Gaya hidup ini bisa terjadi entah secara sengaja atau karena terjebak situasi. Situasi pandemi seperti saat ini jelas membatasi ruang gerak kita. Kita tidak bisa bebas bergerak keluar rumah dan beraktivitas secara leluasa.
Saat seruan stay at home belum keras terdengar, kita mungkin bisa lebih banyak bergerak, setidaknya untuk sekadar berjalan ke stasiun terdekat, berbelanja di toko dekat rumah, atau sekadar berjalan-jalan di pusat perbelanjaan.
Saat ini semua aktivitas benar-benar terpusat di rumah. Tidak hanya untuk bekerja, juga belajar. Sistem pembelajaran berbasis daring atau pembelajaran jarak jauh dengan sendirinya menjadi lumrah. Â
Apakah situasi seperti itu benar-benar memaksa kita untuk lebih banyak duduk dan berdiam di satu tempat dalam jangka waktu lama? Apakah momentum belajar dari rumah atau bekerja dari rumah membuat kita akhirnya terjebak untuk bersantai-santai dan bermalas-malasan?
Jangan sampai kekhawatiran dr.Sofi terjadi pada kita. Situasi saat ini membuat kita mudah jatuh dalam kemalasan untuk bergerak, dalam bahasa kekinian disebut "mager" (malas gerak). Kita enggan melakukan aktivitas fisik seperti olahraga karena kadung merasa nyaman untuk melakukan aktivitas sambil tiduran atau betah duduk berjam-jam di depan laptop.
Bekerja dari rumah dijadikan alasan untuk tidak melakukan aktivitas fisik seperti bergerak atua berolahraga. Bila itu terjadi maka kita masuk dalam kelompok penganut "sedentary lifestyle". Kita adalah bagian dari "kaum rebahan".
Sosok yang menjabat Occupational Health Leader Danone Indonesia mewanti-wanti dampak dari perihidup demikian. Kesehatan fisik dan mental kita bisa menjadi taruhan. Kelemahan otot, pengeroposan tulang, penurunan daya tahan tubuh, gangguan sirkulasi darah, gangguan metabolisme lemak dan gula, gangguan keseimbangan hormonal, lebih gampang gemuk adalah sederet risiko.
Belum lagi obesitas, penyakit kardiovaskuler, sindrom metabolik seperti hipertensi, diabetes dan kadar kolesterol tinggi. Bahkan bisa sampai terjadi stroke.
Data International Diabetes Federation (IDF), mengutip Kompas.com, 5/11/2020, Indonesia berstatus waspada diabetes. Indonesia berada di urutan ke-7 dari 10 negara dengan jumlah pasien diabetes tertinggi.
Prevalensi pasien pengidap diabetes di Indonesia mencapai 6,2 persen. Artinya, ada lebih dari 10,8 juta orang menderita diabetes per tahun 2020.
"Yang paling banyak di Indonesia adalah kasus diabetes tipe 2 yang disebabkan oleh gaya hidup tidak sehat. Dan melihat angka yang angat besar, artinya setiap orang memiliki kerabat, teman, atau bahkan keluarga yang mengalai penyakit diabetes," tandas Ketua Umum Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni), Prof Dr dr Ketut Suastika SpPD-KEMD.