Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Piala Dunia dan Pilkada, Siapkah Kita Menyambut Sang Pemenang?

9 Juli 2018   17:31 Diperbarui: 9 Juli 2018   17:48 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi suporter Inggris merayakan kemenangan timnya dengan menaiki ambulans ( REUTERS/Henry Nicholls)

Tersingkirnya Jerman di fase grup dan kekalahan Brasil dari Belgia di perempat final Piala Dunia 2018 memberi kita satu pelajaran. Unggulan tidak selalu menang. Juara bertahan tak selalu untung. Begitu juga dalam dunia politik. Kandidat favorit yang kerap dielu-elukan tak selalu menjamin bakal menang. Petahana yang telah memberikan hasil baik pun tak menjamin tak bakal buntung. Pilkada, seperti Piala Dunia, masih menyisahkan teka-teki. Tak bisa diukur dengan banyaknya gelar di masa lalu dan besarnya militansi para pendukung.

Itu satu hal. Masih banyak hal lain yang bisa dibandingkan, meski perbandingan ini tidak mutlak. Perhelatan Piala Dunia di Rusia dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di sejumlah wilayah di tanah air tetaplah dua entitas berbeda. Momen penyelenggaraan yang bersamaan juga kebetulan belaka.

Piala Dunia digelar sejak 14 Juni, sementara Pilkada serentak dilangsungkan kurang lebih 14 hari kemudian. Piala Dunia yang berlangsung di 11 kota di Rusia melibatkan 32 tim terbaik dari seluruh penjuru dunia. Sementara Pilkada digelar di 171 daerah, terdiri dari 13 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten di tanah air.

Kedua hajatan itu tidak selesai dalam sehari. Putaran final Piala Dunia berlangsung sebulan penuh yang berpuncak pada 15 Juli mendatang. Begitu juga Pilkada yang masih berlanjut dengan tahap rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara oleh lembaga berwenang. 

Bahkan sebelum putaran final dan masa pencoblosan, kedua perhelatan itu didahului serangkaian proses panjang. Untuk mendapatkan 32 tempat di Rusia, seluruh anggota Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) bertarung mulai dari level paling bawah. Begitu juga para kontestan yang akan bertarung di Pilkada berkompetisi sejak tahap pendaftaran, bahkan sejak sebelum itu.

Untuk menjadi juara di Piala Dunia, tim-tim terbaik itu berjuang di lapangan pertadingan dengan segenap kekuatan dan dukungan dari berbagai pihak. Begitu juga para kontestan memenangkan Pilkada dengan bantuan berbagai pihak, mulai dari petugas partai, lembaga penyelenggara, hingga masyarakat pemilih. Piala Dunia, demikianpun Pilkada, mustahil terselanggara dengan mengandalkan satu dua pihak saja. Karena campur tangan bersama kedua event itu bisa berjalan. Sukses tidaknya pagelaran ini  kemudian menjadi tanggung jawab bersama.

Dalam berbagai perbedaan multidimensional itu, ada hal lain yang sama. Sekuat-kuatnya para kontestan berjuang akhirnya hanya satu yang keluar sebagai pemenangan. Tidak ada juara bersama. Apapun yang terjadi, dengan bantuan pengadil, hanya satu yang berhak menyandang status pemenang.

Pada 15 Juli nanti ada satu dari empat tim ini yakni Prancis, Belgia, Kroasia dan Inggris yang akan naik ke podium tertinggi di Stadion Luzhniki, Moskwa. Semua kontestan akan memberikan hormat kepada sang pemenang. Pertanyaan, apakah sikap serupa akan diberikan oleh para calon dan pendukungnya terhadap para pemenang Pilkada?

Tentang hal ini sepertinya kita masih harus belajar dari lapangan hijau. Sportivitas masih menjadi nilai mahal untuk politik kita. Coba tengok beberapa persoalan yang terjadi pasca hari H pencoblosan. Salah satunya seperti terjadi di Alor, Nusa Tenggara Timur pada Kamis, 5 Juli 2018 lalu. Rapat pleno rekapitulasi penghutungan suara berakhir ricuh. Para pendukung salah satu pasangan calon (paslon) membuat keributan. Rasa tidak puas memantik amarah yang kemudian menuntut pihak keamanan polisi dan TNI turun tangan.

Kita bisa mendata kejadian serupa di tempat lain. Yang pasti sikap kesatria masih menjadi barang mahal. Ketidakpuasan atas hasil mudah melecut amuk dan amarah. Meski ada kekurangan teknis di sana-sini, menahan diri untuk tidak bertingkah anarkis masih belum membudaya.

Unjuk rasa Amanat penderitaan rakyat Nusantara Republik Indonesia (Antra RI) di kantor KPU Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu, 4 Juli 2018 berlangsung ricuh/ keterangan dan gambar dari www.nttterkini.com
Unjuk rasa Amanat penderitaan rakyat Nusantara Republik Indonesia (Antra RI) di kantor KPU Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu, 4 Juli 2018 berlangsung ricuh/ keterangan dan gambar dari www.nttterkini.com
Coba berpaling ke lapangan pertandingan. Laga Portugal kontra Uruguay di babak 16 besar adalah contoh. Di pertandingan itu Portugal menguasai jalannya pertandingan. Mereka adalah juara Eropa yang memiliki ambisi besar untuk menguasai dunia. Sedominan apapun Cristiano Ronaldo dan kawan-kawan di pertandingan itu mereka tak bisa menolak hasil akhir. Uruguay lolos ke perempat final dengan keunggulan 2-1. Meski kecewa, kubu Portugal tetap legawa. Simak apa yang dikatakan sang pelatih, Fernando Santos setelah pertandingan.  

"Pertama-tama, selamat untuk Uruguay. [Kekalahan] Ini sangat menyedihkan buat Portugal. Kami tahu bahwa alun-alun di negara kami selalu dipenuhi oleh masyarakat, beserta para fans yang sungguh-sungguh mendukung kami."

Masih tentang pertandingan itu. Coba ingat momen yang terjadi sekitar menit ke-70. Edinson Cavani terpincang-pincang di lapangan, yang kemudian didiagnosis mengalami cedera hamstring. Cedera itu lantas memaksanya menjadi penonton dalam pertandingan menghadapi Prancis yang berakhir pilu. Ronaldo sigap mendekati Cavani dan memapahnya hingga pinggir lapangan.

Jagad maya sontak heboh menanggapi aksi Ronaldo. Ada yang memberikan komentar positif. Menyanjung sikap kesatria sang kapten. Tidak sedikit yang memberikan cibiran. Mencurigai mantan pemain Manchester United itu menghendaki agar Cavani segera meninggalkan lapangan agar pertandingan berlanjut. Saat itu Portugal sedang tertinggal 1-2.

Ronaldo membantu memapah Cavani ke pinggir lapangan/Dailymail.co.uk
Ronaldo membantu memapah Cavani ke pinggir lapangan/Dailymail.co.uk
Terlepas dari pro dan kontra, maksud baik Ronaldo tetap patut diapresiasi. Menjadikan lawan sebagai kawan meski sedang berkompetisi sekalipun. Sikap seperti ini sepertinya jarang ditemukan dalam palagan politik kita. Sebelum masa pencoblosan, setiap calon lebih memikirkan bagaimana caranya memenangkan pertarungan. Saling serang, saling merendahkan, bahkan saling menjatuhkan lumrah terjadi. Bila perlu menggunakan, untuk mengatakan menghalalkan berbagai cara, demi menggolkan kepentingan sendiri. Dibandingkan sepak bola, kompetisi politik kita terlihat begitu bobrok dan kotor.

Bagaimana setelah kemenangan? Antoine Griezmann bersikap dingin setelah mencetak gol kedua Prancis ke gawang Uruguay. Ia tidak menunjukkan euforia meluap-luap setelah sepakan spekulasi gagal dibendung Fernando Muslera. Padahal gol tersebut sangat berarti bagi Les Blues menuju semi final. Di satu sisi, ia tentu tidak ingin membuat Muslera tampak semakin konyol. Sikap antisipatif kiper senior itu begitu memalukan. Sulit diterima bagaimana caranya menghadapi bola kiriman Griezmann.

Di sisi lain, ada alasan lebih mendasar. Ada banyak orang penting di sana. Griezmann tahu ia bisa menjadi seperti sekarang karena jasa sejumlah orang Uruguay. Salah satu sosok penting adalah Martin Lasarte yang melatihnya di awal karier bersama Real Sociedad sejak 2009. Tidak hanya Laserte yang menjadi pelatih Sociedad hingga 2011. Ada juga Carlos Bueno, rekan setim yang bersama Lasarte menanamkan nilai-nilai penting yang membuatnya begitu jatuh cinta pada Uruguay.

Martin Lasarte memberikan instruksi kepada Griezmann saat masih menjadi pemain Real Sociedad/ www.publimetro.cl
Martin Lasarte memberikan instruksi kepada Griezmann saat masih menjadi pemain Real Sociedad/ www.publimetro.cl
Griezmann yang berdarah Jerman dan Portugal menyebut dirinya "separuh Uruguay."  Selain menyukai aneka makanan dan minuman, ia juga fasih berbahasa Spanyol dengan aksen negara Amerika Selatan itu.

"Saya juga bermain melawan beberapa teman, karena itu menurut saya wajar kalau saya tidak merayakan gol tersebut," Griezmann beberkan alasan lain.

Ikatan Griezmann dan Uruguay sudah begitu kuat, tertanam sejak bertahun-tahun lalu. Mengapa tidak kita bandingkan sikap ini dengan para kontestan pilkada? Para calon yang bertarung kadang melupakan, entah sengaja atau tidak, unsur-unsur yang mengikat mereka satu sama lain.

Selain berasal dari negara, bahkan wilayah yang sama, mereka pun menggunakan bahasa nasional bahkan bahasa ibu yang sama. Lebih dalam dari itu, bahkan masih memiliki hubungan kekerabatan. Namun Pilkada bisa membuat segala anasir itu tampak asing, atau sengaja dibuat demikian, dan membuat unsur-unsur pemersatu itu tercerai-berai. Ambisi kekuasaan dan jabatan membuat para kontestan kalap, gelap mata dan takabur. Kawan akhirnya menjadi lawan. Saudara dan sahabat kemudian menjadi musuh.

Memang sepak bola, termasuk Piala Dunia, tidak lepas dari kekurangan. Seperti politik, mafia, suap, anarki, vandalisme dan intrik juga mengemuka di sepak bola tak terkeculi di event sekelas Piala Dunia. Tak terkecuali luapan kegembiraan berlebihan seperti hooligan Inggris yang sampai merusak ambulans dan taksi menyusul lolosnya tim kesayangan ke semi final.

Aksi suporter Inggris merayakan kemenangan timnya dengan menaiki ambulans ( REUTERS/Henry Nicholls)
Aksi suporter Inggris merayakan kemenangan timnya dengan menaiki ambulans ( REUTERS/Henry Nicholls)
Namun ada nilai-nilai plus lain yang sangat relevan untuk ditimba dalam konteks hidup lebih luas, tak terkecuali dalam perpolitikkan kita. Selain memberi hormat dan respek kepada pemenang, mengakui kekurangan dan berbenah agar bisa lebih siap bertarung di kesempatan berikut. Tidak ada dendam dan dengki yang terpelihara kemudian termanifestasi dalam semangat "balas dendam" buta.

Akhirnya, untuk menjadi lebih kuat tidak hanya butuh persiapan yang matang, tetapi juga kerelaan untuk berkata cukup, yang dalam dunia sepak bola bisa kita sebut regenerasi. Kehadiran para pemain muda dengan skill mumpuni membuat laga menjadi menarik. Sepakbola menjadi tontonan yang selalu dinanti dengan hadirnya para pemain senior yang mengimbangi para pemain muda dengan teladan, pengalaman dan kualitas.

Pemenang Piala Dunia ditentukan oleh serba keunggulan yang dikelola secara terbuka. Semua itu dipertaruhkan secara adil di lapangan pertandingan hingga tuntas. Bukan hasil kompromi, kongkalikong, main mata dan barter. Berbeda dengan Pilkada yang hasil akhirnya kadang sudah diduga dan ditakar dengan "quick count" sehingga sujud syukur dan pesta kemenangan bisa dibuat lebih dini.

Hal terakhir ini sangat lumrah dalam perpolitikan kita yang membuat kita akhirnya tidak lagi menikmati politik sebagai seni dan pertunjukkan yang disambut dan dirayakan dengan sukacita, bukan?

Suka tidak suka, mari siap menyambut sang juara. Oh ya, pastikan jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun