Riset tersebut menemukan adanya peningkatan aktivitas konsumsi masyarakat selama Ramadan sebesar 17 persen dibanding periode sebelum bulan puasa. Situasi ini cukup ironis, mengingat konsumsi masyarakat meningkat sementara pendapatan mengalami penurunan sekitar 10 persen.
Saat ekonomi tercekik, mengapa masyarakat masih bergairah untuk berbelanja? Bila pembelanjaan itu menyasar urusan primer seperti makanan dan minuman, tentu masih bisa dipahami. Mengapa di tengah situasi sulit itu pengeluaran untuk jenis kebutuhan sekunder atau bahkan tersier malah meningkat?
Dengan tetap berpegang pada temuan tersebut, walau secara metodologis sangat perlu dipertanyakan lebih jauh dan membutuhkan falsifikasi dari riset lainnya, kita tentu bisa mencurigai ada sesuatu yang melatari kencedrungan tersebut.
Saya teringat Franz Magnis Suseno. Dalam bukunya Etika Kebangsaan Etika Kemanusiaan (79 Tahun Sesudah Sumpah Pemuda), Â budayawan dan pengajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini mengedepankan salah satu dampak perkembangan dunia pada pola hidup masyarakat.
Pada salah satu bagian buku yang terbit tahun 2008 itu, pria 84 tahun itu menggarisbawahi soal pola hidup konsumeristik yang tengah merasuki dunia. Sebabnya, kapitalisme yang membuka pasar kian lebar, membuat kita mudah terjerembab pada konsumerisme.
Mengutip Karl Marx (1818-1883), Rm Magnis mengatakan kapitalisme tidak sekadar memproduksi aneka barang untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Ia juga menciptakan kesempatan yang membuat kita merasa membutuhkan sesuatu.
Memang beralasan setiap tawaran itu memungkinkan kita memperoleh berbagai kemudahan dan membuahkan kemajuan. Persoalan akhirnya muncul ketika rupa-rupa kebutuhan bermunculan karena pergeseran skala kepentingan.
Dalamnya terjadi manipulasi kebutuhan yang tidak kita sadari. Akibatnya timbul kebutuhan palsu. Stimulasi arus massa, promosi dan iklan membuat pilihan kita bergeser. Apa yang sesungguhnya kurang atau tidak kita butuhkan akhirnya dirasakan sebagai kebutuhan karena derasnya arus massa dan kuatnya tawaran promotif.
Ada beberapa contoh aktual. Saat ini kebutuhan makan di gerai fast food sudah menjadi lumrah. Padahal dengan tanpa harus ke sana, kita bisa menikmati jenis makanan lain yang lebih sehat dan murah. Kita terjebak dalam kebutuhan palsu yang mengagungkan prestise atau gengsi, ketimbang kebutuhan akan makanan itu sendiri.
Orang berbondong-bondong ke restoran cepat saji karena tidak ingin ketinggalan zaman. Orang tidak ingin dicap kurang update karena tidak ikut dalam arus massa menuju gerai cepat saji tersebut.
Seperti soal makanan, demikian juga belanja pakaian atau handphone, misalnya. Orang beramai-ramai menyemut di berbagai pusat perbelanjaan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan, tetapi untuk kepentingan belanja itu sendiri.