"Kami telah bersama sejak Maret 2019, tetapi satu setengah tahun terakhir kami memainkan sekitar 10 turnamen, sementara yang lain telah memainkan lebih banyak lagi."
Walau kalah, keduanya tetap bersemangat. Apalagi bagi Kilasu semangatnya berangkat ke Bangkok tak semata-mata terpacu untuk unjuk gigi di arena pertandingan. Baginya, perjalanan ke Thailand sekaligus pemenuhan panggilan jiwa: mudik. Ia ingin bermain di tanah kelahiran serentak napak tilas ke kampung halaman, di mana sebagian besar familinya berada.
Sayangnya, seorang pelatih Jerman, positif Covid-19 pekan lalu. Mereka pun terkena imbas. Ruang gerak mereka benar-benar dibatasi. Kerinduannya untuk menghabiskan seminggu setelah turnamen di Impact Arena bersama keluarga ibunya pun pupus.
"Sangat menyedihkan karena saya bermain di Thailand dan saya pikir saya bisa bertemu keluarga saya. Saya bertemu mereka terakhir kali saat Natal tahun 2019. Mereka berada di kota kecil, empat jam lamanya (dari Bangkok)."
Jansen, tandemnya, adalah seorang Indonesia. Pria kelahiran Jakarta, 1992 itu memilih hijrah hingga melepaskan status kewarganegaraannya karena kecewa gagal masuk Pelatnas PBSI, sekitar tahun 2016 silam. Sosok yang juga bermain di ganda putra ini mafhum dengan kegundahan Kilasu. Ia paham bagaimana rasanya bila gagal bertemu keluarga yang sudah ada di depan mata.
"Aku bisa membayangkannya. Dia berasal dari Thailand dan dia di Thailand sekarang dan tidak dapat bertemu orang tuanya. Saya dapat membayangkan jika ada turnamen di Indonesia, dan saya tidak dapat bertemu orang tua saya meskipun saya ada di sana - itu pasti sangat menyakitkan," tandas Jansen seakan mengkonfirmasi betapa berartinya tanah air beta (baca: saya) bagi setiap orang, tanpa terkecuali.
Keep strong Kilasu! Vorwrts!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H