Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Juliari Batubara dan Gelak Tawa Politik Kita

26 Desember 2020   22:11 Diperbarui: 26 Desember 2020   22:15 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Juliari Batubara/kolase tribunnews.com

Kapan kita tertawa? Ada sesuatu yang lucu terjadi. Bisa jadi sesuatu yang lucu itu memang benar-benar lucu. Jan Ethes Srinarendra saat hadir bersama keluarga Presiden Jokowi di Program TV Mata Najwa dua tahun silam sempat membuat banyak orang tertawa.

Saat Jokowi sedang diwawancarai Najwa Shihab, bocah dua tahun itu tak ambil pusing. Ia tak peduli sang kakek sedang berhadapan dengan rentetan pertanyaan dan tatapan tajam dari sang pembawa acara. Dengan enteng ia menarik tangan Jokowi. Dengan suara lembut tanpa mau tahu, ia mengajak Jokowi bermain. "Ayo main, ayo main, main, main."

Tingkah cucu pertama Jokowi itu tak bisa tidak disambut senyum dan tawa. Layaknya bocah-bocah lainnya dengan tingkah menggemaskan. Mengundang tawa. Bahagia.

Aksi menggemaskan Jan Ethes dan bocah-bocah umumnya selalu disambut derai tawa. Tak dibuat-buat. Tulus. Apa-adanya. Bahkan bisa membuat kita tertawa terpingkal-pingkal. Tertawa sampai sakit perut.

Jan Ethes di tengah keluarga Presiden Joko Widodo di acara Mata Najwa/Twitter @MataNajwa
Jan Ethes di tengah keluarga Presiden Joko Widodo di acara Mata Najwa/Twitter @MataNajwa

Salah satu peristiwa dengan resonansi yang panjang di tahun ini adalah seputar Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law. Sejak Januari rangkaian aksi unjuk rasa mulai bermuncul. Timbul di berbagai kota di tanah air.

Undang-udang sapu jagat yang bertujuan menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi asing dan dalam negeri menuai protes dari sejumlah kalangan. Mempertanyakan kepentingan dan isi sejumlah pasal yang dianggap merugikan pekerja akhirnya melahirkan gelombang protes. Memuncak menjelang pengesahan pada awal Oktober.

Di balik aksi protes dan aksi heroik terselip potret seorang mahasiswa yang tertangkap sempat mengerjakan tugas, sementara seorang petugas keamanan terlihat ikut memperhatikan dari dekat.

Seorang ibu nekat mencari anaknya di antara kerumunan demonstran. Sementara seorang ibu lainnya terlihat sedang berhadapan dengan barikade polisi bertameng. Seakan tak surut nyalinya, ibu itu nekat adu kuat dengan pihak keamanan. Sementara kaki sang ibu sedang berusaha menjangkau salah satu sandalnya yang terperangkap di antara kaki-kaki polisi.

Diambil dari Instagram @kegoblogan.unfaedahh_ 
Diambil dari Instagram @kegoblogan.unfaedahh_ 

Aksi-aksi para ibu di atas cukup mengundang tawa bukan? Ada rasa takut, ngeri, dan khawatir, bila kita berada dalam posisi sang ibu. Sementara kita yang menyaksikan kiriman gambar-gambar itu hanya bisa menghela nafas, menggeleng-geleng kepala, sambil tersenyum.

Tawa (untuk) Juliari

Selain tertawa apa adanya, tak dibuat-buat, ada juga tawa yang sengaja diciptakan karena "ada apanya". Kita tentu pernah berhadapan dengan teman atau rekan kerja yang berusaha melucu. Namun materi yang disampaikan ternyata tidak sampai mengundang tawa. Dengan terpaksa kita menyeringai, seakan memberi kesan lucunya "berhasil". Padahal kita terpaksa bertindak seakan-akan itu lucu. Kita tertawa hanya agar ia tak merasa malu.

Bagaimana sikap kita saat seorang politisi berbicara tentang antikorupsi, namun kemudian ia justru melakukan hal yang sama?

Pertengahan tahun 2019, Juliari Peter Batubara, saat diwawancarai Tribunnews, pernah berbicara tentang korupsi. "Korupsi dilandasi oleh kebutuhan dan keserakahan."

Ia pun menawarkan resep agar tak korupsi. Kuncinya adalah pengendalian diri. "Yang penting diri sendiri, yang membentengi diri ya kita sendiri, bukan irjen kita, bukan KPK, bukan jaksa agung, bukan kepolisian."

Juliari Batubara  mengenakan rompi oranye KPK/Diambil dari Kompas.com (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)
Juliari Batubara  mengenakan rompi oranye KPK/Diambil dari Kompas.com (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

Ternyata wejangan itu bak senjata makan tuan. Setahun berselang apa yang dikatakan untuk tidak dilakukan, justru ia lakukan. Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) menangkap dan menetapkannya sebagai tersangka. Sebagai Menteri Sosial, ia disebut melakukan korupsi pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 (Kompas.tv, 12 Desember 2020).

Keterangan Ketua KPK, Firli Bahuri membuat banyak orang tak percaya. Saat kita sedang berperang menghadapi Pandemi Covid-19, Juliari melakukan aksi tak terpuji. Ia terlibat kasus suap pengadaan paket sembako untuk warga miskin. Nilainya tak main-main, sekitar Rp 5,9 triliun dengan total 272 kontrak.

Untuk Juliari dan kawan-kawan yang terlibat apa reaksi yang kita berikan? Tidak sedikit yang mengutuk. Tak kurang banyak yang tersenyum, bahkan tertawa. Namun bukan tawa bahagia seperti saat melihat aksi lucu Jan Ethes. Tetapi tawa getir. Tawa jahat, untuk mengatakan tawa mengejek.

Tawa itu sehat

Tertawa itu sebenarnya sehat. Tidak sedikit studi yang menunjukkan segudang manfaat tertawa bagi kesehatan. Tertawa bisa mempengaruhi kesehatan fisik dan mental.

Dalam suasana sulit seperti saat ini, kita sejatinya butuh tertawa. Mobilitas yang dibatasi karena pandemi Covid-19. Pemberlakuan protokol kesehatan yang membuat kita tak bisa leluasa bertemu dan berinteraksi. Terbatasnya jam operasional tempat-tempat favorit yang biasa dihabiskan saat akhir pekan atau kala libur tiba.

Begitu juga berkurangnya penghasilan karena dampak ekonomi pandemi. Kehilangan pekerjaan karena tempat kerja melakukan efisiensi lantaran tak kuasa menahan resesi. Berkurangnya order dan pemasukan usaha karena sepi pembeli. Dan masih banyak lagi.

Situasi-situasi sulit secara ekonomi dan psikologi ini membuat tubuh kita mudah jatuh sakit. Stres. Untuk itu kita perlu sesuatu untuk membuat imun tubuh kita tak ikut tergerus. Kita butuh stimulus untuk menghindari amarah dan tekanan psikologis. Kita butuh pemicu untuk menekan laju hormon stres: kortisol dan adrenalin.

Salah satunya, tertawa. Tertawa bisa melepaskan segala beban dan tekanan. Tertawa memacu kerja sistem kardiovaskuler tubuh, membuat darah mengalir lancar. Tertawa bisa meningkatkan kesehatan jantung, meningkatkan harapan hidup, dan mengurangi rasa sakit.

Tertawalah selama tawa itu gratis.  Termasuk menertawai segala laku konyol dan naif yang telah kita lakukan dan yang terjadi di sekitar kita. Menertawai segala tontonan dan pemandangan yang kita temui. Tak terkecuali yang terjadi di jagad politik kita. Indonesia butuh ketawa. So, mari kita tertawa.....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun