Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Demi Sulawesi Tengah, "Jangankan Hatimu, SPBU-Pun Kita Terbangkan"

23 Oktober 2018   16:26 Diperbarui: 23 Oktober 2018   16:39 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari https://twitter.com/pertamina

Gempa dan tsunami bukan dua kata baru dalam perbendaharaan kosa kata kita. Selain telah mengada dalam kamus dan percakapan sehari-hari, masing-masing kita pun punya pengalaman tersendiri. Tidak terkecuali saya.

Saat itu saya baru berusia beberapa tahun ketika gempa tektonik dan tsunami dahsyat melanda Flores. Daratan Flores dan sekitarnya sangat terdampak peristiwa naas pada Sabtu, 12 Desember 1992 itu. Terlebih Maumere, ibu kota kabupaten Sikka, yang berdekatan dengan pusat gempa. Gempa berkekuatan 7,5 SR pada pukul 13.29 Wita disusul gelombang laut raksasa yang menerjang hingga 300 meter ke daratan.

Daratan pantai utara Maumere dan sekitarnya tersapu tsunami. Kampung Wuring yang terletak sekitar 3 km arah barat daya Kota Maumere tergenang. Bangunan-bangunan hancur berantakan.

Kerusakan paling parah terjadi di Pulau Babi. Terjangan tsunami membuat sebagian besar penghuni pulau yang terletak kurang lebih 40 km arah timur laut kota Maumere menjadi korban. Pulau berbentuk lingkaran dengan diameter 2,5 km itu berpopulasi sekitar 1.093 jiwa dengan lebih dari 700 penghuninya kehilangan nyawa.

Peristiwa nyaris 26 tahun lalu masih membekas dalam ingatan masyarakat Flores, terlebih yang pernah merasakan akibatnya. Ia menjadi ingatan kolektif di tengah derap pembangunan di wilayah Indonesia timur yang terus menggeliat. Bahwa lebih dari 2.000 orang pernah mati sia-sia di pulau yang mengambil kata Portugal berarti bunga itu.

Foto gempa flores: Gempa Flores 1992. Foto: Heryadi Rachmat/ geomagz.geologi.esdm.go.id
Foto gempa flores: Gempa Flores 1992. Foto: Heryadi Rachmat/ geomagz.geologi.esdm.go.id
Sebagai sebuah peristiwa alam, gempa dan tsunami tak bisa ditolak. Tak bisa diprediksi secara presisi, meski sedikit banyak bisa dianalisis dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan alam. Karena itu peristiwa pada 28 September 2018 menggoncangkan kita.

Gempa berkekuatan 7,4 SR diikuti tsunami dengan ketinggian hingga 5 meter menerjang pantai barat Pulau Sulawesi. Donggala dan Palu misalnya serentak menjadi kota mati. Dua wilayah itu paling parah terdampak karena berjarak cukup dekat dengan pusat gempa, masing-masing 26 km utara Donggala dan 80 km barat laut kota Palu.

Per 20 Oktober berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) seperti dirilis dari Kompas.com, korban tewas sudah menyentuh angka 2.113, dengan jumlah terbanyak di Kota Palu mencapai 1.703 orang.

Tidak seperti gempa Flores, saya hanya mengikuti perkembangan peristiwa yang terjadi di Sulawesi Tengah itu melalui berbagai pemberitaan. Meski demikian saya bisa membayangkan seperti apa situasi dan kondisi terkini masyarakat di sana.

Menerbangkan SPBU

Banyak cerita dari Palu dan Donggala. Salah satunya seperti dikemukakan Arya Dwi Paramita. Di sebuah kafe di bilangan Jakarta Selatan, pada Rabu, 17 Oktober 2018 lalu, pria berkaca mata itu berbagi kisah dari sudut yang tak banyak diketahui publik.

Sosok yang menjabat sebagai External Communication Manager Pertamina itu menceritakan bagaimana perjuangan Pertamina untuk mencapai lokasi dan menghidupkan energi di sana. Perjuangan itu dimulai pada 30 September, atau dua hari setelah kejadian dengan diawali pembentukan crisis center untuk komunikasi dan koordinasi.

Arya Dwi Paramita, External Communication Manager Pertamina dalam acara nangkring bersama Kompasiana/foto @deNocz
Arya Dwi Paramita, External Communication Manager Pertamina dalam acara nangkring bersama Kompasiana/foto @deNocz

Tidak mudah memasuki wilayah dengan akses yang berantakan. Tim Pertamina MOR VII baru bisa merapat di Pelabuhan Pantoloan, Palu pada 2 Oktober setelah berlayar lebih dari 30 jam dari Makassar. Di bawah pimpinan Region Manager Marine VII, Adytia Setyawan bersama 15 petugas mereka fokus memperbaiki Terminal BBM Donggala.

"Tiga direktur kami bahkan langsung berkantor di sana," tandas Arya.

Perlahan-lahan perbaikan demi perbaikan dilakukan.  Tidak hanya memperbaiki terminal BBM, Pertamina pun mengirim BBM dan LPG menggunakan berbagai moda transportasi baik darat, laut maupun udara. Salah satunya melalui kapal tanker melalui jalur laut dari Balikpapan, Kalimantan Timur.

Sebanyak 11 juta liter BBM terkirim sejak 3 hingga 5 Oktober 2018. Hingga 12 Oktober total 89 juta liter BBM industri tersalurkan untuk Sulawesi Tengah. Solar sebanyak 4.000 liter disalurkan melalui air tractor.

Potret kerusakan di Sulawesi Tengah dan SPBU yang terdampak/foto dari www.pertamina.com
Potret kerusakan di Sulawesi Tengah dan SPBU yang terdampak/foto dari www.pertamina.com
"Pesawat ini kecil tetapi bisa bawa 4.000 liter," jelas Arya terkait pesawat mungil yang biasa diterbangkan untuk menyalurkan BBM ke pelosok-pelosok.

Sejak 1 Oktober pesawat itu memainkan peran untuk menyalurkan solar dengan prioritas kebutuhan PLN dan operasional evakuasi korban. Pesawat yang diterbangkan dari Tarakan, Kalimantan Utara menjembatani putusnya rantai distribusi akibat putusnya akses.


Sebanyak 16 mobil tangki BBM dan satu mobil tangki avtur berikut 34 awak mobil tangki diberangkatkan dari Jakarta dan Balikpapan. Tidak cukup sampai di situ. Untuk mempercepat distribusi energi, Pertamina pun menyediakan SPBU portable dengan mesin engkol berjumlah 41 buah dan mobile dispenser.

"Jangankan hatimu, SPBU-pun kita (baca Pertamina) terbangkan," ungkap Arya untuk menggambarkan totalitas Pertamina dalam mendistribusikan semua kebutuhan penyaluran BBM. Semua kebutuhan hingga yang terkecil diterbangkan dari luar daerah.

Tidak hanya BBM, Pertamina juga menyalurkan 164 ribu tabung LPG. Sebanyak 113 ribu tabung disalurkan untuk operasi pasar di Palu, Donggala, dan Sigi.

Pasokan gas dari Pertamina/gambar dari www.pertamina.com
Pasokan gas dari Pertamina/gambar dari www.pertamina.com
Dengan bantuan ratusan relawan baik relawan operator SPBU dan relawan operator SPPBE, hingga 12 Oktober, 95 persen SPBU sudah bisa beroperasi. Bahkan 10 dari antaranya sudah bisa beroperasi selama 24 jam.

"Saat ini pasokan energi di sana alhamdulilah sudah aman sehingga kita bisa fokus ke urusan lainnya," tegas Arya.

Gambar dari www.pertamina.com
Gambar dari www.pertamina.com
Ternyata para petugas yang mengemban tugas profesional serentak kemanusiaan pada waktu bersamaan. Mereka datang tidak hanya untuk menyalakan Palu, Donggala, dari kegelapan. Mereka datang tidak hanya untuk membawa terang dengan energi untuk menghindupkan SPBU, pembangkit listrik, bandara, pelabuhan dan berbagai infrastruktur telekomunikasi.

Mereka sekaligus menjadi relawan untuk memberikan pertolongan kepada para korban. Membuka posko pelayanan hingga menyalurkan bantuan logistik hingga ke sudut-sudut tersulit. Bahkan mereka masih mengambil peran untuk memulihkan anak-anak dari trauma.

Beruntung armada Pertamina bernama Emergency Response Team (ERT) itu terdiri dari orang-orang terlatih. Relawan kesehatan yang terdiri dari dokter umum, dokter spesialis, perawat dan fisioterapi pun bahu membahu mempercepat pemulihan wilayah dan masyarakat yang terdampak.

"Kami sempat 24 jam tidak makan, padahal kami sehabis menarik-narik truk yang berisi BBM dan logistik agar dapat melintasi longsoran" tutur Arya.

Pertamina pun ambil bagian dalam proses trauma healing/foto dari www.pertamina.com
Pertamina pun ambil bagian dalam proses trauma healing/foto dari www.pertamina.com
Setelah ini apa?

Hingga kini setelah masa tanggap darurat usai Sulawesi Tengah masih terus berjuang bangkit. Tidak hanya memulihkan fisik, tetapi juga psikis masyarakatnya. Berbagai bantuan yang diberikan Pertamina telah ikut andil untuk proses pemulihan tersebut. Sulit dibayangkan bila Pertamina tak ambil bagian meretas putusnya rantai distribusi Meski demikian pemulihan paripurna masih membutuhkan waktu yang tidak singkat.

Apresiasi pun patut diberikan kepada pertamina. Dengan total bantuan Pertamina Peduli hingga 12 Oktober sebesar Rp 29,7 miliar, Pertamina tidak bermaksud membanggakan diri. Sebagaimana dikatakan Adytia, Pertamina hanya ingin agar Sulawesi Tengah segera bangkit.

Antusiasme peserta nangkring mendengar pemaparan dari Pertamina terkait usaha menghidupkan energi di Sulawesi Tengah/dokpri
Antusiasme peserta nangkring mendengar pemaparan dari Pertamina terkait usaha menghidupkan energi di Sulawesi Tengah/dokpri
"Semuanya hanya bertujuan untuk fokus memulihkan energi di sana," tandas Adytia.

Pertanyaan kini, setelah peristiwa kelam itu pergi, apa yan harus kita lakukan? Apakah setelah energi Pertamina kembali menerangi Sulawesi Tengah kita lantas segera melupakan kejadian beberapa bulan silam? Tentu tidak.

Perjuangan relawan Pertamina/gambar dari @pertamina
Perjuangan relawan Pertamina/gambar dari @pertamina
Menarik membaca laporan nationalgeographic.co.id tak lama setelah gempa dan tsunami melanda Pulau Flores. Dikatakan hingga tahun 1992, Indonesia belum memiliki ahli tsunami sehingga riset soal tsunami Flores lebih banyak dilakukan ahli-ahli Jepang. Perhatian para ilmuwan Indonesia terhadap tsunami baru terbangkitkan setelah tsunami Aceh. 

Laporan tersebut sebenarnya menyentil kita. Meski ia menjadi fenomena alam, peristiwa yang kerap tersaji semestinya membuat kita awas. Pertama, melakukan riset dan pendalaman agar mampu mendapatkan sebuah pemetaan yang komprehensif terhadap fenomena tersebut. Tujuannya satu. Agar kita bisa menghindarinya secepat mungkin.

Dari peristiwa di Flores, Aceh, hingga kini di Sulawesi Tengah, diketahui bahwa gempa dengan kekuatan besar tidak menjadi sebab tunggal banyaknya korban. "Mesin pembunuh" sebenarnya terangkai dalam dampak ikutan akibat gempa mulai dari tsunami, longsor hingga likuifaksi atau pencairan tanah. Karena itu untuk menghindari risiko, masyarakat perlu memahami, sekaligus diingatkan segera mungkin untuk mengambil tindakan menyelamatkan diri.

Kedua, runtuhnya bangunan juga ikut andil memakan banyak korban. Karena itu dalam membangun infrastruktur, perlu dipikirkan konsturksi yang tahan terhadap guncangan gempa.

Ketiga, tidak cukup dengan mempersiapkan infrastruktur yang tangguh. Perlu disadari bahwa longsor akibat gempa perlu diantisipasi dengan tidak membuat rumah di daerah yang berpotensi longsor.

Pada gilirannya studi yang teliti dan komprehensif akan membuat kita lebih dini menghindari akibat yang bisa ditimbulkan. Indonesia merupakan daerah rawan gempa dan tsunami. Buktinya kejadian serupa sudah beberapa kali terjadi. Sudah saatnya kita mengambil langkah-langkah antisipatif sedini mungkin.

Kita tentu tidak ingin peristiwa naas yang terjadi di Flores, Aceh hingga kini di Palu dan sekitarnya kembali mengemuka dalam bentuk berbeda. Kita tidak ingin air mata duka kembali mengalir di bumi pertiwi.

Mari kita bersama belajar dari Sulawesi Tengah, dengan tidak lupa memberi apresiasi pada Pertamina dan pihak lainnya yang sudah ikut ambil bagian membangkitkan daerah tersebut dari keterpurukan.

Pasokan BBM di Sulawesi Tengah yang telah berlangsung normal/gambar dari www.pertamina.com
Pasokan BBM di Sulawesi Tengah yang telah berlangsung normal/gambar dari www.pertamina.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun