Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mudik, Mandela, dan "The Power of Maaf"

13 Mei 2021   22:59 Diperbarui: 13 Mei 2021   23:12 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Polisi coba menghalau pemudik motor di posko penyekatan mudik di Kedungwaringin,  Jawa Barat, Minggu (9/5/2021): ANTARA FOTO/FAKHRI HERMANSYAH

Bagaimana perasaan Anda yang tak sempat mudik Lebaran tahun ini? Pandemi Covid-19 yang masih menjadi keprihatinan bersama membuat jutaan orang urung pulang kampung.

Surat Edaran Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021 sudah menegaskan larangan mudik, baik lokal di wilayah aglomerasi maupun jarak jauh, sejak 6 hingga 17 Mei 2021. Tidak hanya itu. Pemerintah juga memberlakukan aturan tambahan. Pengetatan perjalanan mulai 22 April-5 Mei dan 18-24 Mei 2021.

Namun demikian, tidak sedikit tetap memaksakan diri. Anjuran pemerintah untuk tidak melakukan perjalanan mudik baik antarkota, antarkabupaten, antarprovinsi, maupun antarnegara, sepertinya tidak bisa diterima begitu saja

Salah satu potret betapa susahnya menahan laju pemudik terlihat di pos penyekatan Jalan Pantura Kedungwaringin, yang membatasi Kabupaten Bekasi-Kerawang. Kurang dari sepekan sebelum Idul Fitri, ribuan pemudik bersepeda motor nekat menjebol barikade penjagaan.

Mereka berkeras hati melewati penjagaan. Tidak hanya melawan petugas, tidak sedikit pengendara roda dua berani melawan arus. Situasi ini, seperti diberitakan Kompas.com (11/5/2021), sampai-sampai membuat para petugas gabungan kewalahan. Lalu lintas jadi semrawut.  Keselamatan para pengendara terancam.  Kemacetan panjang pun tak terhindarkan.

Ini baru sepotong cerita dari satu akses transportasi. Masih banyak cerita di berbagai ruas penyekatan baik di Jabodetabek maupun di daerah-daerah lain di nusantara. Belum lagi fenomena pemudik nekat di stasiun kereta api, bandar udara, maupun pelabuhan laut.

Betapa larangan berikut blokade di lapangan untuk tidak pulang kampung tidak bisa meredam gelora ribuan pemudik. Ancaman pandemi sebesar apapun tak membuat mereka bergeming.

Padahal, awal bulan ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah memberikan alarm.  Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, menegaskan peningkatan kasus Covid-19 di dunia dalam dua minggu terakhir mengalami peningkatan, melebihi jumlah kasus selama enam bulan pertama pandemi. Angkanya melonjak tinggi. Lebih dari 5,7 juta kasus per minggu.

Sumber: https://covid19.go.id/
Sumber: https://covid19.go.id/

Potensi peningkatan bakal terjadi selama arus mudik, berikut aktivitas selama Lebaran. Selama mobilitas manusia tidak dibatasi maka transmisi virus akan bergerak berbarengan. Semakin tinggi tingkat pergerakan dan kontak fisik, maka ancaman penyebaran pun setali tiga uang.

Mengapa harus pulang?

Terlepas dari berbagai intensi pemudik, salah satu yang biasanya mudah terbaca selama Lebaran saban tahun adalah kunjungan kepada orang tua dan sanak kerabat di kampung halaman. Pulang kampung adalah sebuah kerinduan yang telah diperam selama sekian bulan oleh para perantau.

Bertepatan dengan hari raya itu mudik menjadi sebentuk panggilan untuk pulang ke tempat dari mana cinta bermula. Di kampung halaman ada orang-orang tercinta. Di setiap tempat yang ingin dikunjungi ada kenangan yang ingin diputar kembali. Di balik mudik itu ada ikhtiar silaturahmi dan bermaaf-maafan.

Orang berkeyakinan silaturahmi saat Lebaran memiliki magis tersendiri. Selain menjadi bagian dari warisan kultural dari generasi ke generasi, momen itu dianggap langka karena terjadi sekali setahun atau bagi  orang tertentu baru bisa terlaksana sepenuhnya setelah sekian tahun.

Apakah silaturahmi, memohon serta memberi maaf hanya akan afdol saat bertatap muka langsung? Bukankah kata-kata maaf bisa diantarai teknologi yang kian canggih? Tanpa harus bertemu fisik, panggilan telepon saat ini sudah bisa mempertemukan wajah dengan wajah, bukan?

Beberapa pertanyaan ini bakal terdengar ganjil di telinga sebagian orang yang sudah terbiasa memaknai Lebaran sebagai kesempatan untuk berkumpul secara fisik dengan durasi tak terbatas. Lebaran adalah saat mengucap dan meminta maaf tanpa perantara. Kesempatan untuk berlutut dan bersimpuh di kaki orang tua. Rasa kangen diobati tuntas tanpa harus dijeda oleh jaringan dan kuota internet.

Ilustrasi sungkem ke orang tua saat Lebaran: Shutterstock
Ilustrasi sungkem ke orang tua saat Lebaran: Shutterstock

Selain itu, ada keterbatasan ekspresi maaf bagi sejumlah orang (tua). Bukan saja ungkapan maaf secara formal yang hampir tak pernah singgah dalam kamus hidup mereka, tetapi lebih dari itu,  kata-kata lisan yang selalu terganjal untuk menyatakan cinta pada orang terdekat, seperti suami atau istri, anak-anak, hingga cucu-cicit.  

Jangan salah sangka dahulu.  Mereka bukannya tak peka atau tak punya perasaan paling manusiawi itu. Justru mereka akan menunjukannya dengan cara yang lebih menyentuh. 

Seorang ibu yang dikenal begitu tegas akan berurai air mata begitu mendapat kabar anaknya tak bisa pulang kampung. Mata seorang ayah  akan cepat berkaca-kaca saat acara sungkeman di hari raya begitu menyadari ada anggota keluarga yang kurang.

Dengan begitu, kita pun bisa mafhum. Mudik sejatinya bukan perkara ritual pergerakan fisik belaka. Pulang kampung yang jarang terjadi itu serentak menjadi retret. Atret kembali ke sumber dari mana nilai-nilai kehidupan berawal dan diterjemahkan tanpa kepalsuan: cinta yang murni, persaudaraan tanpa syarat, dan maaf yang tulus.


The Power of Maaf

Mari mengerucut ke ikhwal maaf: memaafkan dan/atau meminta maaf. Apa yang membuat kita harus mengucapkan atau melakukan gestur tertentu untuk mengekspresikan kata-kata itu?

Setiap kita tentu memiliki penghayatan dan keyakinan tersendiri tentang sepotong kata itu.  Tanpa perlu banyak basa-basi, kata tersebut memang sengaja diciptakan untuk menangkup kebutuhan afeksi setiap manusia.

John Carlin pernah menulis sebuah buku fenomenal. Playing the Enemy: Nelson Mandela and the Game That Made a Nation. Kisah dalam buku ini kemudian difilimkan. Mengambil judul Invictus.

Film drama biografi itu rilis tahun 2009. Morgan Freeman memerankan tokoh utama, Nelson Mandela. Berlatar tahun 1990-an sejak Mandela dibebaskan dari Penjara Victor Verster yang mengurungnya selama 27 tahun, hingga terpilih sebagai Presiden Afrika Selatan empat tahun berselang.

Sebagai presiden kulit hitam pertama di sebuah negara yang masih lekat dengan praktik dan bayang-bayang apartheid, Mandela menghadapi aneka keganjilan. Beberapa tahun setelah merdeka, kemiskinan, kriminalitas, dan diskriminasi seperti enggan pergi. Perbedaan rasial masih mengemuka.

Masing-masing kelompok masih memelihara rasa sakit. Maaf belum jadi kosakata baru. Hubungan antara ras kulit putih dan kulit hitam masih dikotomis. Banyak pengalaman membuktikan hal tersebut, mulai dari urusan keamanan, hingga olahraga.

Judul film ini sesungguhnya diambil dari salah satu puisi karya penyair Inggris William Ernest Henley (1849-1903). Puisi itu menginspirasi Mandela sejak di penjara. Invictus mengacu pada julukan salah satu dewa bangsa Romawi. Dalam bahasa Latin kata itu berarti "tak terkalahkan" atau "tak tertaklukkan."

Dalam salah satu bagian, Mandela berbicara kepada Kongres nasional Afrika tentang makna dari pengampunan. Baginya, maaf sangat penting dan berarti.

Mandela dan puisi Invictus: worldview.unc.edu
Mandela dan puisi Invictus: worldview.unc.edu

"Pengampunan dimulai di sini ... Pengampunan membebaskan jiwa ... Ini menghilangkan rasa takut, itulah mengapa menjadi senjata yang sangat ampuh ... masa lalu adalah masa lalu, kita melihat ke masa depan."

Kekuatan itulah yang kemudian membuat Mandela bisa berbesar hati untuk melepaskan diri dari rasa sakit hati dan penderitaan yang ditimbulkan kepadanya dan kepada kaumnya selama bertahun-tahun. Tanpa kata maaf itu maka sulit bagi Mandela untuk "move on" dan bagi Afrika Selatan untuk bisa menjadi seperti hari ini.

Mandela ingin bersaksi betapa besar kekuataan maaf itu.  The power of maaf. The power of forgiveness. Maaf mengubah kemarahan dan luka menjadi penyembuhan dan kedamaian. Sebesar apapun kesalahan, selain menjadi sebuah kewajiban moral, dengan memaafkan, Mandela bisa merasakan kebebasan sepenuhnya: tidak hanya dari belenggu penjajahan fisik, tetapi juga kungkungan emosi destruktif.  

Faedah maaf pertama-tama bagi diri sendiri secara indah dilukiskan penulis Dennis Merritt Jones demikian. "Pada akhirnya, pengampunan sama sekali bukan untuk keuntungan orang lain - itu untuk kita sendiri. Terlepas dari betapa tidak logisnya hal itu kadang-kadang, melalui pengampunan tanpa syarat kita menyerahkan masa lalu ke masa lalu dan memasuki masa sekarang, membebaskan diri kita untuk berdiri di cahaya tak terbatas yang tahu bagaimana menyembuhkan luka kita yang paling dalam dan paling menyakitkan."

Setelah maaf

Pengalaman Mandela dalam konteks Afrika Selatan, dalam bentuk dan intensitas beragam adalah juga bagian dari keseharian kita. Sebagai manusia, berbuat salah adalah niscaya. Namun untuk mengakui kesalahan dan memberi maaf atas setiap kesalahan bukan perkara mudah. Butuh keterbukaan dan kebesaran hati untuk melakukannya.

Namun begitu, kisah Mandela dan kisah-kisah kita, membuktikan bahwa menyimpan amarah hanya akan menyakiti dan menyiksa diri sendiri. Terkadang dengan memelihara amarah, dendam, dan luka, hanya akan mengundang ketegangan otot, sakit kepala, hingga membuat sakit rahang karena mengatupkan geligi dengan kuat.

Sebaliknya, bila berbesar hati memberi maaf dan dengan tulus meminta maaf maka akan menghadirkan tawa. Setelah momen maaf itu, percaya atau tidak, akan membawa perubahan dalam diri. Hidup pun terasa lebih ringan. Batin terasa tenang, damai, dan bahagia.

Karena itu bisa dipahami mengapa silaturahmi dan maaf pada Lebaran tidak bisa disepelehkan. Memaafkan dan dimaafkan orang tua dan keluarga, memperbaiki hubungan dengan teman dan kolega, bahkan memaafkan diri sendiri, hingga memaafkan perbuatan yang tak termaafkan, akan meringankan langkah hidup.  

Amy Newmark dan Deborah Norville mengguratkan sesuatu yang menarik pada pembuka salah satu seri "Chicken Soup for the Soul". "Memaafkan itu seperti di sebuah ruangan, bisa menjadi gelap karena kau telah menutup jendela, kau telah menutup tirai. Tetapi, di luar matahari sedang bersinar, di luar udara sangat segar. Untuk mendapat udara segar itu, kau harus bangun, lalu membuka jendela dan membuka tirai."

Memang terkadang memaafkan tidak selalu gampang. Memaafkan seseorang yang pernah melukai kita terkadang begitu menyakitkan dari luka itu sendiri. Tetapi, percayalah, tidak ada damai, tanpa memaafkan.

Dengan memaafkan, kita melakukan sesuatu yang berharga, tidak hanya bagi orang lain, tetapi bagi diri sendiri. Tidak hanya untuk kepentingan saat ini dan di sini, tetapi juga untuk kehidupan kelak. Demikianlah yang tertulis dalam nas berikut:

"Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa yang memaafkan dan berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat, maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim. (QS Asy-Syura: 40)

Selamat Idul Fitri. Mari saling maaf dan memaafkan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun