Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Ketika Ronald Koeman dan Solskjaer Menolak Mundur, Berapa Lama Mereka Sanggup Bertahan?

25 Oktober 2021   22:45 Diperbarui: 25 Oktober 2021   23:03 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelatih Barcelona, Ronald Koeman: dailymail.co.uk

Ronald Koeman dan Ole Gunnar Solskjaer adalah dua pelatih paling malang pekan ini. Tim-tim yang mereka pimpin menelan pil pahit. Terjadi dalam pertandingan penting dan sarat gengsi. Hampir terjadi di waktu bersamaan.

Koeman dan Barcelona tersungkur di kandang sendiri saat menjamu Real Madrid. Bermain di hadapan sekitar 86 ribu Cules yang tengah bersemangat tinggi kembali ke tribun Camp Nou, Minggu (24/10/2021) malam WIB setelah periode panjang pandemi Covid-19 yang membatasi ruang gerak mereka, Blaugrana malah takluk 1-2.

Sementara itu, pada hari yang sama, Manchester United yang ditangani Solskjaer dipermalukan Liverpool. Old Trafford yang biasanya menjadi panggung perwujudan mimpi-mimpi besar Setan Merah justru berubah menjadi palagan kesengsaraan. Tuan rumah "dibantai" lima gol tanpa balas.

Bagi Koeman kekalahan di El Clasico jilid pertama musim ini mengandung banyak makna. Tidak sekadar kehilangan angka di laga kandang untuk menggerek posisi di tabel klasemen sementara LaLiga.

Lebih dari itu, ini soal kinerjanya sebagai juru taktik yang tak juga mampu "pecah telur" saat bersua rival abadi itu. Usai menjadi pelatih Barca, Koeman belum pernah menang atas El Real. Tiga pertemuan selalu berujung kecewa.

Sementara itu, Madrid mencatatkan empat kemenangan dalam duel klasik ini secara beruntun, pertama kali sejak berhasil meraih tujuh kemenangan pada periode 1960-an.

Selain itu, hasil minor ini memperpanjang catatan negatif eks pelatih timnas Belanda sejak menjadi pelatih Barca tahun lalu. Sebelum dipermalukan Madrid, Koeman gagal menyelamatkan wajah timnya dari kekalahan atas Bayern Muenchen dan Benfica di penyisihan grup Liga Champions. Ditambah lagi, takluk dari juara bertahan LaLiga, Atletico Madrid.

Ole Gunnar Solskjaer: manchestereveningnews.com
Ole Gunnar Solskjaer: manchestereveningnews.com

Hasil buruk ini semakin menggerus kepercayaan fan kepadanya. Membuat manajemen klub tak bisa tidak semakin merasa malu karena reputasi klub yang semakin tercoreng.

Tak heran setelah pertandingan, Koeman digeruduk para penggemar Barca yang sudah tak sanggup melihat tim kesayangannya terus menuai hasil buruk.

Lebih dari tiga poin

Pertandingan El Clasico kali ini menjadi yang pertama tanpa Lionel Messi dan Sergio Ramos di kedua kubu. Menariknya, kedua pemain yang kerap berseteru dan bersitegang di lapangan itu justru menjadi rekan setim. Paris Saint-Germain (PSG) dengan kekuatan uang tak berseri sukses mempersatukan mereka pada musim panas ini.

Sebagai gantinya, David Alaba dan Lucas Vazquez yang mengambil panggung. Begitu juga, Sergio Aguero yang sempat merasa di-"prank" Messi dan Barca.

Ketiga pemain ini menjadi pencetak gol di laga ini. Alaba di menit ke-32 dan dua gol lainnya terjadi di masa injury time: Vazquez di menit ke-90+4 dan Aguero tiga menit berselang.

Menariknya lagi, Alaba dan Aguero adalah pemain yang belum lama berseragam Madrid dan Barca. Sehingga gol mereka adalah yang pertama dalam catatan El Clasico mereka.

Bagi Barca kekalahan ini membuat mereka terdampar di posisi sembilan. Madrid berada di arah berlawanan yakni semakin mendekati puncak klasemen.

Apa yang terjadi dengan Koeman dan Barca kali ini? Apakah faktor Messi menjadi sebab utama kegagalan?

Kedua pertanyaan ini sesungguhnya sudah sering ditanyakan dan selalu mengemuka setiap kali Barca mendulang hasil buruk.

Tanpa perubahan signifikan, performa Barca sepertinya akan stagnan. Tetap mengandalkan amunisi yang ada hasil akhir tidak akan banyak berubah dari pertandingan ke pertandingan.

Selain sumber daya pemain yang baru didatangkan seperti Aguero dan Memphis Depay, Barca masih harus menunggu untuk melihat para pemain muda seperti Pedri, Ansu Fati, hingga Gavi mencapai level terbaik.

Gavi yang baru berusia 17 tahun menjadi starter El Clasico termuda sejak 1941. Kehadirannya belum memberikan dampak signifikan.

Walau mencatatkan penguasaan bola 52 persen, Barca hanya mampu dua kali memberikan ancaman kepada Thibaut Courtois. Berbeda dengan Madrid yang memiliki lima "shots on target."

Statistik pertandingan Barcelona versus Real Madrid: bbc.com
Statistik pertandingan Barcelona versus Real Madrid: bbc.com

"Saya tidak senang dengan hasilnya. Saya pikir kami pantas mendapatkan lebih," demikian komentar Koeman usai laga melansir Bbc.com.

Namun, patut diakui, statistik mencatat, penampilan Barca tak lebih baik dari Madrid. Koeman sempat merasa kecewa karena tidak meraih hasil yang diharapkan. Namun, dengan level permainan seperti ini tidak kalah telak tentu sudah lebih dari cukup.

"Dalam pertandingan hari ini kami telah menunjukkan bahwa kami tidak kalah dengan Madrid. Tapi alih-alih unggul 1-0, kami tertinggal 1-0 dan itu memiliki efek besar pada pertandingan."

Tidak kalah secara permainan tetapi ternyata hasil akhir berbicara lain adalah pembelaan Koeman yang tak bisa tidak menghindarinya dari sasaran kemarahan.

"Musim masih panjang dan banyak hal bisa terjadi. Kami harus terus melaju dan memenangkan pertandingan untuk memangkas jarak. Kami sedih hari ini, tapi besok kami mulai bersiap untuk pertandingan berikutnya."

Ia boleh saja merasa seperti masih memiliki masa depan di Catalonia. Pernyataan yang tampaknya terdengar seperti menolak mundur itu sesungguhnya hanyalah kemasan isyarat buruk yang semakin jelas terlihat seperti masih jauh tersamar.

Kekalahan dari Madrid nilainya lebih dari sekadar kehilangan tiga poin. Taruhannya tidak hanya nama baik klub. Tetapi juga nasibnya sendiri.

Ole menolak 

Bila Koeman bersikap samar menyembunyikan kepasrahan, tidak demikian dengan Solskjaer. Pria Norwegia itu tegas menolak mundur walau timnya dipecundangi The Reds dengan skor begitu telak.

Dalam wawancara pasca-pertandingan kepada BBC Radio 5 Live, Ole mengakui ia baru mengalami hari tergelap sebagai pelatih.

Namun, ia tak akan berhenti begitu saja. "Saya telah datang terlalu jauh untuk menyerah. Saya tidak dibangun seperti itu."

Pernyataan itu sudah jelas menunjukkan sikap dan disposisi batinya. Kekalahan yang memukul wajahnya dan wajah klub, tetapi tidak menjadi akhir segalanya, termasuk kariernya di Manchester.

Pertama kali sejak Oktober 1895, Setan Merah menderita kekalahan dengan skor besar. Saat itu, United ditekuk Liverpool di Anfield dengan skor 1-7. Belum pernah terjadi sejak 1955, United kalah dengan selisih lima gol atau lebih di kandang sendiri.

Usai mendapat kritikan pedas dari para penggemar dan melukai hati sejumlah besar fan, Solskjaer tetap tak kehilangan gairah. Ia belum juga mau lempar handuk.

Ia justru merasa masih memiliki masa depan bersama klub yang pernah ia bela sebagai pemain itu. United yang kini terperosok ke posisi ketujuh dengan 14 poin diyakini bisa segera kembali ke jalur positif.

"Saya percaya pada diri saya sendiri, saya yakin saya semakin dekat dengan apa yang saya inginkan dengan klub," demikian keyakinan Solskjaer.

Sejak mengambil alih posisi sebagai manajer pada 2018, kontribusi Solskjaer tidak bisa dianggap remeh. Sejak periode Mourinho yang membawa United ke titik nadir, Solskjaer mampu membangkitkan harapan bagi para penggemar setelah melihat tim seperti tak putus dirundung krisis. Salah satu pencapaian yang patut diapresiasi adalah United kembali pentas di Liga Champions.

Namun, kemenangan dramatis atas Atalanta di Liga Champions beberapa waktu lalu ternyata hanya menghadirkan kebahagiaan semu. Para penggemar kemudian jatuh dalam sakit hati melihat bagaimaan penampilan Harry Maguire dan kawan-kawan kali ini.

Solskjaer memainkan dua gelandang bertahan statis. Empat pemain depan diplot, namun sepertinya kehilangan pola dan enggan membantu pertahanan. Belum lagi, para pemain bertahan United melakukan kesalahan fatal.

United seperti kehilangan skema. Tidak memiliki identitas dan filosofi. Lantas, adakah harapan untuk Solskjaer?

Keputusan kini berada di tangan keluarga Glazer. Apakah masih menaruh harapan pada Solskjaer untuk melewati jalan panjang menuju prestasi atau segera mengambil jalan pintas untuk sekali lagi mendatangkan pelatih berpengalaman?

Bukan hal baru, apalagi aneh, berganti pelatih. Termasuk mendepak mereka yang sebelumnya dianggap berpengalaman dan telah dibaptis sebagai legenda klub. Chelsea menendang Frank Lampard dan menggantinya dengan Thomas Tuchel.  Chelsea hari ini terlihat begitu apik.

Apakah setelah kompak menuai hasil buruk ini, nasib Solskjaer dan Koeman pun akan serupa? 

Sepertinya, setelah berjuang menjaga keseimbangan dan meletakan sejumlah fondasi yang baik, sudah waktunya mereka pergi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun