Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Segar Pilihan

Koleksi Buku Boleh, tapi Jangan Lupa Dibaca

5 Mei 2021   23:01 Diperbarui: 5 Mei 2021   23:09 2525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah koleksi buku pribadi: dokpri

Kegiatan membaca dan buku tak ubahnya dua sisi dari sebuah koin. Membaca tentu mengandaikan adanya buku, walau buku bukan satu-satunya sumber bacaan. Sementara itu, buku menjadi berarti bila dibaca.

Namun demikian, dalam pengalaman saya pribadi, kata kerja dan kata benda tersebut bisa saja tak harus berjalan beriringan. Bahkan bisa saling mengenyahkan.

Ingin sekali membaca tetapi buku yang diinginkan tidak bisa didapat. Ini terjadi pada jenis buku-buku dengan tema-tema antik dan diterbitkan di era 80-an hingga 90-an. Buku-buku tersebut sudah tidak beredar di toko buku, tidak terkecuali gerai daring sekalipun, apalagi dalam format digital.

Beberapa contoh bisa disebut. "Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang" karya Harry J Benda. Begitu juga "Abangan Santri dan Priyayi" dari Clifford Geetz. "Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946" karya Benedict Anderson yang diterbitkan Sinar Harapan 1988 pun sudah menjadi klasik dan langka. Buku-buku itu banyak diburu. Kalaupun bisa didapat, harganya tentu melambung tinggi.

Di sisi berbeda, ketika buku-buku yang diinginkan mudah didapat, tidak sedikit yang berakhir di rak buku. Buku-buku itu nyaris tak disentuh. Dibiarkan tergeletak begitu saja, atau terpajang apik dengan sampul masih disegel rapih. Buku-buku itu pun akhirnya sekadar menjadi koleksi.

Berangkat dari Hobi

Saya sudah mengenal buku sejak kecil. Sejak mulai mengenal aksara. Sejak itu pula membaca sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari pendidikan, baik formal di sekolah maupun informal saat di rumah.

Patut diakui, buku dan membaca adalah bagian penting dari proses edukasi. Untuk memahami pelajaran tertentu kita harus membaca dan memahami sejumlah buku. Namun di luar urusan sekolah, kedua hal itu sungguh bergantung pada minat. Karena itu, membaca buku menjadi salah satu jenis hobi yang kerap dengan mudah ditambahkan dalam daftar "Curriculum Vitae."

Hobi membaca itu terus saya pertahankan hingga hari ini. Kemudian menjadi semakin tebal seiring dorongan untuk memiliki setiap buku baru atau buku-buku terbitan tahun-tahun sebelumnya tetapi saya anggap menarik untuk dilahap. Walau sudah tidak lagi duduk di bangku sekolah, membaca dan buku sudah seperti bagian dari santapan sehari-hari.

Saat ini saya sudah memiliki dua perpustakaan kecil. Perpustaan pertama ada di rumah orang tua saya di Flores, NTT. Perpustakaan kedua ada di tempat tinggal saya saat ini. Saya bisa pastikan di kedua perpustakana itu memiliki judul buku berbeda.

Beberapa koleksi buku pribadi: dokpri
Beberapa koleksi buku pribadi: dokpri

Tentu, sebutan perpustakaan itu bisa jadi terlampau bombastis. Namun setidaknya penamaan itu sekadar untuk mengatakan bahwa saya menyediakan tempat khusus dengan sejumlah rak untuk ratusan koleksi buku dan ke tempat itu saya hampir tak pernah alpa bertandang, baik untuk melanjutkan bacaan untuk ditandaskan atau mendapatkan sejumlah referensi untuk kepentingan penulisan.

Bisa jadi juga sengaja berkunjung untuk membuka kembali buku-buku yang pernah dibaca karena tiba-tiba muncul letupan ingatan yang dipantik oleh bacaan tertentu. Seperti berlaku pada perpustakaan umumnya, saya memiliki kewajiban untuk merawat setiap buku itu.

Kerusakaan tertentu akan menggoreskan sedih, atau memantik kejengkelan. Kepada orang tua dan saudara, saya selalu berpesan untuk menjaga buku-buku itu. Terkadang seperti sebuah ultimatum saya meminta sejauh dapat tidak untuk dipinjam.

Dari secuil informasi di atas, saya kemudian sampai pada konklusi atas pertanyaan seberapa penting mengoleksi buku?

Pertama, buku sebagai sumber ilmu dan pengetahuan. Memiliki buku tak ubahnya menggenggam ilmu dan pengetahuan itu. Walau terkadang sukar memahami suatu buku secara utuh atau bagian tertentu dalam sebuah buku, saya bisa mengulang secara perlahan kapan saja. Saya tak perlu takut buku itu akan berpindah tangan segera sehingga perlu menandaskannya dalam sekali kesempatan.

Kedua, sebagai sumber informasi berharga, buku membuka banyak peluang dan kesempatan. Tidak hanya untuk kepentingan pengetahuan seperti dalam slogan "buku adalah jendela dunia" tetapi juga untuk kepentingan praktis.

Salah satunya adalah berkomunikasi baik lisan maupun tertulis. Kita tentu tak bisa berbicara atau menulis dari suatu kekosongan. Agar terkesan berisi maka kepala kita perlu diisi dengan sari-sari dari bacaan-bacaan. Begitu juga untuk menghasilkan tulisan yang kaya dan mendalam, maka kita perlu membekali diri dengan referensi memadai.

Apa yang kita bicarakan dan apa yang kita tulis kemudian menggambarkan siapa diri kita. Kualitas diri yang tergambar dalam setiap ekspresi yang ditunjukkan adalah pancaran dari setiap bacaan kita. Seperti salah satu ungkapan bijak, "you are what you read."

Selain itu buku juga bisa mendukung profesi dan pekerjaan. Mengakrabi buku tidak hanya menjadi urusan dosen, akademisi, pemikir, peneliti, dan berbagai profesi terkait. Seorang ibu rumah tangga sekalipun bisa mendapatkan manfaat dari buku untuk kepentingan urusan rumah tangga. Mendapat resep baru, mendapat masukan bagaiaman mengatur keungan rumah tangga, hingga "insight" untuk mendidik dan membesarkan anak.

Ketiga, sebagai "mood booster" buku mampu mengatasi rasa suntuk, bosan, bahkan menjadi pelarian dari sejumlah persoalan. Saat pandemi Covid-19 mengharuskan kita untuk lebih banyak berdiam di rumah dan ruang gerak fisik dibatasi maka rasa bosan hingga stres mudah meletup. Dalam situasi seperti itu, buku bisa menjadi sahabat penenang.

Keempat, mengoleksi buku adalah bagian dari tindakan regeneratif. Buku-buku yang dikoleksi bisa diwariskan. Orang tua bisa menurunkan koleksinya pada anak. Sejak dini anak didekatkan dengan buku dan membaca. Pada waktunya mereka akan mengikuti jejak baik orang tua.

Kalaupun tidak ada alasan untuk mewariskan pada orang terdekat, koleksi itu bisa bermanfaat untuk para pembaca lain, misalnya untuk kelompok masyarakat yang sangat membutuhkan tetapi tersandung akses dan daya beli.

Untuk alasan tertentu, koleksi itu bisa diperjualbelikan. Apalagi untuk jenis buku-buku langka yang banyak diburu, tidak hanya oleh para kolektor tetapi juga oleh para penjual yang ingin mendapat untung dari setiap buku klasik.

Kelima, dengan membeli dan mengoleksi buku (orisinal, bukan bajakan) kita sebenarnya ikut menjaga industri buku tetap hidup. Melansir Kumparan.com (23/4/2017), dengan penduduk lebih dari 200 juta, pangsa pasar buku di Indonesia sebenarnya sangat besar.  

Namun laporan Ikapi begitu menyayat hati. Rata-rata orang Indonesia hanya membeli 2 buku per tahun.  Jumlah itu sangat kecil bila dibanding negara-negara tetangga. Bila buku adalah jendela dunia, bagaimana nasib bangsa ini di masa depan bila sangat sedikit jendela yang dibuka? Dengan cara apa lagi menstimulus para penulis dan penerbit untuk melahirkan karya-karya bermutu demi mencerdaskan kehidupan bangsa?

Sumber: riri.id
Sumber: riri.id

Jangan lupa dibaca

Apakah saya sudah membaca semua buku yang terpajang di rak pribadi? Bila harus jujur, tentu tidak. Ada beberapa buku baru yang menanti waktu untuk dijamah. Ada juga buku tertentu yang memang dengan sengaja belum disentuh.

Dari pengalaman pribadi, saya kemudian menyadari, membaca dan mengoleksi buku bisa menjadi hal berbeda. Tidak semua buku yang dikoleksi itu dibaca, atau dibaca dengan penuh kenikmatan. Untuk itu beberapa hal ini menjadi catatan, sekurang-kurangnya bagi saya pribadi.

Pertama, buku yang dibeli sejauh dapat dibaca. Alasan tidak sempat dan sebagainya tentu bisa diatasi bila kita mempertimbangkan sebelum membeli buku. Selain harus mengeluarkan sejumlah uang, membeli buku untuk sekadar dipajang membuat kita harus merasa bersalah karena untuk buku yang mubazir itu kita sudah mengorbankan banyak pohon, dari mana kertas berasal.

Untuk mengindari rasa bersalah itu maka perlu mempertimbangkan sebelum membeli buku baru. Misalnya, memutuskan baru akan membeli bila sudah menyelesaikan membaca buku sebelumnya. Atau membatasi kuota membeli buku dalam periode tertentu untuk mengendalikan kecenderungan membeli buku secara membabi-buta.

Begitu juga penting mengetahui minat bacaan agar tidak sampai membeli buku yang kemudian tidak menarik untuk dibaca. Kalaupun ingin bereksplorasi dengan genre "baru" maka perlu komit dengan keputusan.

Kedua, terkadang kita perlu menyadari situasi ini.  Kadang kala kita membeli buku bukan semata-mata untuk kepentingan bacaan. Kita membeli buku bukan untuk dibaca. Tetapi membeli hanya untuk sekadar membeli dan memiliki. Bila jatuh pada kecenderungan kedua maka buku itu hanya akan berakhir di rak buku. Kalau kita bukan pedagang buku, kalau begitu apa gunanya buku-buku itu ?

Ada kalanya pertanyaan itu tidak selalu harus dijawab. Apalagi bila berhadapan dengan bibliomania dan bibliophilia. Kedua kelompok ini, menukil Listverst, Selasa (18/6/2019), sama-sama jatuh cinta pada buku. Hanya saja berakhir dengan actus mengoleksi semata.

Bibliomania memiliki kecendrungan, yang kadang tidak terlihat, untuk mengoleksi buku tanpa pernah dibaca. Lebih parah lagi, mengoleksi buku yang sama berulang kali. Bibliophilia, seperti kata Dr. Martin Sander, "adalah seseorang yang menguasai buku mereka, sedangkan Bibliomania adalah budak dari buku."

Apakah bibliomania dan bibliophilia sebuah penyakit? Belum ada kesimpulan, masih menjadi polemik, sejak mulai dibahas dua abad silam. Secara psikologi, bibliomania digolongkan sebagai gangguan obsesif kompulsif. Pada buku Diagnosis Statistik Gagguan Mental yang dterbitkan Asosiasi Psikiater Amerika, Bibliomania tidak diakui sebagai gangguan mental. Bahkan Press Universitas Oxford menyatakan bibliomania hanyalah sekedar antusiasme pribadi.

Masyarakat Jepang menyebut bibliomania dengan Tsundoku. Oleh mereka fenomena itu dianggap wajar. Mereka dinilai memiliki niat untuk membaca setiap buku yang diburu dan dikumpulkan, namun belum terpenuhi. Niat membaca yang tertunda.

Seperti saya, apakah Anda yang suka membaca dan mengoleksi buku sudah jatuh pada kecenderungan di atas? Apapun itu, yang patut dihindari, seperti pada beberapa kasus para penderita bibliomania dan bibliophilia terkadang memiliki keberanian untuk mendapatkan buku yang diincar dengan cara-cara tak terpuji.

Selain menghindari mencuri dari perpustakaan atau museum, sekiranya perlu juga mengendalikan kecendrungan membeli secara impulsif. Membeli buku tentu boleh. Tetapi jangan sampai diperbudak oleh keinginan membeli buku belaka. Mengoleksi buku jelas bukan perbuatan terlarang. Namun alangkah baik dan lebih berfaedah bila tak lupa dibaca.

Ray Bradbury, sastrawan Amerika Serikat yang terkenal akan karya-karya fiksinya seperti The Martian Chronicles (1950) dan Fahrenheit 451 (1953) pernah berujar, "ada kejahatan yang lebih buruk dari membakar buku, salah satunya adalah tidak membacanya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Segar Selengkapnya
Lihat Segar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun