Sejumlah pertanyaan itu bisa diturunkan dalam banyak pertanyaan praktis. Berapa rata-rata waktu yang dialokasikan untuk membaca dalam sehari? Berapa jumlah rata-rata buku yang dibaca dalam setahun? Berapa jumlah buku yang diwajibkan oleh lembaga pendidikan untuk ditandaskan oleh para peserta didik dalam satu semester? Berapa jumlah buku baru yang terbit di Indonesia tiap tahun? Berapa rata-rata jumlah pengunjung perpustakaan atau toko buku di tanah air?
Jawaban atas pertanyaan itu tentu menuntut ruang yang tidak terbatas. Dengan tanpa bermaksud mengabaikan hal-hal tertentu, berikut beberapa data yang sekiranya merefleksikan kondisi mutakhir, meski data-data yang dipakai tidak sungguh aktual.
Pada Maret 2016 silam, Most Littered Nation In the World merilis hasil studi yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (CCSU) terkait minat baca sejumlah negara di dunia. Dari 61 negara yang diteliti, Indonesia menempati urutan ke-60.
Posisi Indonesia berada di belakang Thailand (urutan 59) dan sedikit lebih baik dari Botswana yang menempati posisi juru kunci.
Untuk memperjelas hasil tersebut, seperti tertera di website CCSU, ada sejumlah kriteria yang dipakai untuk menentukan seberapa tinggi minat baca di suatu negara. Beberapa parameter yang dipakai antara lain perpustakaan, peredaran surat kabar, pemerataan pendidikan, hingga ketersediaan komputer.
Dari variabel tersebut, kita bisa berasumsi bahwa perpustakaan di Indonesia sepi pengunjung, tingkat pemerataan pendidikan tak merata, peredaran surat kabar atau bacaan terbatas di wilayah tertentu, serta jumlah komputer yang minim.
Apakah memang demikian kenyataannya? Apakah saat ini perpustakaan masih menjadi satu-satunya sumber mendapatkan buku bacaan? Apakah surat kabar di Indonesia sedemikian bergeliat sehingga masih menjadi satu-satunya sumber untuk mendapatkan informasi mutakhir?
Apakah konsentrasi pendidikan masih terpusat di wilayah tertentu? Benarkah hari ini komputer masih menjadi barang mahal bagi banyak orang di Indonesia?
Poin-poin pertanyaan di atas tentu menuntut kita untuk meneliti lebih jauh. Termasuk terhadap kenyataan perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi yang sedemikian pesat sehingga membuka akses pada sumber-sumber bacaan digital.
Begitu juga perlu memperhatikan kenyataan bahwa pameran atau bazar buku masih menarik perhatian bagi banyak orang. Sementara itu soal membaca jelas tidak bisa semata-mata diukur dari buku misalnya. Apakah membaca yang bukan buku tidak bisa dikategorikan sebagai membaca dan manfaatnya tidak lebih tinggi dari membaca sebuah buku?