Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

" I Remember Flores" (Romantisme Usai Kekalahan Jepang di Rostov Arena)

3 Juli 2018   16:02 Diperbarui: 3 Juli 2018   18:28 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Begini suasana ruang ganti pemain Jepang seusai kekalahan atas Belgia. Mereka meninggalkan ruangan tersebut dalam keadaan rapih dan bersih. Tak lupa mereka menyisipkan tulisan “Spasibo” artinya terima kasih/ https://twitter.com/tancredipalmeri

Sejujurnya saya bukan penggemar Belgia. Tak ada sesuatu yang buruk yang mempengaruhi interese ini. Karena itu ketika menghadapi Jepang di babak 16 besar Piala Dunia kali ini, jelas ke mana harapan dan dukungan saya. Jepang adalah harapan terakhir Asia. Skuad Samurai Biru adalah representasi sekaligus simbol perjuangan bangsa Asia menghadapi dominasi dan superioritas Eropa dan Amerika Selatan di panggung sepak bola dunia.

Dukungan kepada Jepang adalah bentuk solidaritas untuk bersama mengangkat muka dan menegakkan kepala di hadapan bangsa-bangsa lain. Setelah pesona alam yang memukau, populasi yang mencengangkan dan pertumbuhan ekonomi yang gilang gemilang, giliran sepak bola yang menunjukkan pertumbuhan yang baik.

Asia bukan lagi lumbung gol dan bulan-bulanan tim-tim kuat. Kita pantas meninggalkan status underdog dan menyaput rasa inferior ketika bertemu para "raksasa." Memang Jepang bukan Indonesia, Timor Leste, atau negara-negara dengan pertumbuhan sepak bola yang masih memprihatinkan. Tetapi Jepang adalah kita. Asia.  

Lebih dari itu, Jepang memiliki ikatan tersendiri dengan Indonesia. Kisah masa lalu sedikit banyak masih membekas. Tak terkecuali bagi generasi pembelajar sejarah masa kini. Saya tidak terlalu serius belajar sejarah, namun sedikit peninggalan sejarah dan kisah yang terus ditemurunkan lebih dari cukup mempertebal keberpihakan kepada tim tersebut di Piala Dunia kali ini.

Melihat Jepang di Rostov Arena, Senin (02/07/2018) waktu setempat atau Selasa dini hari tadi membuat rasa bangga saya membuncah. Samurai Biru mampu mengimbangi, bahkan membuat Belgia kewalahan. Jepang mampu menghukum "kepongahan" Belgia selama satu jam pertandingan. Para pemain bintang mereka yang punya nama besar dan pengalaman di kompetisi level atas hampir tak berkutik. 

Sebelum mereka melakukan "comeback" di 20 menit terakhir, Jepang sudah memimpin dua gol. Lesatan Genki Harguchi dan Takashi Inui secara bergantian merobek gawang Thibaut Courtois di menit ke-48 dan 52.

Memang patut disayangkan Jepang kemudian gagal menjaga keunggulan itu. Inui dan rekan-rekannya tak pandai berakting seperti Neymar beberapa jam sebelumnya saat menghadapi Meksiko. 

Neymar sukses memainkan trik "lebay" namun cukup efektif mengulur waktu dan memprovokasi lawan. Akira Nishino tampaknya bukan juru taktik yang "licik" untuk segera menerapkan strategi negatif yang membuat timnya terus bermain terbuka dan alpa memperkuat pertahanan agar tak balik dibobol lawan.

Meski begitu ada beberapa keunggulan Belgia yang patut diakui dan kemudian menjadi pembeda. "Come back" yang diawai sundulan Jan Vertonghen, berlanjut dengan tandukan Marouane Fellaini dan diakhiri Nacer Chadli dari skema serangan balik apik nan cantik di penghujung laga.

Takeshi Inui mencetak gol indah ke gawang Belgia/Dailymail.co.uk
Takeshi Inui mencetak gol indah ke gawang Belgia/Dailymail.co.uk
Pertama, Jepang sebenarnya sukses menyiapkan strategi menghadapi Belgia. Samurai Biru mampu mengekploitasi ruang di antara "full-back" dan memberikan tekanan sehingga meminimalisir pasokan bola kepada setiap gelandang mereka. Yannick Carrasco dan Alex Witsel kesulitan, kemudian membuat permainan Belgia terpengaruh.

Setelah tertinggal dua gol, Roberto Martinez mengambil keputusan tepat. Memasukan Nacer Chadli dan Marouane Fellaini, dua pemain yang kemudian memberikan dampak signifikan. Chadil memberikan keseimbangan di sisi kiri dengan memainkan peran ganda: aktif menyerang dan sigap bertahan. Sementara Fellaini dimaksimalkan Martinez sama seperti Mourinho memanfaatkannya di Manchester United.

Kedua, Martinez yang memulai dengan formasi 3-4-3 membuat para pengamat seakan tak percaya. Kemudian terbukti skema tersebut sama sekali tak menguntungkan dan membuat sumber daya pemain yang ada menjadi sia-sia. Justru Jepang mampu memanfaatkan celah ini untuk balik mengekploitasi.

Pergantian dua pemain setelah tertinggal dua gol membuat formasi Belgia menjadi lebih cair antara 4-4-2 dan 4-4-3. Hal ini membuat Belgia mampu merebut kembali kendali lini tengah. Kevin De Bruyne mendapat ruang dan kebebasan untuk bergerak, sementara Romelu Lukaku dan Fellaini ikut membantu dengan memaksimalkan keunggulan fisik.

Entah disengaja atau tidak, perubahan yang diambil Martinez akhirnya berakhir manis. Apakah pelatih asal Spanyol itu berjudi di pertandingan hari itu. Namun yang pasti Jepang memberikan pelajaran penting kepada mereka. Bila terus bertahan dengan formasi 3-4-3 maka Belgia akan menghadapi kendala serupa saat menghadapi tim-tim yang lebih kuat dan cerdas.

Di pertandingan berikutnya, Belgia akan menghadapi Brasil. Ini adalah ujian berat bagi Martinez. Brasil memiliki sejumlah pemain tengah top, sama seperti Belgia saat ini. Namun bila masih tetap mengandalkan formasi semula, bisa jadi lini tengah Belgia akan kesulitan. Lebih dari itu, Martinez akan menyandera dan membuat salah satu bintang mereka, Kevin De Bruyne menjadi tak berarti.

I remember Flores

Belgia akhirnya mampu mencapai klimaks setelah melewati ketegangan yang panjang. Kembalinya Belgia ke puncak permainan terbaik yang dikreasi dalam 9,94 detik. Ya detik-detik terakhir yang menyihir seisi stadion dan para penonton di layar kaca. Sekaligus membuat Jepang menyesali segala kelalaian yang dilakukan.

Bermula dari operan Courtois yang menyasar De Bruyne. Maestro lini tengah ini berlari cepat dengan bola di kaki. Lantas melajukan bola kepada Thomas Meunier yang menusuk ke kotak penalti Jepang. Pemain yang disebutkan terakhir itu lalu memberikan umpan mendatar kepada Romelu Lukaku. Striker Manchester United itu tidak mencoba peruntungan demi menyamai perolehan lima gol Harry Kane di puncak daftar top skor sementara. Ia malah melakukan trik ciamik yang diselesaikan dengan sempurna oleh Chadli.

Tiga kali Eiji Kawashima memungut bola dari dalam gawangnya dalam tempo 20 menit. Pencapaian yang mencengangkan. Hasil dari kombinasi faktor-faktor unggul yakni kualitas, karakter dan mental yang kuat. Hasil ini membuat asa generasi emas Belgia meraih prestasi kian tebal.

Meski kalah Jepang tetap pantas diapresiasi. Tidak hanya pada sikap para pemain dan penonton di luar stadion seusai pertandingan. Tetapi terutama pada cara mereka membanggakan rakyat Asia.

Begini suasana ruang ganti pemain Jepang seusai kekalahan atas Belgia. Mereka meninggalkan ruangan tersebut dalam keadaan rapih dan bersih. Tak lupa mereka menyisipkan tulisan “Spasibo” artinya terima kasih/ https://twitter.com/tancredipalmeri
Begini suasana ruang ganti pemain Jepang seusai kekalahan atas Belgia. Mereka meninggalkan ruangan tersebut dalam keadaan rapih dan bersih. Tak lupa mereka menyisipkan tulisan “Spasibo” artinya terima kasih/ https://twitter.com/tancredipalmeri
Heroisme Jepang membuat saya jadi melankoli. Bayangan akan kampung halaman berkelebat di kepala. Kampung halaman yang pernah punya ikatan yang kuat dengan nenek moyang Inui dan kawan-kawan. Kampung halaman yang turut membuat seorang Tasaku Sato jatuh hati.

Di buku sejarah, Tasaku Sato lebih dikenal sebagai kapten Angkatan Laut Jepang. Kelahiran Taipei, Oktober 1988 ini menjadi Komandan Pasukan Pengawal Angkatan Laut Kerajaan Jepang di Flores sejak 1943, setahun setelah mereka menduduki wilayah Hindia Belanda.

Selama dua tahun ia bertugas di Flores. Berada di Nusa Tenggara Timur hingga 1947 hingga dua tahun dipenjara sekutu di Sumba dan Timor. Sato kemudian melisankan kenangan itu kepada P Mark Tennien dan Maryknoll. Cerita itu kemudian dibukukan oleh Farrar, Strauss dan Cudahy pada 1957 di New York. Buku itu lalu dialihbahasakan oleh Thom Wignyanta, dan hingga cetak kedua pada 2005 tetap mempertahankan judul yang sama. I Remember Flores.

Buku I Remember Flores/http://floresnusaiman.blogspot.com
Buku I Remember Flores/http://floresnusaiman.blogspot.com
Buku ini hanya berisi perang dan kolonialisme pada sebagian kecil. Sebagian besar adalah pengalaman pribadi menjelajahi alam Flores hingga Adonara, interaksi dengan berbagai elemen masyarakat setempat hingga masa-masa kejatuhan yang membuatnya harus mendekam di balik jeruji.

Ia lebih menitikberatkan pada kisah humanisme. Menempatkan Flores tidak semata-mata dan terutama sebagai koloni, tetapi sebagai medan belajar dengan geografi, topografi dan antropoligi baru yang berbeda. Sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya. Sesuatu yang akhirnya mengubahnya pada aspek paling dalam (baca:iman) dan kemudian membuatnya tidak bisa tidak mengingat Flores.

Salah satu ungkapan Sato di halaman 223 demikian. "...Rakyat Flores telah mengajarkan saya bahwa biarpun bom-bom dapat menghancurkan semua gereja, ada satu yang tetap hidup, yaitu iman umat. Di Flores, saya dekat api, bara iman yang ikut serta membakar jiwaku. Semua usahaku untuk memadamkannya sia-sia."

Dengan cara pandang yang sama, saya pun melihat Jepang hari ini. Jepang yang membuat bangga Asia dan memantik rindu kembali ke kampung semakin menjadi-jadi. Ah, I Remember Flores.

Oh ya, pastikan jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun