Salah satu rutinitas wajib usai bangun tidur di akhir pekan adalah membaca. Sebelum melanjutkan lembaran-lembaran buku pilihan, saya menyempatkan diri berselancar di dunia maya. Mula-mula dari aplikasi pesan, lantas berpindah ke sosial media. Instagram, facebook, twitter.
Salah satu yang menarik pagi ini adalah terkait akun twitter Presiden AS, Donald Trump. Beberapa teman mengirim potongan informasi bahwa akun @realdonaldtrump telah ditangguhkan.
Seakan tak percaya, aku coba mengkonfirmasi langsung ke sosmed berlogo burung terbang itu. Ternyata benar adanya. Yang aku dapati di sana adalah tulisan "Account suspended". Akun ditangguhkan.
Terus terang belakangan ini aku memang sering mengikuti perkembangan informasi yang terjadi di Negeri Paman Sam. Kebanyakan dari media arus utama dan digital. Nyaris tak pernah menaruh perhatian pada potongan-potongan informasi di sosial media. Tak heran aku hampir tak pernah memperhatikan perkembangan kicauan-kicauan dari akun sang presiden.
Aku pun coba mencari tahu alasan. Aku ingin mendapatkan langsung alasan dari platform tersebut. Kusambangi @TwitterSafety untuk mendapatkan berbagai update. Benar. Di sana aku bisa temui beberapa alasan dari pihak platform terkait penangguhan akun tersebut.
Dalam beberapa postingan yang lebih awal, akun tersebut sempat dicekal selama 12 jam. Postingannya dianggap memicu kekerasan di Gedung Capitol. Cerita lengkap tentang kekrisuhan ini bisa kita dapati dengan mudah dari berbagai sumber.
"Pelanggaran peraturan Twitter di masa mendatang, termasuk kebijakan Integritas Sipil atau Ancaman Kekerasan, akan mengakibatkan penangguhan permanen," tulis twitter. Pesan itu diposting dua hari lalu, 7/1/2021.
Menyusul tinjauan atas postingan terbaru, akun sang presiden kemudian dinonaktifkan. Ditutup selamanya. Alasannya, postingan tersebut memiliki ketertarikan erat dengan konteks dan situasi yang sedang terjadi. "Kami telah menangguhkan akun secara permanen karena risiko hasutan lebih lanjut untuk melakukan kekerasan."Â
Mengutip CNBC International (9/1/2021), penangguhan permanen itu membuat sang pemilik tak bisa mengakses akunnya dan tweet. Selain itu, gambar profilnya pun telah dihapus. Dengan demikian tiada kata yang pas selain "sayonara" untuk akun dengan 88,7 juta pengikut itu. RIP
Sebagai orang nomor 1 di AS, Trump tentu masih memiliki akses ke akun-akun institusi. Dua di antaranya @POTUS dan @WhiteHouse. Kedua akun itu pun masih aktif.
Pihak perusahaan asal California itu mengatakan tidak akan menangguhkan kedua akun, yang salah satunya sudah dipakai sejak era Presiden Barack Obama. Twitter bisa saja mengambil tindakan bila dianggap melanggar ketentuan dan menghindari bahaya yang bisa ditimbulkan. Tindakan itu bisa berupa pembatasan hingga pengalihan ke penguasa berikutnya.
Setelah akses ke twitter menyusul facebook personalnya ditutup, dengan cara apa ia akan bersuara di jagad maya?  Trump, saat diwawancarai Financial Times pada 2017 mengatakan, "Without the tweets, I wouldn’t be here."
Ia menegaskan peran penting sosial media itu. Twitter memainkan peran penting bagi perjalanan kariernya menuju Gedung Putih. Twitter yang telah menjadi andalannya kini mulai meninggalkannya. Setelah kehilangan kekuasaan, kepada media sosial mana ia akan bergantung?
Jarimu, harimaumu
Kita sudah sering mendengar ungkapan "mulutmu harimaumu." Dengan arti yang kurang lebih sama, "lidah lebih tajam daripada pedang." Apa yang keluar dari mulut dan diucap oleh lidah perlu dipertimbangkan masak-masak. Bila tidak akan mendatangkan petaka, tidak terkecuali bagi diri sendiri. Persis pepatah lama, "senjata makan tuan."
Banyak contoh sederhana yang bisa kita angkat. Bahwa perkataan yang kita keluarkan mendatangkan masalah. Kata-kata yang kita ucapkan justru kemudian balik menyerang kita. Maka, hati-hati saat berucap. Waspada saat berbicara.
Kini, kehati-hatian itu tidak hanya dianjurkan saat kita berbicara dengan mulut, tetapi juga saat menggunakan sosial media. Kemudahan yang ditawarkan membuat kita tak perlu lagi berkata-kata menggunakan mulut, tetapi perangkat teknologi.
Gagasan, pikiran, hingga ucapan bisa tersalurkan dengan cukup memainkan jari-jemari di atas papan ketik elektronik. Dalam hitungan detik pesan-pesan tersebut akan terkirim, menembus ruang dan waktu.
Dampaknya pun bisa langsung terasa. Beragam reaksi bisa langsung bermunculan. Entah  itu berupa respon berbalasan di dunia digital, atau aksi di dunia nyata. Seperti dalam dunia jurnalistik, berlaku pula teori jarum suntik (hypodermic needle theory) di sosial media. Apapun yang disajikan sosial media, langsung dikonsumsi publik dan mendatangkan reaksi dengan cepat.Â
Seperti kata-kata umumnya, ia bisa memotivasi, menyemangati, dan menggerakan. Syukur kalau yang kita sampaikan itu positif, bisa dibayangkan bila sebaliknya? Ketukan yang lembut jari-jari di layar gadget atau papan keyboard computer bisa menjadi petaka.
Bila ucapaan melalui mulut akan terekam oleh ingatan, maka kata-kata mewujud tulisan akan disimpan sebagai jejak digital. Bila ingatan manusia kadang terbatas, maka kecanggihan teknologi mampu merawat dengan rapih setiap jejak langkah kita di dunia maya. Bila sosok pembicara bisa tersaput ingatan, personifikasi diri dalam rupa-rupa akun mudah dilacak dan dikenali.
Tak heran banyak postingan bertahun-tahun silam dengan mudah diungkap kembali. Akun-akun anonim yang disamarkan dan dimanipulasi sedemikian rupa, tetap gampang terdeteksi. Banyak contoh, silahkan cari sendiri.
Mengingat dampak besar penggunakan teknologi komunikasi itu, maka tiap perangkat selalu dilengkapi kebijakan dan rambu-rambu tertentu. Ini penting agar para pengguna tidak berlaku sesuka hati. Umumnya terkait konten-konten yang berpotensi mengganggu ketertiban dan keamanan bersama.
Twitter misalnya sudah menggariskan aturan. Di antaranya, melarang tindakan kebencian dan kekerasan disebarkan melaluinya. Tidak hanya itu, twitter juga meng-update kebijakan untuk menyesuaikan dengan tren dan kecendrungan pengguna. Tautan-tautan yang disematkan pun tetap harus diseleksi. Bila dinilai melanggar, maka tiap tautan tidak akan bisa dibagikan. URL akan terblokir sehingga tidak bsia dikonsumsi khalayak.
Kita bisa berbicara panjang lebar soal aturan-aturan yang sudah dan mesti ditambahkan di tiap perangkat sosial media. Bisa juga soal penegakan aturan-aturan itu. Tentu masing-masing pengguna aktif sosial media umumnya atau twitter khususnya sudah mengalami berbagai pengalaman bagaimana sedih dan geramnya saat membaca postingan-postingan yang tak sesuai. Begitu juga merasa jengkel atas pemberitahun dari perangkat bahwa postingan atau tautan yang kita bagikan dianggap tidak sesuai ketentuan.
Sebagai pengguna kita tak bisa berbuat banyak untuk setiap keanehan dan ketidakpuasan yang ditimbulkan. Meski sudah tersedia saluran untuk menyampaikan keluh kesah, tidak semuanya bisa dijawab tuntas dan memuaskan.
Namun demikian, sebagai pengguna yang bertanggungjawab selayaknya tetap mengedepankan etika. Menempatkan kebaikan dan kedamaian sebagai nilai utama, alih-alih keinginan pribadi dan kepentingan primordial yang sempit. Katakan tidak pada informasi palsu, Â menyesatkan dan bohong (hoax). Utamakan pesan-pesan yang menyejukan, membahagiakan, dan mendatangkan manfaat, bukan mudarat.
Di tengah perkembangan teknologi yang gilang gemilang dan kebebasan membagikan dan mendapatkan informasi yang sulit dibendung, kita tetap perlu bersikap bijak, kritis, juga skeptis. Baik sebelum berbagi, maupun saat mengkonsumsinya. Â Jangan sampai kita sekadar menjadi pengguna buta, target tak berdaya dan korban yang mudah dimanipulasi. Mau?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H