Â
Hari ini, Rabu, 2 Maret 2022 menjadi salah satu hari penting bagi umat Katolik sejagad. Hari ini umat Katolik merayakan hari Rabu Abu. Hari dimulainya masa puasa yang berlangsung selama 40 hari ke depan hingga 16 April 2022. Dimulainya masa Prapaskah, sebelum Hari Raya Paskah.
Gereja Katolik memiliki pendasaran kanonis dan teologis tersendiri. Para pemeluknya pun diarahkan dan diharapkan untuk sejauh dapat mengikuti ketentuan terkait pantang dan puasa.
Misalnya, pantang dan puasa pada Rabu Abu dan Jumat Agung; pantang pada tujuh Jumat selama masa Prapaskah hingga Jumat Agung; Â berikut kewajiban pantang bagi umat yang genap berusia 14 tahun ke atas dan puasa untuk mereka yang usia dewasa (18 tahun) hingga 60 tahun (Kitab Hukum Kanonik no.1252). Dan masih banyak lagi.
Puasa secara sederhana bisa diartikan sebagai makan kenyang hanya sekali sehari. Sementara itu, tidak mengkonsumsi daging, ikan, garam, dan sebagainya pada hari tertentu disebut pantang.
Di balik ketetapan tersebut terbersit sekelumit pertanyaan. Apa makna sesungguhnya di balik ketetapan tersebut? Apakah semata-mata sebuah kewajiban yang dijalankan sebagai suatu formalitas saban tahun? Karena saya atau kita Katolik maka saya atau kita seharusnya menjalaninya sebagai seorang pemeluk teguh?
Kitab Hukum Kanonik (Kan. 1249) menulis demikian. "Semua orang beriman kristiani wajib menurut cara masing-masing melakukan tobat demi hukum ilahi; tetapi agar mereka semua bersatu dalam suatu pelaksanaan tobat bersama, ditentukan hari- hari tobat, dimana umat beriman kristiani secara khusus meluangkan waktu untuk doa, menjalankan karya kesalehan dan amal-kasih, menyangkal diri sendiri dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara lebih setia dan terutama dengan berpuasa dan berpantang, menurut norma kanon-kanon berikut."
Ada sejumlah poin refleksi yang bisa diangkat. Pertama, masa Prapaskah yang dimulai secara resmi dengan menerima abu yang dioles di dahi pada Rabu Abu menjadi simbol pertobatan. Sebagai makhluk fana, bertubuh dan berjiwa tak seorang pun lepas dari salah dan dosa. Saatnya untuk ber-metanoia.
Kedua, jalan pertobatan yang bisa ditempuh adalah melalui puasa, pantang, dan matiraga. Mengurangi berbagai kenikmatan diri atau hal-hal yang menyenangkan diri seperti mengkonsumsi daging dan sebagainya. Â Belajar untuk bisa mengendalikan diri, bahkan melepaskan diri dari keinginan daging.
Ketiga, saat mengendalikan diri menjadi kesempatan untuk lebih dekat dengan Tuhan dan sesama. Puasa dan pantang perlu dibarengi dengan semangat untuk memperbaharui dan memperdalam relasi baik secara vertikal (dengan Tuhan) maupun horizontal (dengan sesama). Diharapkan kita mendapatkan pengalaman hidup rohani dan sosial yang semakin dalam.