Soal bagaimana beradaptasi dengan sistem perkuliahan di sana. Bertemu dan bergaul dengan mahasiswa dari berbagai belahan dunia. Terlibat dalam berbagai aktivitas kemahasiswaan dalam perkumpulan mahasiswa asal Indonesia. Pengalaman menjalankan panggilannya sebagai seorang Katolik di negara sekular, sekaligus seorang duta bangsa di kancah internasional. Hingga upaya mendapatkan tambahan yen karena Jepang adalah salah satu negara dengan biaya hidup yang tinggi.
Tak lupa ia menyelipkan potongan pengalaman cultural shock mulai dari soal kebersihan dan pengelolaan sampah yang terintegrasi, nilai-nilai keutamaan seperti kejujuran yang dipegang teguh, hingga ketepatan waktu yang tak bisa dikompromi.
"Kami tiba di depan rumahnya Pkl.6.45 malam. Lima belas menit lebih awal dari waktu undangan yang disampaikan," tulisnya tentang kunjungan mereka ke rumah Profesor Naozumi Kurokami. Namun apa yang terjadi setelah mereka mengabarkan kalau mereka sudah berada di depan rumahnya. "Would you please comeback at seven?"
Kedua, Emanuel tentu bukan orang Indonesia pertama yang berkuliah di Jepang. Juga di Universitas Kobe. Namun tidak semua orang bisa belajar di sana dengan dan atas cara seperti yang ia tempuh. Pernah bermimpi menjadi pastor Katolik, lantas berubah haluan untuk menjadi bagian kecil dari orang Flores yang bisa berkelana ke mancanegara dan medapatkan pendidikan di salah satu universitas beken.
Saat akses pendidikan kian terbuka di satu pihak sekaligus dianggap mahal di pihak lain, ternyata ada banyak cara yang bisa ditempuh untuk menjadikan mimpi mendapatkan pendidikan tinggi bukan sesuatu yang mustahil.
Tidak sedikit yang gagal dan kemudian merasa kalah hanya karena beberapa lamaran beasiswa ditolak. Emanuel melewati proses yang panjang yang tidak sedikit berakhir dengan balasan "we regret to inform you that...". Isinya sudah jelas.
Tidak ada modal finansial yang ia keluarkan dalam jumlah besar. Yang ia punya hanyalah ketekunan, semangat pantang menyerah, dan komitmen pada cita-cita yang telah digantung: kuliah di luar negeri.
Mulai mencari informasi, berikut segala persyaratan, kampus yang dituju, jurusan yang akan diambil, hingga manfaat beasiswa. Lantas mulai memberanikan diri mengirim lamaran dan siap bertarung berebut kursi beasiswa yang selalu tidak tersedia dalam jumlah banyak. Oh ya, tentu saja, siap mental untuk menerima setiap kemungkinan terburuk sekalipun.
Ungkapan berbahasa Arab "Man jadda wajada" mungkin bisa dipegang. Sekaligus merangkum semangat penulis Flores ini. Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Seperti pesan Ahmad Fuadi dalam salah satu master piece nya, Negeri 5 Menara. Perjuangan tidak akan mengkhianati hasil.
Ketiga, buku yang diselipi potongan-potongan kisah dalam gambar-panorama kultural dan alam Jepang di setiap musim-tidak hanya menjadi dokumentasi sharing pengalaman. Serentak stimulus bagi siapa pun yang ingin meraih impiannya.