Bagaimana puasa Anda hari ini? Apakah puasamu berjalan lancar? Oh ya, makanan apa yang disantap saat sahur tadi? Bagaimana dengan hidangan berbuka puasa nanti?
Demikian deretan pertanyaan yang begitu akrab sepanjang bulan Ramadan. Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Entah sekadar basa-basi biasa atau mengandung kesungguhan.
Kita sepatutnya menangkapnya secara positif. Anggap saja menjadi sebentuk perhatian dan kepedulian untuk memastikan tak alpa menunaikan kewajiban agama selama bulan puasa.
Namun, apakah Anda pernah mendengar atau melontarkan pertanyaan yang sedikit berbeda. Tidak tentang doa belaka. Tidak melulu seputar makanan dan minuman. Tetapi tentang bagaimana mengisi waktu senggang di bulan puasa.
Anda sedang baca (buku) apa? misalnya, sebelum memutus sambungan telepon dengan seorang kawan. Atau tiba-tiba ada yang menginterupsi di tengah nostalgia di grup WhatsApp angkatan. Apakah kalian sudah baca buku "Rapijali" dari Dee Lestari?
Lebih menarik mana "Ten Years Challenge" dari Mutiarini atau "Selamat Tinggal"-nya Tere Liye? Bagaimana tanggapan tentang buku ketiga dari serial "Taipan, The Winner Takes It All" dari William Narmada? Apakah ditambah "Lahirnya Para Konglomerat Indonesia" dan "Di Bawah Bayangan Papi" William sudah cukup memuaskan rasa penasaran kalian?
Budaya Baca di Tanah Air
Belum berapa lama kita memperingati Hari Buku Sedunia atau World Book Day. Momen tersebut selalu diperingati saban 23 April. Pada tanggal yang sama dunia juga mengingatnya sebagai hari Hak Cipta Dunia. Bisa dipahami, buku dan penerbitan memang tak terpisahkan dengan hak cipta.
Di balik peringatan yang diinisiasi UNESCO sejak 1995 itu muncul beragam pertanyaan reflektif terutama untuk konteks Indonesia. Sejauh mana geliat budaya baca dan literasi di tanah air? Bagaimana kondisi industri buku di Indonesia?