Hal serupa juga terjadi di tembok depan Stadion Patriot Candrabhaga, Kota Bekasi, Jawa Barat. Padahal tembok tersebut belum lama dipugar sebagai salah satu venue cabang sepak bola Asian Games. Stadion yang berkapasitas sekitar 30 ribu tempat duduk itu akan menggelar pertandingan pembuka antara Indonesia menghadapi Taiwan, 12 Agustus mendatang.
Vandalisme jelas merugikan. Hasilnya tentu membuat penampilan tak sedap dipandang alias mengganggu pemandangan. Bahkan bisa mengganggu kenyamanan. Siapa tidak terganggu bila mendapatkan tulisan tak pantas terpampang nyata di hadapan banyak orang? Siapa yang tak risih bila mendapatkan nama, tempat tinggal, atau identitasnya dijadikan bahan olok-olokan dan caci-maki? Siapa yang tak malu bila asal usul, lembaga dan almamaternya disebut-sebut dan dipromosikan secara luas secara tak proporsional?
Terkait Asian Games, pemerintah dan pihak terkait terpaksa harus bekerja ekstra untuk membersihkan dan memoles ulang. Tentu kita tidak ingin vandalisme itu menjadi tontonan dan pembicaraan banyak orang dari mancanegara.
Apa jadinya bila tangan-tangan jahil itu beraksi atau beraksi kembali setelah perhelatan Asian Games? Sudah barang tentu sulit bagi pemerintah atau pihak terkait kembali memberikan perhatian khusus. Tidak hanya waktu dan tenaga, juga butuh fulus. Nasibnya bisa jadi akan sama seperti di tempat-tempat lain yang membutuhkan waktu tidak singkat untuk membereskannya.
Lebih jauh lagi, aksi ini menjadi pekerjaan besar bersama untuk mendapatkan akar masalah dan solusi agar tak selalu berulang. Tidak cukup dengan menjatuhkan sanksi dan memberikan hukuman kepada pelaku untuk mendatangkan efek jera.
Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama pernah mengatakan sanksi terhadap para pelaku tidak akan menyelesaikan persoalan. Tidak ada landasan hukum yang secara spesifik mengatur misalnya terkait sanksi yang manusiawi seperti kerja sosial. Sekalipun para pelaku bisa dipidana, persoalan tidak beres dengan sendirinya. Bahkan Ahok sempat berseloroh ruang tahanan tak akan pernah cukup menampung para pelaku karena saking banyaknya pelaku dan potensi kejadian yang terus berulang. Apalagi bila para pelaku itu berasal dari kalangan anak-anak dan remaja.Â
Begitu juga dengan memasang kamera pengawas atau CCTV di setiap sudut. Toh CCTV itu hanya akan membantu mengidentifikasi para pelaku. Namun belum menyelesaikan masalah.
Ada sebab lain yang perlu ditelusuri. Banyak hipotesis mengemuka. Perilaku negatif ini bisa dikaitkan dengan faktor psikologis seperti tekanan kejiwaan. Kita pun bisa mendapatkan sebabnya pada situasi ekonomi dan kecemasan akan masa depan. Bisa juga pada ledakan emosi yang tak terkontrol kemudian dimanifestasikan dalam tindakan destruktif seperti merusak fasilitas umum. Bisa juga terkait aktualisasi diri pada kelompok atau individu yang sedang dalam masa pencarian identitas atau jati diri.
Hal terakhir ini kemudian mengarahkan para pelaku dari kalangan anak-anak atau remaja. Namun tindakan seperti itu tidak semata-mata menjadi monopoli mereka. Tidak sedikit kaum vandal berasal dari kelompok dewasa. Termasuk juga dari mereka yang gemar akan graffiti. Kata ini berasal dari bahasa Latin, graphium yang berarti tulisan.
Ya, graffiti bukan sebuah tindakan atau aksi remeh-temeh. Ia bisa dipandang sebagai karya seni. Tidak sedikit kita mendapatkan graffiti di dinding, tembok, atau fasilitas umum yang mendatangkan rasa takjub. Tidak sedikit pula graffiti yang bernilai seni tinggi dan menjadi kekhasan daerah atau wilayah tertentu.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!