Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Raheem Sterling, Budapest, dan Kisah Miris Rasisme yang Masih Akrab

3 September 2021   09:58 Diperbarui: 4 September 2021   07:43 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rashford, Sancho, dan Saka adalah tiga pemain Inggris yang mendapat pelecehan rasial dari penggemarnya usai Piala Eropa 2020: Dailymail.co.uk

Semoga penyebutan ini benar. Kadang kita bingung membedakan rasialisme dan rasisme untuk menyebut tindakan pelecehan atas ras atau keturunan tertentu.

KBBI tampaknya tidak tegas membedakan dua kata itu. Rasialisme diartikan sebagai "prasangka berdasarkan keturunan bangsa: perlakuan yang berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda." Atau, "paham bahwa rasa diri sendiri adalah ras yang paling unggul."

Sementara itu ketika kita memasukan kata rasisme di kolom pencarian KBBI maka kita temukan kata rasialisme sebagai jawabannya. Artinya, kedua kata itu dianggap berarti sama. Sama seperti pencarian definisi "racism" di Cambridge Dictionary yang memberi kita arti seperti ini:

"The belief that people's qualities are influenced by their race and that the members of other races are not as good as the members of your own, or the resulting unfair treatment of members of other races."

Sumber lain menyatakan walau mirip, terkadang beririsan, dan dianggap sama, kedua kata itu sebenarnya mengacu pada pengertian berbeda.

Rasisme adalah sesuatu yang tidak rasional dan sering bersifat toxic. Sementara rasialisme lebih rasional, netral secara moral, dan menjadi sesuatu yang tak terhindarkan dari kehidupan masyarakat yang majemuk.

Penjelasan ini masih juga kabur. Masih perlu diperjelas, tentu saja. Dengan tanpa bermaksud berpanjang kata, anggap saja ini jadi pendahuluan untuk mengarahkan kita pada contoh kasus mutakhir yang baru saja terjadi di Kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Eropa antara Inggris versus Hungaria.

Duel itu digelar di Puskas Arena, Jumat (3/9/2021) dini hari WIB. Stadion berkapasitas sekitar 67 ribu lebih penonton itu terletak di Budapest, kota terbesar sekaligus ibu kota Hungaria.

Ada yang mencolok dari laga ini selain kemenangan telak empat gol tanpa balas yang diukir Inggris di hadapan para penggemar tuan rumah. Poin penuh untuk mengokohkan Inggris di puncak klasemen Grup I dengan 12 poin lahir dari sumbangsih gol Raheem Sterling, Harry Kane, Harry Maguire, dan Declan Rice di babak kedua. Sementara itu bagi Hungaria, hasil minior ini, membuat koleksi angka tak bertambah. Dengan tujuh poin, Hungaria sementara ini berada di posisi ketiga.

Yang kemudian menjadi pembicaraan luas itu adalah bagaimana reaksi pendukung tuan rumah pada skuad Inggris sepanjang pertandingan.

Berlutut sejenak sebelum kick-off laga Inggris kontra Hungaria sebagai bentuk gerakan anti-rasisme: Dailymail.co.uk
Berlutut sejenak sebelum kick-off laga Inggris kontra Hungaria sebagai bentuk gerakan anti-rasisme: Dailymail.co.uk

Daftar merah

Pertandingan ini terbilang berisiko. Sebelum pertandingan Fare Network sudah memberikan peringatan pada penyelenggara. FIFA yang selalu meminta penilaian risiko dari lembaga tersebut diberi tahu bahwa duel tersebut masuk "daftar merah."

Bermain di Budapest sungguh tidak kondusif bagi keamanan fisik, apalagi psikis pemain lawan. Laga ini pun dikhawatirkan akan berujung sama dengan yang terjadi pada beberapa pertandingan sebelumnya.

Sebagai lembaga yang ditunjuk otoritas sepak bola dunia untuk memantau perilaku penggemar selama pertandingan, Fare Network mencatat beberapa aksi pelecehan rasial yang terjadi di tempat itu.

"Semua orang dari Ronaldo dan pemain Prancis dilecehkan [selama pertandingan Euro 2020 di Budapest], homofobia dan ada nyanyian monyet pada pemain Prancis dan semua itu menyebabkan UEFA melarang [penggemar] untuk tiga pertandingan," demikian Piara Powar, kepala eksekutif dari Fare Network, menukil Dailymail.co.uk.

Hal serupa menyasar skuad Republik Irlandia.

Kasus-kasus ini menjadi cukup bukti bagi Fare Network untuk menempatkan pertandingan Inggris kontra Hungaria sebagai pertandingan yang patut diwaspadai.

Perlawanan

Inggris tampaknya sadar betul akan hal itu. Namun demikian mereka tetap berangkat dan menghadapi berbagai kemungkinan.

Tidak sampai di situ. Sebagai tim yang kerap menjadi sasaran tindakan tak terpuji dari penggemar, Inggris datang ke Budapest dengan misi berganda. Di satu sisi ingin meraih poin sempurna. Di sisi berbeda bertarung menghadapi tindakan tak terpuji dari fan.

Inggris kemudian menunjukkannya sikap perlawanan dengan berlutut sebelum pertandingan. Tidak hanya para pemain, pelatih Gareth Southgate dan tim pelatih di bangku pemain cadangan pun melakukan hal yang sama. Ini menjadi gerakan anti-rasisme.

Dalam keterangannya sebelum pertandingan, Kalvin Phillips tegas menyatakan para pemain bergeming akan berlutut "karena itu penting bagi kami, penting bagi negara kami dan untuk memerangi pelecehan rasial."

Berada di "sarang" aksi rasisme, jelas tindakan tersebut mengundang tanggapan berbeda. Tak heran aksi tersebut langsung disambut ejekan keras dari pinggir lapangan.

Reaksi yang ditunjukkan penggemar Irlandia, sebagaimana pemberitaan luas yang kita tangkap, persis seperti dialami pemain Irlandia. Gerakan anti-rasisme Irlandia sebelum laga persahabatan di tempat yang sama pada Juni lalu.

Tidak berhenti

Tidak hanya di awal. Aksi tak terpuji pendukung tuan rumah terus berlanjut. Puncaknya saat Raheem Sterling melakukan selebrasi untuk gol yang ia ciptakan. Gol menyambut umpan tarik Mason Mount itu memecah kebuntuan setelah gagal mencetak gol sepanjang babak pertama.

Usai menggetarkan gawang Peter Gulacsi di menit ke-55, bintang Manchester City itu berlari ke pinggir lapangan sambil membuka kaus untuk menunjukkan pesan di baliknya. Di sana tertulis "Love you forever Steffie Gregg."

Stevi diketahui sebagai teman Sterling yang baru saja meninggal pada awal pekan ini. Keduanya sama-sama berusia 26 tahun sehingga bisa dianggap sebagai kawan sebaya.

Sterling menjadi sasaran lembaran mok plastik dari penggemar Hungaria: Dailymail.co.uk
Sterling menjadi sasaran lembaran mok plastik dari penggemar Hungaria: Dailymail.co.uk

Stevi meninggal karena komplikasi Covid-19. Ia adalah keponakan dari produser music Jamaika, Rvsiian dan Twitch yang dikenal cukup populer dengan lebih dari 36 ribu pengikut di Instagram.

Rupanya Sterling ingin mengirimkan simpati pada keluarga Stevi, sekaligus ungkapan cintanya pada sahabatnya itu.

Sayangnya, tindakan tersebut disambut dengan hujan gelas plastik. Aksi yang jelas tak terpuji. Sarat sentimen.

Sepanjang pertandingan nyanyian rasis terdengar dengan mengarah secara khusus pada Sterling dan pemain pengganti muda, Jude Bellingham. Saat pemain 18 tahun itu melakukan pemanasan di sisi lapangan ia disambut dengan nyanyian rasis.  

Jalan panjang

Aksi-aksi ini tentu mengundang keprihatinan. Para pemain Inggris tetap memberikan dukungan kepada Sterling untuk tindakan tak mengenakkan yang ia terima.

Declan Rice membalas ejekan itu. Saat berlari memberi selamat kepada Sterling, ia mengambil salah satu cangkir dan berpura-pura meminumnya, lantas melemparkannya kembali ke lapangan.

Ini tentu bentuk perlawanan simbolis. Rice bukan seorang peminum. Ia pernah mengatakan pada Juni lalu bahwa ia belum pernah minum bir sampai Inggris memenangkan Piala Eropa 2022.

"Tahukah Anda, sampai hari ini saya belum pernah minum bir dan saya berusia 22 tahun. Itulah kebenarannya. Tidak pernah minum bir. Jangan meminumnya," begitu komentar pemain West Ham United sebelum ambil bagian di Euro 2022 yang berakhir dengan kekalahan atas Italia di final di Wembley, London.

Memungut dan bertindak seakan menikmati minuman dengan gelas yang dilempar dari tribun adalah ekpresi antitesis. Ia seakan mengatakan bahwa gelas tersebut seharusnya dipakai untuk meminum bukan untuk melempari seseorang.

Di laga itu Rice tampil baik. Ia mencetak gol keempat, sekaligus mengunci kemenangan timnya.

Hanya saja tidak semua pihak sepaham dengan bentuk-bentuk rasisme seperti ini. Perang menghadapi rasisme pun menjadi tidak mudah.

Perdana Menteri Hungaria, Victor Orban, pernah menunjukkan dukungan pada tindakan penggemar Hungaria yang melakukan pelecehan pada pemain Irlandia. Dalam keterangan setelah lag aitu, Orban menanggap wajar para penggemarnya bereaksi seperti itu karena diprovokasi.

"Jika Anda seorang tamu di suatu negara maka pahami budayanya dan jangan memprovokasinya. Jangan memprovokasi tuan rumah ... Kita hanya bisa melihat sistem gerakan ini dari sudut pandang budaya kita sebagai sesuatu yang tidak dapat dipahami, sebagai provokasi."

Orban membenarkan tindakan para supporter Hungaria karena dianggap memberikan balasan yang wajar atas aksi pemain Irlandia yang berlutut sebelum kick-off.

Namun, bisa diduga komentar tersebut hanya untuk mencari simpati dan pembenaran. Cemoohan tetap cemoohan. Rasisme tetaplah rasisme. Yang dilakukan para pemain Irlandia adalah bentuk perlawanan pada rasisme yang masih belum lenyap dari kehidupan masyarakat yang dianggap sudah maju dan beradab itu.

Timnas Inggris pernah memiliki pengalaman serupa tetapi oleh penggemar berbeda. Saat menghadapi Bulgaria di pertandingan Kualifikasi Euro 2020 di Sofia, sejumlah pemain The Three Lions mengalami pelecehan rasis dari tribun penonton.

Sebelum itu sejumlah pemain seperti Sterling dan Danny Rose menjadi sasaran pelecehan saat Inggris menghadapi Montenegro pada 2019 silam. Nyanyian yang sangat mengganggu kedua pemain itu sampai-sampai membuat pertandingan itu nyaris terhenti.

Selain sikap para pemimpin yang belum pro pada gerakan anti-rasisme, dan fenomena serupa yang masih terjadi di berbegai tempat, skuad Inggris yang menjadi sasaran rasisme kali ini sebenarnya berangkat dari lingkungan yang juga belum steril dari tindakan serupa itu.

Kita masih ingat bagaimana reaksi para penggemarnya terhadap Marcus Rashford, Jadon Sancho dan Bukayo Saka usai final Piala Eropa 2020. Kedua pemain ini menjadi sasaran kemarahan penggemar Inggris setelah gagal mengeksekusi penalti.

Rashford, Sancho, dan Saka adalah tiga pemain Inggris yang mendapat pelecehan rasial dari penggemarnya usai Piala Eropa 2020: Dailymail.co.uk
Rashford, Sancho, dan Saka adalah tiga pemain Inggris yang mendapat pelecehan rasial dari penggemarnya usai Piala Eropa 2020: Dailymail.co.uk

Amuk yang mengemuka di jagad maya tidak hanya menyinggung soal tendangan yang tak mengenai sasaran, tetapi juga menyasar pribadi mereka. Karena mereka berbeda secara fisik dan dianggap berangkat dari keturunan berbeda maka mereka menuai respon yang jauh lebih negatif.

Jadi, perang melawan rasisme adalah jalan perjuangan yang belum diketahui ujungnya. Selama perhatian pada pemain seperti Sterling tidak lebih dari kecakapannya mengolah bola, dan Budapest belum ramah pada tamu yang berbeda-beda, maka perjuangan itu entah sampai kapan akan mengisi ruang tontonan dunia yang diklaim makin hari makin beradab.

Kita tidak bisa menjamin, pengalaman pahit hanya terjadi pada Sterling dan terjadi Budapest semata. Sepertinya selama kita masih menganggap diri superior dan perbedaan adalah petaka, seperti  rasisme dan rasialisme yang masih belum jelas perbedaannya, maka sepanjang itu kita akan mengakrabi masalah-masalahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun