Ekonomi adalah salah satu hal fundamental baik dalam hidup pribadi maupun bersama. Terkadang dalam momen-momen tertentu ia begitu seksi dan sensitif. Salah satunya saat pesta demokrasi tiba. Kala kampanye calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia beberapa waktu lalu, hal yang satu ini ramai dibicarakan.
Kedua kubu tak mau kalah dengan aneka pandangan dan analisis terhadap situasi ekonomi terkini, berikut tawaran solusi jangka pendek maupun jangka panjang.
Salah satu pihak misalnya menilai kondisi ekonomi Indonesia sedang tak menentu. Bahkan situasi diprediksi kian memburuk dengan nilai tukar rupiah yang akan terus melemah. Pada saat bersamaan, muncul tawaran solutif di antaranya pengurangan impor, menaikkan pajak impor mobil serta mewajibkan hasil ekspor masuk sistem perbankan.Â
Pandangan ini kemudian ditentang kubu lawan. Bantahan itu didasarkan pada sejumlah indikator ekonomi yang dinilai berada pada level positif. Angka kemiskinan seturut data BPS yang menembus rekor satu digit selama Indonesia merdeka, berikut gini rasio atau ketimpangan ekonomi bernada positif adalah sejumlah alasan.Â
Tensi debat dan polemik berangsur menurun, dan kemudian seperti tenggelam usai hari pencoblosan. Kini tak lagi terdengar "perang urat saraf" Â terkait hal tersebut yang telah berganti topik hangat terbaru seputar putusan Mahkama Agung terkait sengketa Pilpres 2019.
Perdebatan seputar kondisi ekonomi Indonesia boleh saja berakhir. Namun perhatian terhadap aspek yang satu ini akan tetap ada. Bagaimana mungkin kita menafikan hal-hal terkait upaya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup untuk mencapai tingkat kemakmuran-bila meminjam pengertian harafiah ekonomi-begitu saja?Â
Nah, salah satu hal yang berperan penting dalam perekonomian adalah sistem keuangan. Betapa tidak, mengutip www.ojk.go.id, sistem keuangan berfungsi mengalokasikan dana dari pihak yang mengalami surplus kepada yang mengalami defisit. Bila sistem keuangan tidak stabil dan tidak berfungsi dengan baik, maka pengalokasian dana tidak akan berjalan baik. Dampaknya akan terasa di antaranya pada lambatnya pertumbuhan ekonomi.
Bangsa Indonesia pernah mengalami suatu masa kritis yang mengguncangkan semua sendi kehidupan. Krisis ekonomi tahun 1998 adalah salah satu bagian hitam dalam lembaran sejarah Indonesia. Rupiah bergerak sempoyongan hingga Bursa Efek Jakarta (saat ini Bursa Efek Indonesia) berada di titik terendah.
Rontoknya kepercayaan pasar dan masyarakat berjalan linear dengan besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo. Efek bola salju pun terasa ke mana-mana. Rupiah anjlok, pasar uang dan pasar modal rontok, bank-bank nasional terjepit, perusahaan-perusahaan bangkrut, dan pemutusan hubungan kerja mengemuka di mana-mana.
Angka pengangguran pun meledak. Harga-harga barang melangit. Jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan pun meningkat. Hidup terasa susah oleh siapa saja dan berlaku di mana-mana, kecuali mereka yang masih memiliki harta kekayaan berlimpah.
Ada satu hal menarik terkait hal terakhir itu. Beberapa waktu sebelum krisis menerjang, mengemuka anggapan bahwa situasi ekonomi Indonesia berada dalam titik stabil. Indonesia aman-aman saja dan tak akan diterpa badai ekonomi. Indonesia bukan Thailand yang sedang kesulitan saat itu. Indonesia memiliki surplus neraca perdagangan dan memiliki cadangan devisa yang lebih dari cukup. Namun ketika krisis itu datang, semua "kesombongan" itu seketika sirna.
Dan kini kita dituntut untuk selalu belajar dari masa lalu. Karena itu penting untuk tidak pernah melupakan sejarah, persis semboyan Jasmerah yang diucapkan Soekarno. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!
Pentingnya stabilitas sistem keuangan
Butuh waktu tidak singkat untuk bangkit dari krisis 1998. Satu poin penting yang dipelajari dari masa kelam itu adalah pentingnya menjaga stabilitas keuangan. Inilah salah satu unsur penting dalam membentuk dan menjaga perekonomian yang berkelanjutan.
Patut diakui istilah Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) belum cukup akrab di telinga dan pikiran banyak orang. Memang tak mudah mengartikan SSK secara sederhana, mengingat pengertian bakunya pun masih menjadi wacana tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga internasional.
Kembali mengacu pada www.ojk.go.id, SSK memiliki sejumlah pengertian. Salah satunya berbunyi "sistem keuangan yang stabil mampu mengalokasikan sumber dana dan menyerap kejutan (shock) yang terjadi sehingga dapat mencegah gangguah terhadap kegiatan sektor riil dan sistem keuangan."
Pengertian lain menyebut "sistem keuangan yang stabil adalah sistem keuangan yang kuat dan tahan terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukan fungsi intermediasi, melaksanakan pembayaran dan menyebar risiko secara baik."
Untuk memahami SSK bisa dilakukan dengan mencermati faktor-faktor yang bisa menyebabkan instabilitas sektor keuangan. Ketidakstabilan terhadap sistem keuangan dipicu sejumlah hal. Beberapa dari antaranya adalah kegagalan pasar karena faktor struktural maupun perilaku. Sementara kegagalan pasar bisa bersumber dari dua arah yakni eksternal (internasional) dan internal (domestik).
Secara teoretis dan praktis, ketidakstabilan sistem keuangan akan berdampak pada sejumlah hal. Pertama, kebijakan monter menjadi tidak efektif karena transmisi kebijakan moneter yang tidak berfungsi dengan baik.
Kedua, fungsi intermediasi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya akibat alokasi dana yang tidak tepat sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, terjadinya kesulitan likuiditas karena ketidakpercayaan publik terhadap sistem keuangan yang membuat para investor terpengaruh. Paniknya para investor membuat mereka segera menarik dananya dari dalam negeri dan memilih menaruh dananya di luar negeri.
Hal lain yang tak kalah penting adalah tingginya biaya penyelamatan terhadap sistem keuangan bila sampai terjadi krisis yang bersifat sistemik. Tentu tidak hanya membutuhkan waktu dan tenaga yang banyak, anggaran tidak sedikit tentu akan dikeluarkan untuk mengatasi situasi tersebut.
Untuk itu upaya pengurangan dan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya ketidakstabilan terhadap sistem keuangan amat penting. Pada titik ini, peran penting BI tak terbantahkan.
Sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran, BI berperan penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Pada waktu bersamaan, BI juga berperan dalam menjaga stabilitas moneter. Stabilitas moneter dan stabilitas keuangan adalah dua hal yang saling berpengaruh. Ibarat dua sisi dari mata uang untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
Untuk menjaga stabilitas keuangan, BI memainkan lima peran penting. Pertama, BI menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang. Menerapkan suku bunga yang terlalu ketat bakal mematikan kegiatan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Kebijakan "inflation targeting framework" adalah acuan untuk menciptakan stabilitas moneter.
Kedua, memainkan peran pengawasan dan regulasi secara efektif serta penegakan hukum untuk melindungi perbankan dan stakeholder sekaligus mendorong kepercayaan terhadap sistem keuangan.
Ketiga, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dengan menerapkan sistem pembayaran yang bersifat real time (Real Time Gross Settlement).
BI juga memainkan peran dan fungsi dalam riset dan pemantauan. Pemantauan yang dilakukan secara makroprudential, BI bisa memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Hasil riset dan pemantauan itu akan menjadi masukan bagi otoritas terkait untuk mengambil langkah-langkah dalam meredam gangguan dalam sektor keuangan.
Ada hal penting yang patut digarisbawahi yakni terkait makroprudential. Istilah ini terasa penting setelah terjadinya krisis keuangan global. Krisis tersebut membuat banyak pihak menilai penting untuk menerapkan kebijakan makroprudential secara efektif. Â
Untuk mengurai hal yang satu ini Bank Indonesia mengeluarkan buku berjudul "Mengupas Kebijakan Makroprudensial." Dalam buku yang diluncurkan 2017 lalu disebutkan sejumlah hal penting untuk memaknai istilah ini.
"Setidaknya ada tiga kalimat kunci untuk menggambarkan kebijakan makroprudensial, yakni diterapkan dengan tujuan menjaga stabilitas sistem keuangan, diterapkan dengan berorientasi pada sistem keuangan secara keseluruhan (system-wide perspectives), dan diterapkan melalui upaya membatasi terbangunnya (build-up) risiko sistemik."
Bila diringkas, kebijakan makroprudensial merupakan penerapan prinsip kehati-hatian pada sistem keuangan untuk menjaga keseimbangan antara tujuan makroekonomi dan mikroekonomi.
Tugas penting kelima adalah berperan sebagai jaring pengaman sistem keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai "leader of the last resort" (LoLR). Ini adalah peran BI sebagai bank sentral untuk mengelola krisi sehingga ketidakstabilan sistem keuangan bisa dicegah.
Sistem Keuangan Hari Ini
Bagaimana kondisi sistem keuangan kita saat ini? Di tengah gejolak perekonomian global sepanjang tahun ini, disinyalir belum berdampak signifikan terhadap stabilitas sistem keuangan dalam negeri. Hal ini diakui oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Sebagaimana disampaikan  Ketua KSSK, Sri Mulyani Indrawati kondisi ekonomi dalam negeri sepanjang Kuartal I-2019 dalam kondisi normal dan berjalan baik.Â
Sosok yang juga Menteri Keuangan RI itu mengatakan kondisi perekonomian global menunjukakn tanda-tanda pelemahan. Pertumbuhan ekonomi global dan volume perdagangan dunia mengalami penurunan. Pihak KSSK juga melakukan pengamatan intensif terhadap perang dagang AS dan China yang sudah terjadi sejak tahun lalu.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menegaskan kondisi ekonomi Indonesia masih dalam kondisi stabil. Meski begitu, KSSK akan terus mengawasi segala komponen yang bisa mempengaruhi ekonomi dalam negeri, baik dari aspek eksternal maupun internal.
Hal ini tercapai tentu berkat kerja sama berbagai komponen. Koordinasi yang baik antara KSSK dan para pihak dalam memperkuat kebijakan moneter, fiskal, makro prudential dan mikro simpanan adalah contoh.
Peran penting BI dalam bidang moneter terkait kebijakan suku bunga dan nilai tukar untuk memperkuat stabilitas eksternal perekonomian, terutama untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan dalam batas aman dan mempertahankan daya tarik aset keuangan domestik.
Gubernur BI Perry Warjiyo memberi contoh. "Selama triwulan I 2019, Bl mempertahankan suku bunga acuan (Bl7DRR) sebesar 6%. Bersamaan dengan itu, Bl juga menempuh berbagai kebijakan yang lebih akomodatif untuk mendorong permintaan domestik."
Sekali lagi, menjaga stabilitas sistem keuangan, sebagaimana ditegaskan dalam buku "Mengupas Kebijakan Makroprudensial" merupakan kerja bersama. Bukan tugas BI semata.
"Yang membedakan adalah kewenangan masing-masing otoritas dalam upaya mencapai tujuan tersebut, seperti bank sentral melalui kewenangan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran; pemerintah melalui kewenangan fiskal; dan otoritas pengawas industri jasa keuangan melalui kewenangan mikroprudensial."
Akhirnya, peran masyarakat luas pun sangat menentukan. Saat ini suhu politik tanah air kian teduh. Kita berharap tidak kembali memanas usai putusan MA, 27 Juni 2019 nanti. Iklim politik yang kondusif tentu memungkinkan BI dan otoritas terkait bisa memainkan peran penting untuk menjaga stabilitas sistem keuangan yang pada gilirannya mendorong gerbong ekonomi nasional bergerak maju dan menjauh dari lubang hitam seperti 1998!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H