umat sekitar.
Kala Ramadan datang, umat Kristen sudah paham dengan sendirinya akan berbagai kegiatan keagamaan yang akan dilaksanakan di sekitar masjid mulai dari tarawih hingga aneka perlombaan.
Pada hari Minggu, pihak masjid baru melakukan kegiatan tambahan setelah kebaktian digelar. Sebaliknya, kebaktian di gereja akan selesai sebelum waktu salah dzuhur.
Tidak hanya tak ingin mengganggu sesama, saling pengertian yang sudah terbangun itu pun termanifestasi dalam urusan parkir. Mengingat lahan parkir terbatas, maka para pemeluk saling berbagi ruang.
Bahkan, halaman masjid pun diperkenankan untuk memarkir mobil saat ibadah hari Minggu. Begitu juga sebaliknya. Pada hari Jumat, pemuda gereja dengan sukarela membantu dan menyediakan lahan parkir untuk umat Muslim yang hendak beribadah.