Memainkan pertandingan final terakhir setelah beberapa kesempatan sebelumnya selalu berakhir antiklimaks bakal mendatangkan perasaan tersendiri bagi seorang pemain. Bayangkan, Olimpiade Tokyo adalah kesempatan terakhir meraih emas. Dan kesempatan itu kini ada di depan mata.
Foluke Akinradewo Gunderson (33 tahun) dan Jordan Larson (34 tahun) sudah merasakan sakit berkali-kali lantaran gagal meraih medali emas. Keduanya sudah menjadi bagian dari skuad AS sejak 2012 di London.
Dalam dua edisi terakhir, London 2012 dan Rio 2016, mereka belum bisa menjadi yang terbaik. Di London, mereka hanya sanggup meraih medali perak. Empat tahun berselang, mereka harus puas dengan medali perunggu.
Sebenarnya sejak 2008, tim putri AS selalu lolos hingga ke semi final. Begitulah sekuat-kuatnya mereka berjuang, masih ada tim-tim lain yang lebih baik. Tiga edisi terakhir selalu berakhir dengan kecewa. Dua medali perka dan satu medali perunggu. Padahal mereka punya kesempatan dan ambisi untuk membawa pulang keping emas.
Hadapi Tekanan
Akinradewo dan Larson memiliki kesempatan terakhir untuk mewujudkan impian emas. Ini momen terakhir bagi keduanya untuk bisa menjadi juara. Sebuah perpisahan manis yang menanti untuk ditandai dengan medali emas.
Penampilan AS sejak penyisihan grup cukup memuaskan. Mereka hanya menderita satu kekalahan. Tergabung di Pool B, AS mampu membungkam Argentina (3-0), Tiongkok (3-0), Turki (3-2), dan Italia (3-2). AS hanya sekali kalah saat berharapan dengan ROC (0-3).
Di babak perempat final mereka menyingkirkan Republik Dominka dengan skor telak, 3-0. Skor serupa kembali ditorehkan di semi final. Serbia yang menjadi salah satu kandidat peraih medali emas dibuat tak berdaya. Kegigihan Tijana Bosokovic dan kawan-kawan mampu diredam dengan kemenangan, 25-19, 25-15, 25-23.
Kemenangan telak pada Jumat, 7 Juni lalu menjadi balas dendam sempurna. Lima tahun lalu di Brasil, Serbia menghentikan langkah AS ke final. AS yang sangat berambisi meraih emas pun akhirnya harus puas dengan perunggu.