Apa yang ada dipikiran Anda ketika melihat fasilitas publik yang telah dipercantik tiba-tiba dirusak? Bagaimana reaksi Anda bila karya seni dan barang berharga dirusak? Apa yang terlontar dari mulut Anda melihat tembok putih, apalagi telah diperindah dengan mural dan dekorasi misalnya, dipenuhi berbagai coretan? Apa yang bisa Anda simpulkan dari perilaku tangan-tangan jahil yang mengganggu pemandangan dengan tulisan-tulisan tak pantas?
Itulah kenyataan yang kerap kita temukan dalam bentuk dan jenis berbeda. Bukan hal baru di negeri ini melihat fasilitas umum yang baru selesai dibangun segera berubah warna dan rupa hanya dalam tempo hari, bahkan jam. Coretan berupa nama geng atau suporter klub sepak bola tertentu di dinding sekolah, jembatan, hingga rambu lalu lintas. Demikian juga tulisan nyeleneh dan "lebay"semisal "aku chayank kamuh" yang menghiasi area wisata dan tempat umum lainnya. Bahkan tulisan dan coretan-coretan juga menyasar bangku dan kursi di sekolah.
Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), vandalisme merupakan "perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dan sebagainya)" atau "perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas." Definisi ini tak jauh berbeda dari yang dimaksudkan kamus Merriam-Webster sebagai "willful or malicious destruction or defacement of thing of beauty or of public or private property."Â
Istilah ini diwacanakan pertama kali pada 1974 oleh Henri Gregoire, Uskup Blois. Istilah itu mengacu pada perusakan karya seni yang terjadi pada waktu Revolusi Prancis, kemudian digunakan secara luas di Eropa.
Sebenarnya vandalisme berasal dari kata vandal. Â Berakar kata Vandalus, bahasa Latin dengan "vandali" untuk bentuk jamaknya. Kata ini mengacu pada nama sebuah suku kuno di Jerman. Nama ini muncul pertama kali dalam sejarah Romawi. Sejarawan Romawi seperti Tacitus menyebut mereka sebagai "Lugi." Â Nama mereka bisa berarti "pengembara" atau "wanderer" yang berasal dari kata Proto-Germanik, "wandljaz"
Bersama bangsa Goth, mereka dipersalahkan atas kerusakan kota Roma pada tahun 455. Meski kedua suku bangsa ini tidak sepenuhnya menjadi aktor tunggal atas kehancuran kota yang indah itu, oleh penyair Britania Raya, John Dryden terlanjur dicap sebagai bangsa yang kasar dan berjiwa merusak. Perusakan terhadap benda-benda seni seperti patung kemudian mengerucut dalam pengertian vandalisme.
Terlepas dari aneka referensi yang tentu saja masih bisa diperdebatkan, vandalisme bisa disederhanakan sebagai perilaku tak bertanggung jawab yang merusak dan membuat jelek benda-benda atau barang yang indah dan berharga baik yang menjadi milik pribadi maupun fasilitas umum. Sekiranya cukup jelas apa yang dimaksud dengan tindakan merusak dan membuat jelek!
Banyak hal bisa dijadikan contoh. Banyak kasus bisa diangkat. Ruang pribadi maupun publik kita tak pernah benar-benar steril dari aksi kaum vandal. Hal ini semakin  menjadi keprihatian bersama di tengah usaha pemerintah dan berbagai pihak mempersiapkan diri menjadi tuan rumah Asian Games 2018. Event akbar empat tahunan itu akan berlangsung dalam hitungan hari. Namun berbagai fasilitas yang telah dipersiapkan dengan penuh perjuangan malah dinodai oleh coretan-coretan.
Kenyataan ini menjadi perhatian serius pemerintah DKI Jakarta dalam beberapa waktu belakangan. Beberapa kasus yang terjadi di ibu kota dan daerah sekitar tidak hanya membuat pemerintah marah, tetapi juga mendatangkan sesal dan kecewa dalam diri banyak pihak.
Sebagai contoh. Mural Asian Games di Lebak Bulus dicoret-coret oleh oknum tak bertanggung jawab. Peristiwa itu diprediksi terjadi sekitar Rabu, 25 Juli 2018 dini hari lalu. Gambar dekoratif terkait pesta olahraga antarbangsa Asia di dinding glassfiber reinforced cement (GRC) perempatan Pondok Indah Mall, Jalan Iskandar Muda, Pondok Pinang, Jakarta Selatan, disarati tulisan tak pantas. Ada kata-kata "Fuck You Public Enemy" dan "You Buff, I Buff" menggunakan piloks. Serta beberapa tulisan kecil menggunakan kapur tulis.
Hal serupa juga terjadi di tembok depan Stadion Patriot Candrabhaga, Kota Bekasi, Jawa Barat. Padahal tembok tersebut belum lama dipugar sebagai salah satu venue cabang sepak bola Asian Games. Stadion yang berkapasitas sekitar 30 ribu tempat duduk itu akan menggelar pertandingan pembuka antara Indonesia menghadapi Taiwan, 12 Agustus mendatang.
Vandalisme jelas merugikan. Hasilnya tentu membuat penampilan tak sedap dipandang alias mengganggu pemandangan. Bahkan bisa mengganggu kenyamanan. Siapa tidak terganggu bila mendapatkan tulisan tak pantas terpampang nyata di hadapan banyak orang? Siapa yang tak risih bila mendapatkan nama, tempat tinggal, atau identitasnya dijadikan bahan olok-olokan dan caci-maki? Siapa yang tak malu bila asal usul, lembaga dan almamaternya disebut-sebut dan dipromosikan secara luas secara tak proporsional?
Terkait Asian Games, pemerintah dan pihak terkait terpaksa harus bekerja ekstra untuk membersihkan dan memoles ulang. Tentu kita tidak ingin vandalisme itu menjadi tontonan dan pembicaraan banyak orang dari mancanegara.
Apa jadinya bila tangan-tangan jahil itu beraksi atau beraksi kembali setelah perhelatan Asian Games? Sudah barang tentu sulit bagi pemerintah atau pihak terkait kembali memberikan perhatian khusus. Tidak hanya waktu dan tenaga, juga butuh fulus. Nasibnya bisa jadi akan sama seperti di tempat-tempat lain yang membutuhkan waktu tidak singkat untuk membereskannya.
Lebih jauh lagi, aksi ini menjadi pekerjaan besar bersama untuk mendapatkan akar masalah dan solusi agar tak selalu berulang. Tidak cukup dengan menjatuhkan sanksi dan memberikan hukuman kepada pelaku untuk mendatangkan efek jera.
Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama pernah mengatakan sanksi terhadap para pelaku tidak akan menyelesaikan persoalan. Tidak ada landasan hukum yang secara spesifik mengatur misalnya terkait sanksi yang manusiawi seperti kerja sosial. Sekalipun para pelaku bisa dipidana, persoalan tidak beres dengan sendirinya. Bahkan Ahok sempat berseloroh ruang tahanan tak akan pernah cukup menampung para pelaku karena saking banyaknya pelaku dan potensi kejadian yang terus berulang. Apalagi bila para pelaku itu berasal dari kalangan anak-anak dan remaja.Â
Begitu juga dengan memasang kamera pengawas atau CCTV di setiap sudut. Toh CCTV itu hanya akan membantu mengidentifikasi para pelaku. Namun belum menyelesaikan masalah.
Ada sebab lain yang perlu ditelusuri. Banyak hipotesis mengemuka. Perilaku negatif ini bisa dikaitkan dengan faktor psikologis seperti tekanan kejiwaan. Kita pun bisa mendapatkan sebabnya pada situasi ekonomi dan kecemasan akan masa depan. Bisa juga pada ledakan emosi yang tak terkontrol kemudian dimanifestasikan dalam tindakan destruktif seperti merusak fasilitas umum. Bisa juga terkait aktualisasi diri pada kelompok atau individu yang sedang dalam masa pencarian identitas atau jati diri.
Hal terakhir ini kemudian mengarahkan para pelaku dari kalangan anak-anak atau remaja. Namun tindakan seperti itu tidak semata-mata menjadi monopoli mereka. Tidak sedikit kaum vandal berasal dari kelompok dewasa. Termasuk juga dari mereka yang gemar akan graffiti. Kata ini berasal dari bahasa Latin, graphium yang berarti tulisan.
Ya, graffiti bukan sebuah tindakan atau aksi remeh-temeh. Ia bisa dipandang sebagai karya seni. Tidak sedikit kita mendapatkan graffiti di dinding, tembok, atau fasilitas umum yang mendatangkan rasa takjub. Tidak sedikit pula graffiti yang bernilai seni tinggi dan menjadi kekhasan daerah atau wilayah tertentu.
Demikian juga mural. Berasal dari bahasa Latin, murus (dinding), kata ini mengacu pada lukisan permanen di tembok, dinding dan sejenisnya. Seperti graffiti, karya seni ini pun akan menjadi soal bila dilakukan tidak pada tempat yang semestinya.  Pertanyaan kini, apakah mural dan berbagai dekorasi terkait Asian Games itu mengambil tempat yang pantas dan tampil dalam rupa yang pas? Ini soal lain yang membutuhkan ruang tersendiri untuk menjawabnya.
Terlepas dari itu, adalah baik bila karya seni itu dibuat pada tempat yang tepat dan mengambil wujud yang elok. Tentu kualifikasi tepat dan elok ini bisa diperdebatkan. Seni adalah soal rasa dan selera, yang kadang tidak bisa diperdebatkan. Namun setidaknya, elok dipandang dan mendapatkan apresasi luas alih-alih kebingungan, bahkan kecaman dan mengganggu kenyamanan. Kita harapkan kaum vandal bisa mengalihkan perhatian dan sasaran dari merusak fasilitas umum kepada kreasi lain yang lebih positif untuk menambah semarak ruang publik.
Jelas menjadi tugas dan PR besar kita untuk membebaskan ruang bersama dari tindakan tak terpuji ini. Setidaknya dimulai dari momen Asian Games. Menjadikan masa kurang lebih sebulan ini sebagai momen "metanoia" atau pertobatan dari aksi-aksi tersebut. Selanjutnya menjadi refleksi dan tanggung jawab bersama untuk menjadikan tangan kita sebagai sarana untuk menyalurkan kebaikan, kenyamanan, dan ketentraman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H