"I think I'm like wine. The older I get, the better I get."Â
(Zlatan Ibrahimovic)
Langkah AC Milan di pentas Liga Europa terhenti. Rossoneri tak mampu melewati hadangan Manchester United di babak 16 besar. Hasil imbang tanpa gol di leg pertama tak bisa ditebus dengan kemenangan di pertemuan kedua. Kekalahan satu gol tanpa balas di San Siro, Jumat (19/3/2021) lebih dari cukup menguburkan asa mereka di pentas Eropa musim ini.
Adalah Paul Pogba, pencetak gol semata wayang di laga itu. Pemain Prancis yang tengah berjuang menghadapi berbagai krisis akhirnya tampil sebagai pembeda. Satu lesatannya ke gawang Gianluigi Donnarumma lebih dari cukup mengantar mereka ke delapan besar.
Milan? Nelangsa. Sedihnya lagi, kegagalan itu justru terjadi di kandang sendiri. Tim ini harus berjuang keras di pentas domestik untuk mendapatkan tiket ke kancah Eropa musim depan. Kegagalan ini bisa ditebus dengan hasil meyakinkan di pentas Serie A yang memungkinkan mereka naik level ke Liga Champions.
Apa sebab kekalahan Milan di laga ini? Apakah tim asal kota mode itu pantas tersisih? Bagaimana dengan penampilan para pemain andalan, apakah sudah sesuai ekpektasi?
Demikian sederet pertanyaan yang mengemuka. Tidak cukup ruang untuk membahas satu per satu. Bagi saya, menarik untuk berbicara tentang Zlatan Ibrahimovic. Pemain paling senior, sekaligus paling disegani. Sosok paling berpengalaman, sekaligus menjadi andalan.
Sejak berlabuh lagi di San Siro, pemain asal Swedia itu sedikit banyak membawa perubahan positif dalam tim. Ada yang menilai, kehadiran Ibra membuat Milan mendapatkan kembali rute menuju pelabuhan tim papan atas.
Rahasia Ibra
Di balik konflik pribadi dengan Romelu Lukaku yang sempat memanas beberapa waktu lalu, banyak alasan yang membuat kita tetap kagum pada Ibrahimovic. Seorang pemain yang sudah malang melintang di sembilan klub dan tujuh liga berbeda. Lengkapnya di tulisan Zlatan Ibrahimovic di Antara Kronos dan KairosÂ
Kita perlu memahami konteks di balik torehan 14 gol di Serie A musim ini. Jumlah gol yang tak terbilang sedikit di tengah perjuangan dan kerja keras menjaga kebugaran. Jumlah gol yang membuatnya kini masuk dalam grup pesepakbola 500 gol.Â
Cedera ligamen di musim keduanya di Manchester pada April 2017 nyaris mengakhiri kariernya. Bila itu terjadi akan menjadi pukulan tersendiri. Sulit menerima seorang pemain harus gantung sepatu saat sedang berada di puncak karier di usia pertengahan 30-an.
Ibra kemudian hijrah ke Amerika. Bergabung dengan LA Galaxy sempat membangkitkan sejumlah tanda tanya. Salah satunya, apakah AS akan menjadi tempat penghabisannya. Namun, torehan 53 gol di kompetisi tersebut membuat tanda tanya itu mendapat jawaban berbeda.
Situasi itu membuka jalan pulang Ibra ke pentas Eropa. Ia bergabung dengan Milan. Mencetak 42 gol dalam 61 pertandingan. Ia menjadi bagian dari tim yang meraih gelar ke-18 Serie A pada 2011 dan finis kedua di tahun berikutnya.
Ternyata, delapan tahun kemudian, Ibra kembali bergabung dengan tim merah hitam. Situasi sudah jauh berbeda. Saat ia tiba di awal tahun, kondisi tim tengah terpuruk. Terperosok di posisi 11 di Serie A. Apa yang Ibra lakukan? Apakah kepulangannya ke San Siro hanya sebatas nostalgia?
Ibra menjawab dengan 10 gol dalam 16 pertandingan. Posisi Milan tergerek naik. Finis di posisi keenam dan berkesempatan tampil di pentas Eropa, meski hanya di turnamen level kedua.
"Jika saya ada di sini sejak hari pertama, kami akan memenangkan kejuaraan," Ibra bicara penuh percaya diri.
Ya, Ibra adalah sosok yang begitu yakin dengan setiap kata-kata yang dikeluarkannya. Â Ia membuktikan bahwa ucapan yang keluar dari mulutnya bukan isapan jempol belaka. Sumbangsih 14 gol, sekaligus menempatkannya dalam daftar lima besar pencetak gol terbanyak Serie A, adalah bukti. Ia tetap bersaing dengan Cristiano Ronaldo, Romelu Luaku, Luis Muriel, dan Ciro Immobile yang berusia lebih muda.
Melihat Ibra hari ini, kita seakan tak percaya. Ketenangannya tak juga berubah, begitu juga dengan kepercayaan dirinya. Ketajamannya? Meski tak sedahsyat sebelumnya, ia tetaplah tampil sebagai andalan. Bila tidak bisa mencetak gol, maka ia akan menjadi pelayan, atau sekadar membantu tim untuk memenangkan pertandingan. Demikian prinsip yang ia pegang dan praktikkan.
Ternyata, Ibra tidak hanya pelengkap mesin Milan yang bergerak dinamis dan nyaris tak pernah mandek. Ibra sudah menjadi bagian penting yang tanpanya akan sangat mempengaruhi kinerja tim.
Dengan rasio 1,17 gol per pertandingan dan mencetak gol setiap 69 menit, Ibra hanya kalah dari Robert Lewandowski (Bayern Muenchen) dan Luis Muriel dari Atalanta. Nama yang disebutkan terakhir memang cukup mengejutkan. Muriel rutin mencetak gol, meski hanya tujuh gol dari 20 pertandingan.
Kita akhirnya bertanya. Apa yang membuat Ibra bisa tetap eksis di saat sebagian besar teman seangkatannya sudah lama pensiun? Apa rahasia di balik kebugaran dan performa Ibra saat rekan-rekannya sudah berpindah posisi menjadi pelatih atau kini hanya bisa duduk manis di depan televisi?
Salah satu kunci adalah pola hidup. Ibra begitu disiplin, terutama soal makanan. Ia tak main-main soal diet. Begitu juga tetap berolahraga dengan berbagai penyesuaian.
"Anda berbicara tentang buah dan sayuran dan hanya daging putih," ungkap pakar sepak bola Spanyol Guillem Balague seperti dilansir dari bbc.com.
Bila ditawari pizza, maka ia pasti memilih tanpa gula. Tidak hanya itu, ia masih melakukan sedikit taekwondo. Beladiri yang disebutkan terakhir itu sedikit banyak masih terlihat pengaruhnya dalam pergerakan dan sepakan sang pemain di lapangan pertandingan.
Di balik kebugaran fisik yang tetap dijaga tanpa kompromi, Ibra adalah sosok yang kompetitif. Ia tak ingin menyerah begitu saja. Bisa jadi, hal inilah yang membuatnya selalu ingin terlihat dari para pemain yang lebih muda di timnya. Milan yang penuh gairah.
Kirbat dan Anggur
Dengan tren yang ada sekarang, maka peluang Ibra untuk tetap bermain masih terbuka lebar. Ia kian mendekati Sergio Pellisier dan Francesco Totti yang masing-masing bermain untuk Chievo dan AS Roma di usia 40 tahun. Dengan delapan bulan menuju ulang tahun ke-40, rekor Pellisier dan Totti tampaknya bisa Ibra pecahkan.
Tidak hanya itu, kita mungkin masih bisa melihatnya mencetak sejarah. Adalah Italo Rossi yang bermain untuk Pro Patria hingga usia 52 tahun, 11 bulan dan tiga hari. Pencapaian itu sudah mendekati tujuh dasawarsa silam.
Bila tak ada aral yang kan melintang, Ibra mungkin saja menjadi pemain di era modern yang bisa bermain lebih tua dari itu. Ia bisa menjadi seperti yang ia katakan. Ia laksana anggur, semakin tua, semakin berkelas.
Saya ingat salah satu perumpaan dalam teks Kitab Suci. Anggur baru sebaiknya disimpan dalam kirbat yang baru. Kirbat merupakan wadah dari kulit binatang yang digunakan oleh orang-orang pada zaman dahulu untuk menyimpan anggur.
Mengapa anggur baru perlu disimpan dalam kirbat yang baru? Kirbat yang baru lebih mampu menahan tekanan dari dalam yang semakin besar karena fermentasi aktif dari anggur. Kirbat yang sudah tua lama-kelamaan menjadi keras dan kehilangan kelenturannya. Lambat laun akan pecah.
Apakah setelah kegagalan di Liga Europa hari ini, Ibra masih tetap menjadi anggur istimewa yang perlu disimpan dalam kirbat Milan? Apakah Milan masih menjadi kantong terbaik untuk memelihara kualitas permainan Ibra?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H