Usia mereka memang belia. Soal prestasi dan potensi jangan kita sepelehkan. Mereka boleh kita panggil The Babies, tapi kini "bayi-bayi" itu sudah bisa melompat sedemikian jauh. Rangking terbaru BWF sudah tak menempatkan mereka di barisan ekor.
Indonesia jelas tak pernah kehabisan stok pasangan ganda putra kelas dunia. Kita coba mengurut dalam satu dasawarsa terakhir. Generasi Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan belum juga gantung raket, kita sudah memiliki penerus dengan segudang prestasi.
Dua pasangan dalam satu generasi dengan prestasi paling menonjol bisa disebut. Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya dan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianti. Kecuali Marcus yang hampir menginjak kepala tiga, ketiga pemain lain masih berada di rentang usia 24-25 tahun. Bersama Hendra/Ahsan, mereka melengkapi barisan top 7 di rangking BWF, dengan "The Minions" Marcus/Kevin di urutan pertama, disusul The Daddies, lantas FajRi.
Tanpa perlu mengulas sepak terjang dan seberapa hebat ketiganya, mari kita melompat ke generasi yang lebih muda. Leo Rolly Carnando dan Daniel Marthin sudah mulai berbicara banyak. Pasangan 19 tahun ini sudah meninggalkan kelas junior dan kini menapaki level senior.
Bermodalkan sederet prestasi di level junior yang berpuncak pada podium utama Kejuaraan Dunia Junior 2019, keduanya mulai bersaing dengan para pemain senior di kelas elite. Medali emas dua tahun lalu di Kazan, Rusia, usai merontokkan pasangan China, Di Zijian/Wang Chang, membuat keduanya menjadi buah bibir.
Di satu pihak, ini menjadi torehan tersendiri dalam lembaran sejarah bulu tangkis Indonesia sebagai medali emas pertama Indonesia di ajang tersebut sejak 1992. Di sisi lain, potensi dan bakat besar mereka terlihat jelas. Sepanjang berlaga di level junior, keduanya sudah membuktikan melalui sederet prestasi.
Legenda tunggal putra Indonesia, Alan Budikusuma lugas menyebut Leo dan Daniel sedikit banyak mewarisi kemampuan The Minions. Dalam suatu kesempatan, peraih emas Olimpiade Barcelona 1992, berkata, "Leo di depan sangat cepat dan akurat. Dia sangat mirip dengan Kevin. Daniel sangat kuat. Jadi, mereka masa depan dari pasangan ganda putra."
Lompatan besar
Merunut sejarah Leo dan Daniel sebagai pasangan, tidak hanya menarik mengangkat prestasi dan pencapaian mereka. Patut disebut pula bagaimana riwayat perkenalan mereka hingga proyeksi masa depan yang bakal mereka capai.Â
Tidak seperti kebanyakan pasangan yang dipertemukan secara terencana, pertemuan Leo dan Daniel, bisa disebut kebetulan. Leo lahir di Klaten, Jawa Tengah, 29 Juli 2001. Sementara Daniel asal Jakarta, berulangtahun dua hari setelah Daniel. Usia mereka hanya terpaut dua hari. Namun fakta ini baru terkuak setelah keduanya mulai bertandem di lapangan badminton.
Mereka bertemu tahun 2015 saat audisi PB Djarum di Jakarta. Itu pun tidak langsung berpasangan. Leo baru bisa lolos ke ibu kota Jakarta setelah beberapa kali gagal dalam audisi sebagai pemain tunggal. Saat seleksi pemain ganda, jumlah pasangan ganjil. Empat pasang plus satu pemain. Leo berada dalam posisi ganjil.Â
Daniel pun diminta menemani Leo. Sebagai pasangan dadakan, penampilan mereka di ajang seleksi itu cukup mencuri perhatian. "Perkawinan" tak sengaja itu kemudian berlanjut. Ikatan di antara mereka kemudian menjadi semakin kuat. Debut di kompetisi internasional terjadi pada 2018 kemudian menjadi juara dunia setahun berselang.
Kini mereka sudah berada satu level di atasnya. Mereka masuk ke kelas utama, meski terjadi karena campur tangan dewi fortuna karena sejumlah pasangan batal tampil, dengan hasil yang meyakinkan. Untuk ukuran pasangan belia, debut di level Super 1000, sudah menjadi sebuah berkah. Apalagi bila mampu melangkah jauh.
Itulah yang terjadi dengan Leo/Daniel di dua turnamen pertama dalam BWF World Tour 2021. Yonex Thailand Open dan Toyota Thailand Open menjadi panggung pertunjukan mereka. Keduanya sukses mencuri perhatian di Impact Arena, Bangkok.
Leo dan Daniel berhasil menggebrak di pekan pertama. Dua pasangan Indonesia yang lebih berpengalaman berhasil dilewati. Meski harus berjuang tiga game, Leo dan Daniel bisa menjinakkan Muhammad Shohibul Fikri/Bagas Maulana di laga pertama.
Kemenangan 15-21, 29-27, dan 21-13 itu mengantar mereka menghadapi ujian yang lebih berat. Tak tanggung-tanggung, keduanya harus beradu dengan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto. Jam terbang dan pengalaman FajRi jelas lebih diunggulkan. Unggulan lima plus finalis Asian Games 2018.
Apa yang terjadi kemudian membuat kita semakin yakin akan masa depan Leo dan Daniel. Sempat kehilangan game pertama, keduanya berbalik unggul dia dua game berikutnya. Kemenangan 16-21, 21-17, dan 22-20 mereka raih. Duel seru dan menegangkan sungguh terjadi di poin-poin akhir.
Tidak sampai di sini. Kibasan raket Leo dan Daniel terus berlanjut. Gelora semangat mereka yang menggebu-gebu mendapatkan ujian dari pasangan non Indonesia dengan usia dan pengalaman yang jauh lebih banyak.
Setelah melewati ujian senior-senior di Pelatnas Cipayung, giliran Marcus Ellis/Chris Langridge yang menguji mereka. Hasilnya? Pasangan Inggris ini harus menyerah setelah bertarung lebih dari satu jam. Leo dan Daniel ternyata mampu meladeni kematangan juara Denmark Open dan peraih medali perunggu Olimpiade Rio 2016.
Skor akhir 12-21 21-14 21-15 mengantar Leo dan Daniel ke semi final. Sayangnya, keduanya belum mampu menumbangkan pasangan Malaysia, sekaligus peraih medali perak Olimpiade Rio 2016, Goh V Shem/Tan Wee Kiong. Saat itu Leo dan Daniel terlihat bernasib antiklimaks.
Terlepas dari itu, pencapaian tersebut tentu patut digarisbawahi. Mencapai semi final di titian pertama di kelas senior dan langsung bermain di level teratas tidak bisa dianggap biasa. Tidak banyak pasangan muda yang mampu melakukan hal tersebut.
Selain mendapat banyak pelajaran di turnamen pertama, Leo dan Daniel juga mendapat tambahan pengalaman di pekan berikutnya. Di turnamen yang bersponsor Toyota, keduanya berhasil mengawali dengan baik.
Keduanya membuat keok pasangan senior asal Denmark, Kim Astrup dan Anders Skaarup Rasmussen usai terlibat pertarungan ketat rubber game, 17-21 21-15 21-19. Kemenangan ini mengantar mereka ke pertandingan berikutnya.
Aaron Chia/Soh Wooi Yik, tampil lebih baik. Dengan jam terbang lebih tinggi pasangan muda Malaysia itu mampu meredam Leo/Daniel. Meski harapan untuk mengulangi pencapaian pekan sebelumnya berakhir sedikit lebih cepat, Leo dan Daniel sudah berjuang maksimal. Penampilan tiga game itu menjadi bukti bahwa mereka sudah berjuang sebisa-bisanya. Juga sehormat-hormatnya.
Hasil yang diraih selama dua pekan itu membuat nama mereka kembali jadi buah bibir. Pelatih utama ganda putra Pelatnas, Herry Iman Pierngadi menilai keduanya sukses melakoni debut. Dibanding pemain muda lainnya, jelas Leo dan Daniel paling mencolok hasilnya. Walau menjadi pasangan paling muda di tim Indonesia, keduanya sukses unjuk gigi.
Hasil tersebut tidak hanya diganjar apresiasi dan pancaran optimisme, tetapi juga poin yang tidak sedikit. Bila kita melihat update rangking terbaru dari BWF pada awal pekan ini, nama keduanya sudah jauh meninggalkan posisi sebelumnya.
Rangking mereka naik 35 peringkat. Dengan raihan 31.270 poin, Leo dan Daniel kini berada di posisi ke-42. Keduanya berada persis di belakang pasangan pelatnas lainnya, Muhammad Shohibul Fikri/Bagas Maulana.
Peningkatan ini tentu sebuah pencapaian yang tak bisa disepelehkan. Sebuah hasil perjuangan selama bertahun-tahun yang sudah menunjukkan hasilnya di kelas junior, lantas berlanjut di level senior. Sebuah langkah awal yang manis dari The Babies (bentuk jamak bayi, diturunkan dari The Daddies, para ayah) di gelanggang prestisius.Â
Meski begitu, dengan usia yang masih belia, prospek mereka begitu cerah. Di depan sana masih ada jalan panjang yang harus dilewati. Untuk bisa menapak lebih tinggi, apalagi menyamai prestasi para senior seperti The Minions, keduanya masih harus berjuang keras. Berlatih, berlatih, dan terus berlatih. Bertanding, bertanding, dan bertanding.
Sang pelatih, Herry IP, mengakui Leo dan Daniel tampil bagus di Thailand. Sasaran yang ingin dilihatnya sudah menunjukkan hasil yang baik. Buah dari latihan selama berada di pelatnas semakin membentuk cara mereka bermain, pola mereka di lapangan pertandingan, hingga mental yang mulai diasah di level yang jauh lebih tinggi.
Selanjutnya, ia masih punya tugas yang tidak ringan. Bagaimana meningkatkan teknik, visi bermain, hingga stamina dan motivasi Leo dan Daniel. Hal-hal ini begitu mendasar bila ingin semakin berkibar di papan atas. Dan tidak sebaliknya, menjadi bunga yang mekar sesaat, lalu layu tak lama berselang. Â
Kita bisa berkaca pada The Minions atau pasangan muda yang sedang naik daun, Wang Chi-lin/Lee Yang. Mereka hampir memiliki semua syarat untuk menjadi pasangan kelas atas. Selain itu, Wang/Lee misalnya, yang pekan ini merangsek ke tiga besar BWF, menempel The Minions dan The Daddies, memiliki keutamaan yang membuat mereka bisa tetap menjaga konsistensi tanpa pernah termakan publikasi, puja puji dan sensasi.
Kerendahan hati untuk tetap belajar. Meski mampu menyapu tiga gelar Super 1000 secara beruntun, pasangan Taiwan itu tetap menyebut The Daddies sebagai idola, yang kepadanya mereka selalu berkaca dan belajar.
Semoga Leoniel, begitu sapaan sebagian warganet, yang sudah melakukan lompatan besar di awal tahun bisa terus mengayun raket mereka sampai jauh.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H