Mengapa harus pulang?
Terlepas dari berbagai intensi pemudik, salah satu yang biasanya mudah terbaca selama Lebaran saban tahun adalah kunjungan kepada orang tua dan sanak kerabat di kampung halaman. Pulang kampung adalah sebuah kerinduan yang telah diperam selama sekian bulan oleh para perantau.
Bertepatan dengan hari raya itu mudik menjadi sebentuk panggilan untuk pulang ke tempat dari mana cinta bermula. Di kampung halaman ada orang-orang tercinta. Di setiap tempat yang ingin dikunjungi ada kenangan yang ingin diputar kembali. Di balik mudik itu ada ikhtiar silaturahmi dan bermaaf-maafan.
Orang berkeyakinan silaturahmi saat Lebaran memiliki magis tersendiri. Selain menjadi bagian dari warisan kultural dari generasi ke generasi, momen itu dianggap langka karena terjadi sekali setahun atau bagi  orang tertentu baru bisa terlaksana sepenuhnya setelah sekian tahun.
Apakah silaturahmi, memohon serta memberi maaf hanya akan afdol saat bertatap muka langsung? Bukankah kata-kata maaf bisa diantarai teknologi yang kian canggih? Tanpa harus bertemu fisik, panggilan telepon saat ini sudah bisa mempertemukan wajah dengan wajah, bukan?
Beberapa pertanyaan ini bakal terdengar ganjil di telinga sebagian orang yang sudah terbiasa memaknai Lebaran sebagai kesempatan untuk berkumpul secara fisik dengan durasi tak terbatas. Lebaran adalah saat mengucap dan meminta maaf tanpa perantara. Kesempatan untuk berlutut dan bersimpuh di kaki orang tua. Rasa kangen diobati tuntas tanpa harus dijeda oleh jaringan dan kuota internet.
Selain itu, ada keterbatasan ekspresi maaf bagi sejumlah orang (tua). Bukan saja ungkapan maaf secara formal yang hampir tak pernah singgah dalam kamus hidup mereka, tetapi lebih dari itu, Â kata-kata lisan yang selalu terganjal untuk menyatakan cinta pada orang terdekat, seperti suami atau istri, anak-anak, hingga cucu-cicit. Â
Jangan salah sangka dahulu. Â Mereka bukannya tak peka atau tak punya perasaan paling manusiawi itu. Justru mereka akan menunjukannya dengan cara yang lebih menyentuh.Â
Seorang ibu yang dikenal begitu tegas akan berurai air mata begitu mendapat kabar anaknya tak bisa pulang kampung. Mata seorang ayah  akan cepat berkaca-kaca saat acara sungkeman di hari raya begitu menyadari ada anggota keluarga yang kurang.
Dengan begitu, kita pun bisa mafhum. Mudik sejatinya bukan perkara ritual pergerakan fisik belaka. Pulang kampung yang jarang terjadi itu serentak menjadi retret. Atret kembali ke sumber dari mana nilai-nilai kehidupan berawal dan diterjemahkan tanpa kepalsuan: cinta yang murni, persaudaraan tanpa syarat, dan maaf yang tulus.