Mari mengerucut ke ikhwal maaf: memaafkan dan/atau meminta maaf. Apa yang membuat kita harus mengucapkan atau melakukan gestur tertentu untuk mengekspresikan kata-kata itu?
Setiap kita tentu memiliki penghayatan dan keyakinan tersendiri tentang sepotong kata itu. Â Tanpa perlu banyak basa-basi, kata tersebut memang sengaja diciptakan untuk menangkup kebutuhan afeksi setiap manusia.
John Carlin pernah menulis sebuah buku fenomenal. Playing the Enemy: Nelson Mandela and the Game That Made a Nation. Kisah dalam buku ini kemudian difilimkan. Mengambil judul Invictus.
Film drama biografi itu rilis tahun 2009. Morgan Freeman memerankan tokoh utama, Nelson Mandela. Berlatar tahun 1990-an sejak Mandela dibebaskan dari Penjara Victor Verster yang mengurungnya selama 27 tahun, hingga terpilih sebagai Presiden Afrika Selatan empat tahun berselang.
Sebagai presiden kulit hitam pertama di sebuah negara yang masih lekat dengan praktik dan bayang-bayang apartheid, Mandela menghadapi aneka keganjilan. Beberapa tahun setelah merdeka, kemiskinan, kriminalitas, dan diskriminasi seperti enggan pergi. Perbedaan rasial masih mengemuka.
Masing-masing kelompok masih memelihara rasa sakit. Maaf belum jadi kosakata baru. Hubungan antara ras kulit putih dan kulit hitam masih dikotomis. Banyak pengalaman membuktikan hal tersebut, mulai dari urusan keamanan, hingga olahraga.
Judul film ini sesungguhnya diambil dari salah satu puisi karya penyair Inggris William Ernest Henley (1849-1903). Puisi itu menginspirasi Mandela sejak di penjara. Invictus mengacu pada julukan salah satu dewa bangsa Romawi. Dalam bahasa Latin kata itu berarti "tak terkalahkan" atau "tak tertaklukkan."
Dalam salah satu bagian, Mandela berbicara kepada Kongres nasional Afrika tentang makna dari pengampunan. Baginya, maaf sangat penting dan berarti.
"Pengampunan dimulai di sini ... Pengampunan membebaskan jiwa ... Ini menghilangkan rasa takut, itulah mengapa menjadi senjata yang sangat ampuh ... masa lalu adalah masa lalu, kita melihat ke masa depan."