Belum berapa lama Taufik Hidayat genap berusia 40 tahun. Ia mendedikasikan hidupnya untuk bulutangkis, dunia yang membesarkannya pula.
Setelah gantung raket pada 2013 silam pun Taufik masih setia berjuang untuk olahraga tepok bulu. Tujuannya, pertama-tama bukan demi kebesaran namanya. Melainkan untuk Indonesia. Negara kepulauan nan besar dengan 270 juta penduduk. Namun hanya menggantungkan harapan prestasi pada bulutangkis.
Apakah prestasi bulutangkis Indonesia saat ini sebanding dengan kebesaran wilayah dan banyaknya penduduk? Bagaimana perkembangan dan pencapaian bulutangkis tanah air dari waktu ke waktu? Bagaimana pula bila dibandingkan negara-negara lain?
Identik
Indonesia dan bulutangkis hampir tak terpisahkan. Nyaris identik. Dunia mengenal Indonesia melalui cabang olahraga satu ini. Demikian juga, Indonesia memaklumkan eksistensinya melalui prestasi di sektor ini.
Di panggung olahraga internasional, bulutangkis menjadi salah satu, untuk tidak mengatakan satu-satunya, cabang yang membuat harum nama Indonesia.
Statistik membuktikan. Di pentas Olimpiade misalnya, tidak banyak cabang olahraga yang bisa menyumbang medali.
Bila mau jujur, sejak pertama kali ambil bagian di Olimpiade pada 1952 di Helsinski, Finlandia, cabor bulutangkis tak pernah absen menyumbang medali. Bahkan sektor ini sementara ini menjadi satu-satunya yang memungkinkan Indonesia Raya berkumandang. Semoga saya tidak keliru!
Emas pertama Indonesia di pentas Olimpiade diukir di Barcelona, 1992. Susi Susanti dan Alan Budikusuma menjadi pasangan emas. Plus sumbangan perak dari Ardy B Wiranata (tunggal putra) dan Eddy Hartono/Rudy Gunawan (ganda putra) serta perunggu dari Hermawan Susanto (tunggal putra). Itulah era tersukses bulutangkis, mungkin juga olahraga Indonesia di panggung akbar empat tahunan itu.