"Iya, mau di mana lagi?" jawab Taufik.
Tidak heran setiap ada turnamen internasional pilihan kita hanya satu: Istora.
Kedua, minim dukungan dan kemauan. Terutama dari pemerintah. Ia memiliki pengalaman tersendiri. Pengalaman itu memberinya kesimpulan, betapa susahnya meminta dukungan pemerintah (daerah) untuk membangun fasilitas badminton.
"Dari zaman gubernurnya Pak Dani, Aher, saya bilang 'Pak minta lapangan, bangun satu di Jawa Barat ini yang bagus," beber Taufik yang ternyata tak disambut pemerintah Jawa Barat.
Menurutnya permintaan itu seharusnya tidak susah dikabulkan. Bila kendalanya adalah dana, pemerintah daerah semestinya bisa berkomunikasi dengan pemerintah pusat.
"Sebenarnya bukan nggak bisa, mau apa nggak? Once (sekali) pemimpinnya bilang mau, bisa, bikin (jadi). Daerah gak ada anggaran? Carilah ke (pemerintah) pusat, kalau memang digunakannya benar."
Ketiga, skala prioritas. Dengan tanpa mengecilkan kontribusi sektor lain, menurut Taufik pemerintah seharusnya bisa memberikan perhatian sesuai dengan skala prioritas prestasi dari setiap cabang olahraga.
Ia mengandaikan sektor-sektor yang mampu memberikan prestasi mendapat perhatian sebanding dengan kontribusinya. Perhatian itu memang harus diberikan kepada semua sektor. Hanya saja perlu ada skala prioritas.
"Seperti di sekolah, ketika ada anak yang berprestasi, ia mendapat prioritas tersendiri," Taufik memberi contoh sederhana.
Prioritas itu mewujud dalam banyak hal. Dukungan fasilitas, hingga jaminan kesejahteraan.