Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Paskah, Joko Pinurbo, dan Celana Ibu

3 April 2021   16:24 Diperbarui: 4 April 2021   07:31 2511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya saja, polemik penafsiran tetap saja membuncah. Apalagi ada bagian dan kata-kata yang cukup mengundang tanya. Pada bait ketiga misalnya, saat Yesus dan Maria bertukar jawab dengan kata paskah.

"Paskah?" tanya Maria.

"Pas sekali, Bu," jawab Yesus gembira.

Apakah Jokpin memang sengaja mempermainkan bunyi dan makna paskah? Apakah paskah itu dimaksudkan sebagai pertanyaan ukuran celana "pas atau tidak" sehingga seharusnya ditulis "pas, kah?" Atau memang persis seperti tertulis itu: paskah sebagai satu kata sehingga menyatu dengan konteks peristiwa iman yang menjadi inti puisi itu?

Hal lain yang tak kalah penting adalah "celana" berikut jalinannya dengan kisah Yesus dan Maria. Mengapa Jokpin harus memakai kata "celana", bukan cawat, jubah atau jenis pakaian yang lebih lazim untuk situasi saat itu seperti yang tersurat di KS?

Mengapa harus Maria yang berada dekat di saat-saat kebangkitan Yesus? Bahkan ada kesan, untuk bangkit ke surga, Yesus masih harus menunggu Maria dan celana itu.

Celana dan bagian-bagian tertentu yang tertulis bisa kita baca secara metaforis. Tidak semua kata-kata itu menghadirkan makna eksplisit. Kita bisa memahami yang berada di balik yang tertulis itu. Patut diingat, bagaimanapun ini tetap karya sastra yang tak lepas dari metafora yang mengundang tafsir.

Maria dan celana itu tidak harus kita pahami secara harafiah. Itu bisa dibaca sebagai bentuk kedekatan antara seorang ibu dan anak. Di saat-saat penting seperti itu kehadiran seorang ibu terasa begitu berarti. Seorang ibu pun tidak bisa dipisahkan atau dilepaskan begitu saja dari peristiwa iman sebesar itu.

Jokpin sudah memaksudkan puisi ini sebagai sebentuk refleksi kritis atas iman yang dipeluknya. Ia ingin memberi tempat yang layak kepada sosok Maria. Ia tahu, pengalaman, refleksi, hingga tafsirannya atas ajaran teologis lebih mengedepankan konsep Tuhan sebagai seorang bapak atau ayah.

"Bagaimana melihat Tuhan dari sisi yang lain, sisi keibuan? Hingga dia itu tidak hanya Allah Bapa, tapi juga Allah Ibu."

Keempat, Jokpin sadar konsep yang diangkat dari puisi itu bersebelahan dengan arus utama. Namun, refleksi kritis seperti itu bukan hal baru. Dalam tradisi Kekristenan kritik terhadap kesan maskulinitas dan budaya patriarki terus berlanjut hingga hari ini. Dan sejauh ini belum ada jalan tengah yang memuaskan semua pihak. Walau begitu, refleksi-refleksi kritis itu tidak sampai membuat gereja runtuh berkeping-keping. Jokpin pun, seperti yang ia utarakan, tidak juga mendapat sanksi dari pemuka gereja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun