Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

Teman tapi Musuh, Kisah Greysia Polii-Chang Ye Na dan Huang Yaqiong-Sapsiree Taerattanachai

3 Maret 2021   06:02 Diperbarui: 4 Maret 2021   03:57 3259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah momen kebersamaan Popor dan Huang Yaqiong: www.olympicchannel.com

Kisah persahabatan Lee Chong Wei dan Lin Dan memang masih membayang. Di balik persaingan epik keduanya di sektor tunggal putra selama lebih dari satu dekade dengan bumbu kental pertemanan terasa masih layak dicecap. 

Namun persaingan mereka di dalam lapangan sudah berakhir dan kisah "bromance" di luar arena bakal menjadi sejarah. Selengkapnya bisa baca di sini kawan!

Apakah selepas Lee Chong Wei dan Lin Dan, kita kehabisan stok cerita serupa? Tak ada lagikah kisah pemain beda negara yang bertarung habis-habisan di dalam gelanggang pertandingan tetapi diam-diam saling berkomunikasi, pun terang-terangan memamerkan kedekatan di sosial media, yang masih bisa kita nikmati?

Greysia Polii dan Chang Ye Na adalah contoh mutakhir dari sektor ganda putri. Usia mereka tidak terpaut jauh. Greysia 33 tahun, dua tahun lebih tua dari pebulu tangkis Korea Selatan itu.

Bisa jadi berada dalam generasi yang sama membuat mereka kerap bertemu di arena pertandingan. Intensitas pertemuan dari turnamen ke turnamen akhirnya membuka kesempatan bagi mereka untuk menenun tali persaudaraan.

Walau begitu, saat bertemu di gelanggang pertandingan, mereka tetap menunjukkan diri laiknya kawan dan lawan. Mereka tidak mengendurkan semangat pasangannya hanya karena salah satu dari lawan yang dihadapi memiliki kedekatan personal.

Ada sejumlah momen untuk membuktikan hal tersebut. Salah satunya pertemuan mereka di perempat final Malaysia Masters 2020. Greysia Polii yang berpasangan dengan Apriyani Rahayu seakan menutup mata saat menghadapi Chang Ye Na bersama Kim Hye Run.

Mereka terlibat pertarungan sengit selama 56 menit. Greysia dan Apri tahu yang harus mereka kejar adalah kemenangan agar bisa melangkah ke semifinal. Selain itu, pasangan beda generasi dari Indonesia itu tidak ingin kembali menjadi bulan-bulanan setelah dua kekalahan beruntun.

Sebelum bertemu di Malaysia Masters 2020, kedua pasangan lebih dulu dipertemukan di dua turnamen setahun sebelumnya. Denmark Open dan Thailand Open. Hasilnya? Greysia dan Apri takluk, masing-masing dengan skor 21-9,21-23, 19-21 dan 21-23 dan 16-21.

Untuk itu Greysia dan Apri tidak ingin rekor buruk itu diperpanjang. Mereka pun berjuang keras. Kemenangan adalah harga mati. Akhirnya, setelah kehilangan dua kesempatan sebelumnya, Greysia dan Apri sukses memetik kemenangan pertama. Skor 21 -19 21-19 menutup pertemuan ketiga itu.

Greysia tentu semringah selepas pertandingan tersebut. Keduanya sudah lama tidak menginjakkan kaki di semi final, setelah terakhir kali terjadi di Taiwan Open setahun sebelumnya. Sementara itu dalam enam turnamen kemudian, keduanya harus angkat koper lebih awal.

Kemenangan atas sahabatnya itu sangat penting bagi Greysia. Ia bisa mendekatkan mimpinya untuk menjadi juara di Malaysia, setelah dua kesempatan sebelumnya pada 2007 bersama Vita Marrisa dan setahun sebelumnya bersama Apriyani, lepas.

"Kami bersaing satu sama lain, kami bertarung satu sama lain di lapangan, meskipun dia sayang di hatiku dan sebaliknya, kami bertarung sampai akhir. Saya tidak ingin memberinya poin, dan dia tidak akan memberi saya poin apa pun," ungkap Greysia usai pertandingan tersebut seperti dinukil dari bwfbadminton.com.

Saat bertemu lagi di All England tahun lalu, situasi penuh persaingan tetap terlihat di lapangan pertandingan. Mereka terlibat persaingan nyaris satu jam. Laga itu akhirnya dimenangi pasangan Korea, straight set, 17-21 dan 15-21.

Seperti laga-laga sebelumnya, pertemuan itu tetap memberi kesan tersendiri bagi mereka. Bagi Chang Ye Na, kemenangan itu tentu menyenangkan. Sementara itu bagi Greysia, hasil negatif itu tetap patut diterima sebagai konsekuensi dari perjuangan yang sudah mereka tampilkan.

Semifinalis BAC2016, Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari dan Chang Ye Na/Lee So Hee: twitter.com/inabadminton
Semifinalis BAC2016, Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari dan Chang Ye Na/Lee So Hee: twitter.com/inabadminton

Mereka tetap mendudukan profesionalisme pada tempatnya. Saat di lapangan pertandingan, mereka berbeda. Masing-masing berjuang untuk negaranya. Setiap mereka bertarung demi karier. 

Tidak ada toleransi kedekatan pribadi selama pertandingan masih berlangsung. Kalah dan menang adalah kosa kata wajib dalam kamus permainan mereka.

"Kami sudah seperti ini sejak lama, kami hanya ingin melakukan yang terbaik untuk diri kami sendiri dan untuk negara kami, untuk karier kami," Greysia melanjutkan.

Keduanya tetap bersikap proporsional. Mereka tahu kapan harus menjadi kawan, dan dalam situasi mana yang lain adalah lawan yang harus dikalahkan. Karena semangat kompetif itu, bisa jadi, hubungan mereka justru semakin erat.

Secara lebih jelas, Greysia mengatakan, "Dia saingan terberatku dan juga teman baikku. Saya pikir kami memiliki nilai yang sama dalam hidup dan kami dapat bertukar sisi positif, itulah cara kami menjadi teman."

Greysia Polii saat diundang makan bersama oleh keluarga Chang Ye Na: www.instagram.com/greyspolii
Greysia Polii saat diundang makan bersama oleh keluarga Chang Ye Na: www.instagram.com/greyspolii

Melampaui bahasa

Seperti Greysia Polii dan Chang Ye Na, begitu juga Huang Yaqiong dan Sapsiree Taerattanachai. Huang adalah pasangan Zheing Siwei di ganda campuran. Sementara itu Sapsiree bertandem dengan Dechapol Puavaranukhroh di sektor serupa.

Sama-sama aktif bermain di nomor yang sama membuat pertemuan mereka adalah niscaya. Dalam salah satu wawancara dengan Olympic Channel, mereka membongkar kedekatan di antara mereka. 

Popor dan Bass (kanan) serta Zheng Siwei/Huang Yaqiong: www.olympicchannel.com
Popor dan Bass (kanan) serta Zheng Siwei/Huang Yaqiong: www.olympicchannel.com

Mereka sudah mulai beradu di lapangan resmi sejak awal 2017. Namun begitu butuh waktu setahun untuk bisa dekat, meski bermula dari sekadar berfoto bersama.

Kejuaraan Asia 2018 menjadi titik mula kedekatan di antara mereka. Mengabadikan gambar bersama pasangan kemudian memantik percakapan yang berkembang semakin intens setelah itu. Pertanyaan pembuka Popor terkait usia Huang, berlanjut dengan saling bertukar nomor telepon.

"Sejak itu, kami membangun hubungan kami sebagai teman. Dan kami mulai lebih sering berkomunikasi," Sapsiree Taerattanachai kepada Olympic Channel.

Kedekatan yang mulai terbangun tidak menegasikan kompetisi di lapangan pertandingan. Seperti kita tahu, Huang dan Zheng Siwei begitu digdaya di sektor tersebut. 

Mereka menduduki ranking satu dunia sejak Agustus 2018. Berbagai pencapaian telah mereka raih, termasuk brace Juara Dunia beruntun pada 2018 dan 2019.

Sementara itu Bass dan Popor, sapaan manis pasangan Thailand itu, terlihat mulai lepas dari bayang-bayang kedigadayaan pasangan China itu. Buktinya, kini mereka sudah berada tepat satu strip di belakang Huang dan Zheng.

Hat-trick Super 1000 di kandang sendiri awal tahun ini menjadi salah satu pencapaian terbesar mereka. Di seri Yonex Thailand Open, Toyota Thailand Open, dan BWF World Tour Finals 2020, mereka hampir tak menemui lawan berarti. Absennya para pemain China dan Jepang, termasuk duo Zheng/Huang dan Wang Yi Lyu/Huang Dong Ping, membuat Bass dan Popor tiga kali beruntun melenggang ke podium tertinggi.

Sejumlah momen kebersamaan Popor dan Huang Yaqiong: www.olympicchannel.com
Sejumlah momen kebersamaan Popor dan Huang Yaqiong: www.olympicchannel.com

Kita tentu akan melihat pertarungan di antara mereka yang kian ketat. Bass dan Popor sudah semakin matang sebagai pasangan dan kian percaya diri. Keduanya siap untuk meruntuhkan dominasi pasangan Negeri Tirai Bambu itu.

Walau ambisi untuk itu mulai meletup-letup, hubungan Huang dan Popor tentu tak akan pernah berubah. Seperti kata Huang, "Kami adalah lawan di lapangan dan kami berteman di luar lapangan. Hasil pertandingan tidak akan memengaruhi kehidupan normal kami. Kami juga menghargai kesempatan untuk bermain melawan satu sama lain."

Mereka akan tetap menjadi sahabat di luar lapangan. Bisa jadi, semakin sering mereka bertanding, momen untuk semakin dekat lebih terlihat. 

Beberapa postingan memperlihatkan betapa hangatnya mereka selepas pertandingan. Mereka seakan sedang berkampanye mempertahankan pertemanan sama ketatnya dengan memperjuangkan kemenangan.

Ada satu pertanyaan menggelitik. Bagaimana mereka berkomunikasi baik saat bertemu maupun dalam percakapan via aplikasi pesan?

Saya tak yakin Popor menguasai bahasa Mandarin, begitu pula Huang memahami dengan baik bahasa Thai. Patut diakui, tak banyak pemain yang fasih berbahasa Inggris, bahasa pergaulan internasional.

Keterbatasan bahasa tentu kerap menjadi rintangan dalam berkomunikasi. Namun mereka selalu punya cara untuk mengatasinya. Keberanian mereka untuk mencoba patah kata bahasa asing adalah salah satunya. 

Komunikasi dengan memadukan berbagai bahasa secara acakadut bahkan tak segan menggunakan gerak tangan. Apalagi kecanggihan teknologi komunikasi bisa diandalkan menerjemahkan rasa, perasaan dan intensi dalam berbagai bentuk simbol, serta mampu mengalihbahasakan kata-kata dan kalimat dengan cepat.

Dechapol/Sapsiree dan Zheng Siwei/Huang Yaqiong di podium Denmark Open 2018: instagram.com/popor_sapsiree
Dechapol/Sapsiree dan Zheng Siwei/Huang Yaqiong di podium Denmark Open 2018: instagram.com/popor_sapsiree

"Kami menggunakan beberapa bahasa untuk berkomunikasi. Campuran bahasa Mandarin, Inggris, dan gerakan tangan," simpul Popor.

Apakah kedekatan Popor dan Huang mengganggu Bass dan Zheng Siwei? 

Bass yang lima tahun lebih muda, sedangkan Zheng tiga tahun lebih muda menanggapai santai para seniornya saling memadu kedekatan. Masing-masing partner tak merasa terganggu. Bass tahu, "mereka hanya berteman dan tidak lebih."

Sementara itu Zheng berkeyakinan, persahabatan seperti itu bukan hal baru di dunia bulu tangkis. Ia mengambil contoh Lin Dan dan Lee Chong Wei. Persaingan intens tidak harus mencaplok peluang pertemanan.

Justru, kehidupan seorang atlet yang disarati latihan dan pertandingan tanpa henti serta rutinitas bagai robot perlu mendapat sentuhan berbeda yang membuat mereka tetap merasa sebagai manusia universal. Mengutip Zheng, "Menurut saya, menjadi pesaing tidak berarti kita juga tidak bisa berteman. Kalau tidak, atlet tidak akan pernah bisa berteman."

Ya, pertandingan itu singkat, tetapi pertemanan abadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun