Bila kita menekuni secara lebih serius, atau sekurang-kurangnya, dari penuturan rekan-rekan yang pernah bertandang langsung ke Candi Borobudur, maka yang didapat di bangku sekolah masih jauh dari memadai. Pemandu wisata di sana akan menjelaskan dengan lebih kaya dan kasat mata akan kenyataan yang ada di depan mata.
Untuk itu, keterbatasan informasi tersebut, perlu mendapat sokongan. Hemat saya, Sound of Borobudur, menjadi cara untuk bertolak lebih dalam sekaligus menyingkap selubung kekayaan bangunan bersejarah itu.
Apa yang mendasari serentak menonjol dari Sound of Borobudur kalau begitu? Menukil soundofborobudur.org ada beberapa hal yang bisa digarisbawahi.Â
Pertama, menurut salah satu penggagas Sound of Borobudur, Trie Utami, ditemukan adanya alat-alat musik di pahatan dalam panel-panel relief candi. Sedikitnya terpahat 45 jenis alat musik yang sebarannya pada hari ini meliputi 34 provinsi di Indonesia, dan minimal 40-an negara di seluruh dunia.
Bahkan, ditemukan banyak relief yang menggambarkan suatu ansambel musik yang bermain bersama dalam satu panel. Lengkap dan modern. Memenuhi segenap persyaratan sebagai musik modern. Ada cordophone (dari senar/tali), ideophone (dipukul/diketok), membranophone (dari kulit) dan aerophone (bunyi karena udara).
Kedua, kekayaan tersebut mengindikasikan perkembangan musikal bangsa ini yang sudah lebih dahulu dari bangsa Eropa. Bila bangsa ini sudah mengenal komposisi, aransemen, dan segenal aspek musikal sejak abad delapan, berarti kita lebih maju sekian ratus tahun dari bangsa Eropa yang mulai mempertontonkan sistem orkestra pada musik ansambel sejak abad 14.
Ketiga, untuk sampai pada pemahaman itu, Sound of Borobudur harus melewati perjalanan panjang nan melelahkan. Membuka diri, belajar, riset pada relief yang terlihat maupun mencari tahu lebih jauh melalui berbagai referensi baik pustaka maupun wawancara, berlanjut dengan "mind mapping", mencari alat-alat musik yang masih ada, merekayasa ulang alat-alat musik yang telah punah, mengumpulkan seniman-seniman untuk menata ulang interpretasi bunyi, membuat komposisi, dan merangkainya dalam sebuah aransemen. Lalu berlatih bersama, merekam audio, membuat video clip, hingga bersama-sama menghadirkannya ke telinga pendengar.
Dalam serba ketidakpastian dan minim referensi, mereka kemudian berani berkesimpulan. Misalnya, Cordophone disebut WINA atau MANDELI dalam kategori TATA VADYA. Gendang tanah liat  disebut MRDANG, kenong-bonang atau talempong disebut BREKUK, ceng ceng atau simbal disebut REGANG.
Alat tiup dalam kategori SUSHIRA VADYA, alat-alat tiup itu biasa disebut WAMSI atau BANGSI, alat tabuh dengan membran adalah kategori AVADANA VADYAÂ dan alat-alatnya biasa disebut MURAWA, KENDANG, PATAHA, PADAHI, dawai dengan bentuk harpa disebut WINA RAWANA HASTA. Instrumen kategori ideophone disebut GHANA VADYA, dan lain-lain. Semua serba tidak pasti, sebab nama dalam prasasti tidak menyertakan gambar bentuk dan spesifikasi alat.