Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Inspirasi Greysia/Apri, Atlet "Zaman Now" Bisa Panen Miliaran dan Punya Gerai Bakso

4 Agustus 2021   11:47 Diperbarui: 4 Agustus 2021   12:42 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.instagram.com/ariefmuhammad/

Bangsa Indonesia tentu belum juga "move on" dari kiprah para olimpian kita di panggung Olimpiade Tokyo. Walau pesta olahraga antarbangsa itu tengah berlangsung, sudah dipastikan keran medali Indonesia sudah tertutup.

Medali perunggu yang didapat Anthoni Sinisuka Ginting pada Senin, (2/8/2021) malam WIB lalu adalah pamungkas. Ginting merebut keping medali terakhir itu dari Kevin Cordon asal Guatemala melalui kemenangan straight set 21-11 dan 21-13.

Beberapa jam sebelum itu Musashino Forest Sport Plaza banjir air mata kontingen bulutangkis Indonesia. Kemenangan Greysia Polii/Apriyani Rahayu atas Chen Qingchen/Jia Yifan dari Tiongkok memberi Indonesia satu-satunya medali emas di event empat tahunan itu.

Greys/Apri tampil meyakinkan. Kemenangan dua gim, 21-19, 21-15, membuat Indonesia bangga. Indonesia Raya berkumandang. Sang Saka Merah Putih mengangkasa. Greys/Apri, tim Indonesia, hingga seluruh rakyat yang menyaksikannya dari tanah air larut dalam haru.

Pencapaian Greys/Apri bisa dibilang menjadi puncak perjuangan kontingen Indonesia. Emas itu menjadi persembahan terbaik dari 28 atlet Indonesia yang bertarung di delapan cabang olahraga, mulai dari panahan, atletik, bulutangkis, dayung, menembak, selancar, renang, hingga angkat besi.

Cabang olahraga yang disebutkan terakhir itu berkontribusi satu perak dan dua perunggu. Windy Cantika Aisah dan Rahmat Erwin Abdullah, dua lifter muda Indonesia meraih peringkat ketiga, masing-masing di kelas 49 kg putri dan 73 kg putra.

Sementara itu senior Aisah dan Rahmat, Eko Yuli Irawan mempersembahkan perak. atlet berusia 32 tahun itu menempati posisi kedua di kelas 61 kg putra.

Lima medali edisi kali ini lebih banyak dari Olimpiade Rio 2016. Saat itu tim Indonesia membawa pulang satu emas dan dua perak.

Menariknya, selain jumlah medali kali lebih banyak, tiga medali dari antaranya diraih oleh atlet berusia muda. Ginting, Windy Cantika, dan Rahmat Erwin berstatus debutan di panggung besar itu.

Sumber: https://www.instagram.com/ariefmuhammad/
Sumber: https://www.instagram.com/ariefmuhammad/

Banjir hadiah

Atas pencapain itu mereka pun banjir pujian. Tanpa menyepelehkan perjuangan atlet-atlet lain yang belum mampu naik podium, para peraih medali itu bakal mendapat ganjaran hadiah yang tak sedikit.

Pemerintah sudah menjanjikan bonus Rp5 miliar bagi peraih emas, Rp2 miliar peraih perak, dan Rp1 miliar bagi yang mendapatkan perunggu. Angka tersebut tak berubah dari yang diberikan kepada peraih medali emas lima tahun lalu di Brasil.

Ganjaran material para peraih medali tidak sampai di situ. Di berbaga media dan sosial media kita mendapat pemberitaan sejumlah pihak yang ingin memberikan apresiasi kepada para peraih medali, baik berupa uang, properti, tanah, hingga unit usaha.

Salah satunya pengusaha Gilang Widya Pramana. Bos Juragan99 bakal memberikan Rp500 juta bagi peraih emas, Rp250 juta untuk perak, dan Rp100 juta bagi peraih perunggu.

Youtuber, pengusaha, dan selegram, Arief Muhammad juga memberikan semangat kepada Greys/Apri sebelum partai final. Salah satu postingan di Instagramnya pada 31 Juli berbunyi demikian,

"Sebagai apresiasi untuk prestasi ini, dan sebagai penambah semangat juga untuk keduanya, gue berjanji akan memberikan 2 cabang @basoaciakang untuk mereka, masing-masing 1 cabang baru, jika nanti bisa menang di pertandingan final."

Beri Kebebasan, Bukan Tekanan

Entah siapa lagi dan seperti apa lagi wujud apresiasi yang akan diberikan kepada para peraih medali Olimpiade. Yang pasti apa yang mereka terima tidaklah sedikit. Mereka akan menjadi atlet dengan pendapatan yang tidak sedikit.

Pemberian tersebut  membuat banyak orang berdecak kagum. Ada yang membatin, yang didapat adalah buah dari perjuangan dan kerja keras. Jadi mereka pantas menuai talenta yang sudah Tuhan tabur dan mereka rawat dengan susah payah.

Di sisi lain, prestasi dan banjir hadiah itu membuat tidak sedikit orang berharap merekalah yang berada di posisi para olimpian itu. Meski mustahil dan terdengar lebih sebagai mimpi di siang bolong, hasrat tersebut sebenarnya pengakuan tak sadar bahwa menjadi atlet bisa menghadirkan kebanggaan dan kekayaan.

Atlet adalah profesi yang menjanjikan. Menjadi pemain badminton, atlet angkat besi, dan sebagainya, sebenarnya bisa mendatangkan banyak manfaat.

Bila sebelumnya banyak orang terpenjara pada anggapan apriori bahwa tak bisa menjadi kaya dengan menjadi atlet, apa yang sudah, sedang, dan akan didapat Greys/Apri, Ginting, dan masih banyak atlet lainnya membuat lidah penganggap itu bakalan bungkam.  

Pencapaian para atlet, mulai dari popularitas, nama besar, kekayaan, hingga jaminan masa depan seyogianya membuat banyak orang tua mulai berpikir bagaimana mengarahkan anak mereka untuk mengambil langkah serupa.

Memang setiap olahraga punya jalan dan tantangan tersendiri. Setiap atlet memiliki kisah dan keberuntungan berbeda-beda. Namun ada satu hal yang mengerucut dari perjalanan setiap atlet. Menjadi atlet "zaman now" adalah pilihan yang sangat patut dipertimbangkan setiap orang tua dan generasi muda.

Lantas, bagaimana mengarahkan anak untuk memilih jalur atlet atau olahragawan profesional? Kita bisa berkaca pada perjalanan hidup para olimpian yang namanya sedang menjadi buah bibir.

Memang kebanyakan cerita itu tidak diungkap secara tuntas, juga teknis operasional, melainkan jatuh pada sisi ekstrem tertentu. Kalau tidak dramatis dan tragis, maka serendipitas dan romantis. Kalaupun ada, tetap tak bisa serta-merta di-"copy-paste."

Kisah mereka bukanlah chip yang bisa dicomot lantas ditanamkan dalam diri generasi masa depan untuk dibawa ke mesin produksi prestasi. Itupun kalau ada yang namanya mesin dengan sistem yang sudah tertata baik. Bagaimana bila setiap orang harus berjuang sendiri dan mencari jalan masing-masing?

Paling tidak kisah-kisah yang berseliweran itu menjadi bank data tempat para penerus mencari referensi semangat dan inspirasi. Sementara soal bagaimana membangun industri olahraga dan ekosistem olahraga yang berbasis prestasi dan ilmu pengetahuan, biarlah menjadi tanggung jawab pihak yang semestinya.

Ted Speaker, ketua departemen jurnalisme di Universitas Florida membagikan pikiran dan refleksi bagaimana mencetak seorang anak menjadi bintang olahraga di time.com . 

Tulisan itu terinspirasi dari Devid Epstein, penulis "The Sports Gene," yang berbicara di Universitas Florida, tempat ia sedang mengambil residensi program Science Journalist. 

Ada sejumlah poin menarik dalam artikelnya berjudul "The Key to Making Your Kid a Star Athlete: Back Off". Secara ringkas ia memberikan penekanan pada peran orang tua, pelatih, dan anak bersangkutan yang coba saya angkat dari tulisan sang penulis buku "DOWN SIZE: 12 Truths for Turning Pants-Splitting Frustration to Pants-Fitting Success" itu.

Pertama, wahai orang tua biarkan anak Anda berekperimen. Orang tua terkadang memiliki cita-cita tersendiri tentang masa depan anak-anak mereka. Sebagai yang melahirkan dan membesarkan, orang tua merasa lebih berhak untuk menentukan ke mana anak melangkah, termasuk menjadi apa kelak anak mereka.

Orang tua pun dengan tahu dan mau mulai mengarahkan setiap hal, tidak terkecuali pilihan olahraga apa yang semestinya dimainkan sang anak. Setelah pilihan mereka terlihat disenangi sang anak, mereka pun semakin giat mendorong anaknya untuk bertekun. Tidak ada alternatif. Tidak ada pilihan lain.

Orang tua, demikian Ted, kadang menganggap dengan fokus pada satu olahraga akan membuat anaknya lebih mudah masuk dalam tangkapan radar pelatih di sekolah. Spesialisasi pun diterapkan sedini mungkin.

Padahal, menurut Ted, anak sebaiknya diberikan kebebasan untuk memilih. Orang tua perlu memberikan keleluasaan kepada anak untuk bermain dan berekperimen. Sejauh dapat memberikan sedikit tekanan.

Pendekatan spesialisasi itu tidak hanya meningkatkan risiko cedera, tetapi juga membuat anak cenderung tidak menemukan olahraga yang dia sukai, lantas bisa menjadi mahir.

Untuk itu Ted mempromosikan strategi mendorong anak-anak untuk bereksperimen. Devid Epstein menyukai model pengembangan olahraga "belajar seperti bayi."

"Seorang bayi belajar keterampilan bahasa dengan mengoceh dan bermain tanpa takut gagal. Setelah keterampilan awal dipelajari secara implisit, saat itulah Anda dapat mulai mengajarkan aturan tata bahasa," ungkap Ted mengutip Devid Epstein.

Ted menilai selama ini ada pola pikir dan terapan yang keliru dalam budaya olahraga. Anak-anak langsung diarahkan untuk mengambil spesialisasi padahal seharusnya kepada mereka diberikan terlebih dahulu kebebasan untuk mencoba apa saja.

"Jika seorang anak cepat dewasa secara biologis, itu berbeda dengan mereka menjadi LeBron James berikutnya," kata Epstein.

"Jalan yang dilalui sebagian besar atlet elit adalah jalur Roger Federer, orang tuanya memaksanya bermain basket, bulu tangkis, dan sepak bola, bukan jalur Macan. Itu pengecualian."

Umpan balik konstruktif

Kedua, kepada pelatih berilah tepuk tangan, bukan koreksi belaka. Ted mengutip penelitian psikolog olahraga Christian Cook. Menurut laporan Christian, seseorang akan tampil lebih baik dan cederung tidak mengulangi kesalahan saat mereka mendapat umpan balik positif. Alasannya, saat mendapat masukan positif, hormon testosterone bakal meningkat.

Situasi ini tentu dilematis. Seorang pelatih, demikian Epistein, secara alami mengidentifikasi apa yang salah dan menginstruksikan atlet bagaimana memperbaiki.

"Jika Anda harus memilih antara membutuhkan umpan balik ketika melakukan sesuatu yang salah atau ketika melakukan sesuatu yang benar, saya yakin sekarang saatnya melakukan sesuatu yang benar. Dan saat itulah orang tidak memberikan umpan balik. Mereka memperhatikan apa yang salah," simpul Devid Epstein.

Refleksi diri

Ketiga, bermain lalu pikirkan. Demikian kesimpulan untuk anak-anak. Epstein menekankan kepada anak-anak untuk dibekali kemampuan dan kebiasaan refleksi.

Kemampuan refleksi sangat penting. Seorang atlet akan dengan sendirinya mengaluasi sendiri apa yang sudah, sedang, dan akan dilakukan. Apa yang seharusnya dibuat dan bagaimana meningkatkannya. Semua itu lahir dari kemampuan refleksi.

Memang kerja ini terkesan filosofis dan rumit. Namun kemamuan itu bisa muncul secara alami atau bisa diajarkan.

Salah satu caranya dengan mendorong setiap anak atau atlet muda untuk bertanya pada diri sendiri dengan sejumlah pertanyaan dasar. Apa yang saya lakukan dengan baik? Apa kekurangan saya? Siapa orang-orang yang bisa membantu saya untuk mencapai suatu titik?

Epistein, mengutip Marije Elferink-Gemser asal Belanda, mengatakan, pelatih memang berperan penting bagi prestasi seorang atlet. Namun mereka hanya akan sampai pada tahap melihat dan mengidentifikasi kelemahan dan memberikan masukan untuk memperbaiki.

Tugas utama ada pada atlet bersangkutan. "Atlet adalah pengatur perkembangan mereka sendiri, terutama karena mereka semua menjadi lebih baik dan lebih baik."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun