Ada sejumlah kualifikasi dan syarat permainan yang dimaksud Huizinga. Ciri-ciri tersebut diharapkan sudah, sedang dan akan terpenuhi di Papua nanti.
Pertama, PON Papua adalah momentum kita melepaskan diri dari berbagai kepenatan dan keruwetan hidup. Hari-hari hidup kita sudah dipenuhi dengan berbagai kewajiban dan tekanan. Maka pesta olahraga tersebut menjadi kesempatan untuk mendapatkan tontonan dan hiburan di tingkat nasional.
Kurang lebih 6.300 atlet dari 34 provinsi akan bertarung di 37 cabang olahraga dan 679 nomor pertandingan. Mereka akan bersaing memperebutkan medali di empat venue besar di empat tempat berbeda yakni Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Mimika, dan Merauke.
Huizinga menyebut syarat pertama permainan adalah kebebasan. Para atlet diharapkan bisa bertarung dengan penuh percaya diri dan diliputi sukacita. Medali memang terkadang membelenggu. Ganjaran hadiah besar acapkali membuat tertekan. Ambisi kadangkala membabi-buta. Nama baik dan gengsi kerap membuat takabur.
Namun sebagai makhluk yang bermain para atlet diharapkan bisa tampil tidak semata-mata untuk memenuhi kewajiban, tetapi juga merealisasikan kebebasannya yang jauh dari tekanan dan paksaan.
Begitu juga para perangkat pertandingan dan penonton bisa menikmati setiap pertandingan tanpa merasa dan melakukan intimidasi dan provokasi. Sehingga PON Papua benar-benar menjadi arena permainan yang sportif, menghibur, dan membawa sukacita nasional.
Kedua, seperti bermain yang berbeda dari kegiatan sehari-hari lainnya, begitu juga PON. Ini adalah pesta olahraga tingkat nasional yang berangkat dari taman sari kekayaan sosial-budaya dan karakteristik bangsa Indonesia yang hetrogen.
Tidak hanya orang Papua yang bermain dengan orang Jawa. Tetapi juga ada orang NTT, orang Ambon, orang Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan di sana. Tentu masing-masing pihak akan bertarung habis-habisan demi dan atas nama daerah.
Setiap atlet pun datang dengan dan memiliki pendukung tersendiri. Di belakang mereka yang bertanding di arena ada ratusan, bahkan ribuan suporter. Tidak sedikit yang begitu fanatik dan sangat mengharapkan jagoan mereka menang.
Ini sesuatu yang wajar. Bila bukan demikian maka itu bukan PON. Yang terjadi di lapangan bisa membawa kita ke dunia awang-awang dan imajinatif. Penonton bisa merasa yang bertanding bukan lagi atlet biasa karena terlanjur dikultus.