Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Teringat "Kaidah Emas" ala Quraish Shihab

8 April 2022   22:49 Diperbarui: 9 April 2022   04:52 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prof. Quraish Shihab: Najwa Shihab/Youtube via Kompas.com

Sejak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan status pandemi pada 11 Maret 2022, virus Covid-19 belum juga enyah dari muka bumi. Malah, entah sadar atau tidak, sengaja atau tidak, kita sudah berkarib dengannya.

Kita hidup berdampingan dengan virus yang terus bermutasi. Bahkan kita sedang menuju pintung gerbang endemi.

Dengan penuh sesal dan sedih, kita mengenang jutaan nyawa yang sudah tiada. Tak terhitung dampak ekonomi, sosial, psikis, dan turunannya yang masih terasa hingga hari ini.

Memang sungguh mahal harga yang sudah kita bayar. Namun, harga tersebut tentu tidak setinggi bila kita tidak bergandeng tangan memutus mata rantai penyebaran.

Seandainya protokol kesehatan tidak terserap dalam kamus kehidupan kita saban hari dan berbagai kebijakan tidak lekas diambil pemerintah dan pihak-pihak terkait, maka sulit dibayangkan dampak yang kini terjadi.

Kita masih bisa bertahan dan tegak berdiri hingga hari ini adalah anugerah tersendiri yang patut disyukuri. Serentak sebuah kenyataan yang membuat kita patut  mengamini bahwa kita bertahan bukan semata-mata karena perjuangan kita sendiri.

Kita bertahan karena ada campur tangan yang lain. Persis dalam situasi kritis seperti ini salah satu butir refleksi filsuf eksistensialis Prancis, Gabriel Honor Marcel menjadi kian relevan. Keberadaaan kita adalah bersama yang lain. Istilah klasiknya adalah esse est co-esse.

Kaidah emas

Demikian salah satu pesan penting dari Prof. Dr. AG. KH. Muhammad Quraish Shihab, Lc., M.A. Cendekiawan muslim yang pernah menjadi  Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII menekankan hal tersebut dalam salah satu edisi Mata Najwa yang dipandu putrinya sendiri, Najwa Shihab.

Pada acara bertajuk "Setop Stigma Corona" itu pendiri Pusat Studi Al-Qur'an (PSQ) ini mengajak penonton untuk mengedepankan kemanusiaan di atas segalanya.

Dalam situasi seperti saat ini berbagai stigma dan cap buruk sebaiknya ditepikan. Apalagi bila dibangun dari pendasaran dan alasan sentimental dan dangkal.

Kita tahu sepanjang pandemi ini kita berhadapan dengan berbagai informasi, pemberitaan, hingga kenyataan yang mudah menarik hati dan diterima begitu saja. Kecemasan dan ketidaktahuan yang saling berpelukan justru membuat kita dengan mudah termakan stigma dan ikut-ikutan menyebarkannya.

Kondisi seperti ini benar-benar menuntut kerja sama dan kerja bersama. Keterlibatan bersama adalah harga mati karena pandemi ini memukul setiap orang tanpa terkecuali dan menyeret kita ke dalam berbagai masalah tanpa pandang bulu.

Untuk itu, hemat saya, pesan ulama tafsir beken itu sungguh tepat. Itu sangat menyentuh, sebagaimana diserukan oleh para pemimpin bangsa di dunia.

Saya kutip salah satu pernyataannya. "Kita harus tonjolkan kemanusiaan ini. Kita harus ingat apa yang terjadi pada orang lain, bisa terjadi pada kita. Jika kita ingin sesuatu yang baik pada kita dan keluarga, maka demikian juga kita berlaku ke orang lain."

Profesor Quraish Shihab mengingatkan kita agar selalu berbela rasa dan tak boleh ingat diri. Yang perlu kita tonjolkan adalah empati dan solidaritas, bukan egoisme.

Pada gilirannya, kebaikan yang kita lakukan pada orang lain akan memberikan pengaruh pada diri sendiri. Begitu juga sebaliknya.

Petuah ini persis seperti kaidah emas (golden rule) yang dipopulerkan Hans Kung, teolog Jerman. "Jangan lakukan pada orang lain apa yang yang kamu tidak ingin orang lain lakukan padamu."

Secara positif bisa dikatakan demikian. "Lakukanlah pada orang lain, apa yang kamu harapkan orang lain lakukan padamu."

Kita mematuhi protokol kesehatan dengan mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak akan berdampak tidak hanya pada kita, tetapi pada orang lain. Bila kita menunjukkan contoh yang positif dan keteladanan yang semestinya maka hasilnya akan dirasakan oleh banyak pihak. Himbauan tersebut perlu menjadi pegangan bersama agar dampaknya bisa dirasakan bersama.

Itulah mengapa perjuangan menghadapi pandemi ini adalah perjuangan bersama. Sebagai sesama yang tak bisa hidup seperti sebuah pulau di tengah lautan sepi, sudah menjadi panggilan dasariah kita untuk selalu berelasi dengan yang lain.

Relasi itu, mengikuti Abi Quraish Shihab hendaknya dibangun di atas prinsip-prinsip kemanusiaan universal, bukan kepentingan diri dan kelompok sendiri.

Profersor Quraish dari kedalaman dan keluasan ilmunya sudah mengirim pesan yang berdaya menembus batas ruang dan waktu, serta mendobrak berbagai sekat primordial. Seruan itu masih aktual dan akan terus seperti itu tidak hanya saat pandemi, yang masih berlangsung meski hari-hari keagamaan kita datang dan pergi, tetapi bernilai sepanjang hayat.

Ada petuah lain dari  Profesor Quraish yang sempat saya simak dari stasiun televisi swasta lainnya. Saat itu ia berbicara tentang persetujuan bersama. Memang tidak mudah untuk mencapai konsensus baik dalam tataran teori maupun praktik. Kita perlu berpegang pada tuntunan agama dan budaya positif masyarakat. 

Selama kita berpegang pada prinsip tersebut, maka kita tak perlu terpenjara pada suara-suara miring yang sejatinya hanya akan menghambat kita untuk melangkah maju.

Pesan lainnya yang masih terekam dalam benak berbunyi seperti ini.

"Siapa yang mendambakan teman tanpa kekurangan, dia akan hidup sendirian...Dan bagi mereka yang menuntut kerabat yang tidak bersalah, maka sepanjang masa ia memutuskan silaturahmi."

Bulan Ramadan yang istimewa ini sekiranya menjadi momentum kita untuk mempertajak solidaritas dan kemanusian serta  mengamalkan secara konsekuen dalam hidup sehari-hari. 

Terima kasih Prof Quraish untuk petuahmu. Semoga kami selalu mengamini dan mengamalkannya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun