Patut diakui selama bulan Ramadan aktivitas belanja setiap orang meningkat. Sebagian besar terjadi pada sektor konsumsi. Dibanding 11 bulan lainnya, banyak kebutuhan harian yang meningkat drastis, entah itu kebutuhan pokok, maupun kebutuhan pendukung lainnya.
Walau Ramadan tahun ini berlangsung di tengah pandemi Covid-19, pemenuhan kebutuhan primer tetap menjadi prioritas. Meski terjadi penyesuaian di sana-sini karena dampak pandemi yang tak bisa dielak, soal konsumsi hampir tak bisa ditawar. Justru di bulan puasa, urusan makan dan minum terasa semakin penting.
Bila belanja makanan dan minuman adalah penting, bagaimana dengan jenis belanja lainnya seperti pakaian, perabotan rumah tangga, dan lainnya?
Walau pemerintah menyerukan pembatasan sosial dalam berbagai skala dan menganjurkan agar masyarakat sebaiknya di rumah saja, apakah dengan sendirinya membatasi ruang gerak dan perilaku belanja masyarakat?
Apalagi saat ini aktivitas berbelanja tidak lagi bertumpu pada transaksi tatap muka, tetapi sudah dipermudah oleh teknologi digital. Belanja online sudah bukan lagi sesuatu yang baru, malah sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat.
Asumsi tersebut tampaknya valid bila mengacu pada hasil riset Continuum terkait aktivitas belanja online di kalangan pengguna media sosial belakangan ini. Lembaga penelitian itu, sebagaimana dilansir cnnindonesia.com (3/5/2021), menemukan peningkatan signifikan aktivitas belanja online pada rentang 1-25 April 2021. Dengan kata lain, selama periode Ramadan geliat belanja online meningkat tiga kali lipat.
Riset bertajuk "Analisis Perilaku Konsumen Menggunakan Pendekatan Big Data" yang dipublikasikan Senin (3/5/2021) berasal dari pengamatan 1.204.102 pembicaraan di 934.671 akun media sosial.
Analis Data Continuum Muhammad Azzam coba menarik beberapa kesimpulan. Aktivitas fisik yang terbatas di tengah pandemi, membuat masyarakat lebih memilih berbelanja online ketimbang offline. Dari sisi produk yang dibelanjakan, mayoritas adalah pakaian-utamanya pakaian lebaran (47 persen), perabotan rumah tangga (18 persen), komunikasi dan jasa (8 persen), restoran (6 persen), dan sebagainya.
Kebutuhan Palsu
Ada sejumlah hal menarik yang patut dipertanyakan dari riset tersebut. Salah satunya bagaimana hubungan tingkat konsumsi tersebut dengan pendapatan? Dampak pandemi begitu masif dan menyasar hampir semua sektor dan lapisan masyarakat. Tidak terkecuali urusan ekonomi umumnya, dan pendapatan khususnya. Tak hanya lingkup makro (bangsa-negara), tetapi juga  mikro (setiap individu masyarakat).
Riset tersebut menemukan adanya peningkatan aktivitas konsumsi masyarakat selama Ramadan sebesar 17 persen dibanding periode sebelum bulan puasa. Situasi ini cukup ironis, mengingat konsumsi masyarakat meningkat sementara pendapatan mengalami penurunan sekitar 10 persen.
Saat ekonomi tercekik, mengapa masyarakat masih bergairah untuk berbelanja? Bila pembelanjaan itu menyasar urusan primer seperti makanan dan minuman, tentu masih bisa dipahami. Mengapa di tengah situasi sulit itu pengeluaran untuk jenis kebutuhan sekunder atau bahkan tersier malah meningkat?
Dengan tetap berpegang pada temuan tersebut, walau secara metodologis sangat perlu dipertanyakan lebih jauh dan membutuhkan falsifikasi dari riset lainnya, kita tentu bisa mencurigai ada sesuatu yang melatari kencedrungan tersebut.
Saya teringat Franz Magnis Suseno. Dalam bukunya Etika Kebangsaan Etika Kemanusiaan (79 Tahun Sesudah Sumpah Pemuda), Â budayawan dan pengajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini mengedepankan salah satu dampak perkembangan dunia pada pola hidup masyarakat.
Pada salah satu bagian buku yang terbit tahun 2008 itu, pria 84 tahun itu menggarisbawahi soal pola hidup konsumeristik yang tengah merasuki dunia. Sebabnya, kapitalisme yang membuka pasar kian lebar, membuat kita mudah terjerembab pada konsumerisme.
Mengutip Karl Marx (1818-1883), Rm Magnis mengatakan kapitalisme tidak sekadar memproduksi aneka barang untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Ia juga menciptakan kesempatan yang membuat kita merasa membutuhkan sesuatu.
Memang beralasan setiap tawaran itu memungkinkan kita memperoleh berbagai kemudahan dan membuahkan kemajuan. Persoalan akhirnya muncul ketika rupa-rupa kebutuhan bermunculan karena pergeseran skala kepentingan.
Dalamnya terjadi manipulasi kebutuhan yang tidak kita sadari. Akibatnya timbul kebutuhan palsu. Stimulasi arus massa, promosi dan iklan membuat pilihan kita bergeser. Apa yang sesungguhnya kurang atau tidak kita butuhkan akhirnya dirasakan sebagai kebutuhan karena derasnya arus massa dan kuatnya tawaran promotif.
Ada beberapa contoh aktual. Saat ini kebutuhan makan di gerai fast food sudah menjadi lumrah. Padahal dengan tanpa harus ke sana, kita bisa menikmati jenis makanan lain yang lebih sehat dan murah. Kita terjebak dalam kebutuhan palsu yang mengagungkan prestise atau gengsi, ketimbang kebutuhan akan makanan itu sendiri.
Orang berbondong-bondong ke restoran cepat saji karena tidak ingin ketinggalan zaman. Orang tidak ingin dicap kurang update karena tidak ikut dalam arus massa menuju gerai cepat saji tersebut.
Seperti soal makanan, demikian juga belanja pakaian atau handphone, misalnya. Orang beramai-ramai menyemut di berbagai pusat perbelanjaan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan, tetapi untuk kepentingan belanja itu sendiri.
Terkadang yang ditonjolkan bukan kebutuhan akan barang tertentu, tetapi pemenuhan obsesi untuk memiliki atau berbelanja itu sendiri. Orang ke mall atau shopping center, semata-mata didorong oleh dan mengacu pada belanja semata.
Tentu tidak ada yang keliru dengan membeli pakaian atau ponsel baru. Untuk alasan fungsional jelas penting. Namun terkadang, orang termanipulasi secara psikis sehingga begitu ada jenis telepon genggam keluaran terbaru di pasaran, maka mereka merasa harus membelinya, walau yang sedang dimiliki masih memadai dan lebih dari cukup.
Orang merasa penting untuk membeli pakaian karena tidak ingin ketinggalan memiliki pakaian model terbaru. Orang merasa butuh untuk ke pusat perbelanjaan karena mengganggap sudah menjadi kebutuhan untuk bertandang ke sana walau demi sesuatu yang sejatinya bukan prioritas.
Tentu, kasus tersebut, tidak hanya terbatas pada aktivitas belanja di luar jaringan dan hanya untuk jenis barang tertentu. Manipulasi kebutuhan palsu pun berlaku pada jenis transaksi digital dan merembet pada barang-barang lainnya. Selama kita dikuasai kebutuhan palsu maka berbelanja online hanyalah soal cara dan sarana pemenuhan.
Soal Pilihan
Secara teoritis kebutuhan palsu adalah sesuatu yang bisa dan masih bisa kita konfirmasi secara faktual. Setiap orang tentu memiliki standar kebutuhan berbeda-beda. Begitu juga dengan tingkat kesanggupan yang satu tak akan sama dengan yang lain.
Namun begitu, kita tentu sepakat, bahwa urusan belanja bukan sesuatu yang bisa lepas dari pertimbangan begitu saja. Terkadang alasan di balik pemenuhan itu tak bisa diseragamkan. Namun ada beberapa prinsip yang menjadi pertimbangan hampir setiap orang. Apalagi di tengah pandemi seperti ini.
Pertama, berbelanja secara online di tengah pandemi adalah salah satu pilihan yang paling memungkinkan untuk mendukung upaya pemerintah menghentikan atau mempersempit laju penyebaran virus Covid-19. Untuk itu berbelanja dengan aman dan efisien adalah bagian dari upaya melindungi diri dan orang lain. Apalagi berbagai platform menyajikan diskon menarik.
Kedua, terkadang masih ada yang merasa harus berbelanja secara offline karena alasan harga, juga kemudahan melihat dan memilih barang secara langsung. Pilihan berbelanja di pasar tradisional atau toko kelontong misalnya masih menjadi alternatif bagi banyak orang.
Untuk yang memilih jenis tersebut, maka sekiranya mempertimbangkan sejumlah hal. Membatasi waktu di toko atau pasar karena potensi berinteraksi dan bertemu dengan banyak orang terbuka lebar. Perlu membuat rencana  belanja secara terperinci untuk kebutuhan konsumsi dalam periode tertentu sehingga tidak harus setiap hari bertandang ke pasar.
Saat berbelanja perlu membuat daftar belanja yang lengkap untuk jangka waktu tertentu, katakanlah satu minggu. Namun begitu perlu mempertimbangkan jenis bahan makanan yang dibeli sesuai dengan daya tahan. Tidak semua bahan makanan memiliki umur simpan yang lama. Agar tidak sampai mubazir maka perlu dipertimbangkan matang-matang.
Selain alasan daya tahan makanan, tingkat kebutuhan anggota keluarga juga perlu ditaksir. Jangan sampai membeli barang melebihi kesanggupan menghabiskannya. Bila sampai terjadi demikian, maka kita hanya akan menghasilkan sampah makanan. Hal ini penting dipertimbangkan untuk kepentingan selama bulan puasa, tetapi juga saat hari Lebaran tiba.
Saat berbelanja tidak harus menyertakan banyak anggota keluarga. Bila tidak diperlukan, tidak perlu membawa anggota tambahan. Saat berbelanja perlu mematuhi protokol kesehatan mulai dari memakai masker, rajin mencuci tangan, menjaga jarak, hingga tidak lupa membersihkan keranjang belanja.
Saat bertransaksi tetap harus menjaga jarak. Tidak harus menyentuh semua barang bila tidak diperlukan. Untuk transaksi yang bisa dilakukan secara digital akan sangat dianjurkan. Tentu soal ini akan sangat sulit berlaku di pasar tradisional. Namun setelah memegang uang, tangan harus segera dicuci bersih.Â
Bila perlu budget sudah dibagi-bagi untuk setiap jenis barang yang dibeli agar tidak harus mendapat uang kembalian atau sekadar membuang waktu untuk menunggu pengembalian kelebihan pembayaran. Bila bisa dipersingkat mengapa harus diperpanjang, bukan?
Silaturahmi via Parsel
Ketiga, pandemi membuat ruang gerak sosial benar-benar terbatas. Pemerintah sudah melarang mudik jarak jauh maupun mudik lokal antarwilayah aglomerasi. Selama periode 6-17 Mei tahun ini, tidak ada aktivitas atau perjalanan mudik.
Yang diizinkan hanya aktivitas atau perjalanan non-mudik di wilayah aglomerasi (kota atau kabupaten yang telah diperpanjang, terdiri dari pusat kota yang padat dan kabupaten yang terhubung oleh daerah perkotaan).
Walau tidak bisa pulang kampung dan bersilaaturahmi dengan keluarga, parsel terkadang menjadi pengganti. Ketidakhadiran fisik saat lebaran diwakili oleh paket sembako atau berbagai jenis "goodie bag" lainnya.
Soal jenis, bentuk, dan ukuran parsel menjadi pertimbangan setiap orang. Hanya saja sejauh dapat diusahakan sesuai kemampuan agar tak sampai mencekik kantong. Sekalipun tidak harus diwakili oleh barang material, masih ada cara  praktis dan berbiaya murah untuk tetap menjaga tali silaturahmi. Dengan tanpa harus merogoh kocek lebih dalam, cukuplah melalui sambungan telepon atau berkirim gambar dan video.
Jangan sampai kita malah terjebak dalam kebutuhan palsu lantaran merasa penting mengirim parsel padahal kondisi keuangan lagi sekarat atau barang yang dikirim tak benar-benar dibutuhkan penerima. Lebih celaka lagi, kalau berkirim bingkisan lebaran hanya karena gengsi dan tidak ingin dicap tidak dermawan atau lupa sanak keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H