Candi yang ditetapkan sebagai situs Warisan Dunia UNESCO pada 1991 itu dibangun antara sekitar 778 dan 850 M semasa dinasti Shailendra. Sempat terkubur abu vulkanik sebelum ditemukan oleh Letnan Gubernur Inggris, Thomas Stamford raffles pada 1814.
Sebuah tim arkeolog Belanda memulihkan situs tersebut pada tahun 1907 hingga 1911. Sementara itu pemugaran kedua selesai pada tahun 1983.
Konstruksi bangunan memiliki tiga tingkat utama. Masing-masing mewakili sebuah panggung dalam perjalanan spriritual. Tujuannya mencapai pencerahan ideal bodhisattva.
Pada tingkat terendah, yang sebagian tersembunyi, terdapat ratusan relief keinginan duniawi, yang menggambarkan kama-dhatu (alam perasaan). Ini menjadi lingkungan terendah dari alam semesta Buddha Mahayana.
Pada tingkat berikutnya, serangkaian relief menggambarkan rupa-dhatu (bidang tengah dan alam bentuk) melalui peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Buddha Gautama dan adegan-adegan dari Jataka (kisah-kisah kehidupan sebelumnya).
Tingkat paling atas menggambarkan arupa-dhatu, alam tanpa bentuk atau pelepasan dari dunia fisik. Di sana terdapat sedikit hiasan, di teras terdapat sekitar 72 stupa berbentuk lonceng. Banyak tersimpan patung Buddha. Â
Selama upacara Waisak saban tahun, ribuan biksu Buddha berjalan dalam prosesi khusyuk ke Borobudur untuk memperingati kelahiran, kematian, dan pencerahan Buddha.
Apakah gambaran demikian sudah mewakili  World Heritage of Culture itu? Tentu tidak. Borobudur tidak sesingkat dan sesederhana itu. Namun itulah yang menjadi ingatan, mungkin sebagian besar pelajar, kalau masih sempat mendapat mata pelajaran tentang kerajaan-kerajaan di nusantara berikut peninggalan mereka.
Bertolak lebih dalam
Patut diakui, pengetahuin yang diindoktrinasi dalam mata pelajaran sejarah atau pengetahuan sosial masih belum menangkup seluruh kekayaan bangunan bersejarah itu. Informasi tentang relief, arca, stupa, sebagai bangunan inti dari Candi Borobudur belum mendapat porsi memadai.
Kebanyakan yang diberikan masih seputar nama, waktu, dan tempat. Mungkin saja karena keterbatasan ruang, waktu, dan kompetensi pengajar, maka hal-hal informatif yang singkat itulah yang ditransfer kepada peserta didik