Sepak bola tidak hanya penuh kejutan, juga sisi menarik lainnya. Sepak bola pun kejam. Gara-gara si kulit bundar orang bisa jadi babak belur. Tersebab permainan satu ini orang bisa menjadi frustrasi dan sakit hati. Sisi "gelap" sepak bola ini sedang mendapatkan pembuktiannya dalam diri Sardam Azmoun. Ya, pemain sepak bola nasional Iran yang baru saja memutuskan gantung sepatu.
Meski Sardam Azmoun bukan pemain besar atau berasal dari negara dengan tradisi sepak bola yang masyur, keputusan yang baru diambilnya cukup mengejutkan. Di tengah euforia Piala Dunia 2018 yang semakin meningkat, Ia memutuskan pensiun dari tim nasional. Keputusan berani itu diambil saat usianya baru 23 tahun. Di saat para pemain muda lainnya tengah memeram dan berjuang meraih mimpi ke panggung internasional, Azmoun justru mengambil keputusan sebaliknya.
Azmoun bukan sekadar pelengkap di tim nasional. Di usianya yang masih muda, Azmoun sudah menunjukkan bakat yang luar biasa. Kecepatan dan kemampuan mengolah bola membuat dunia tidak bisa tidak berpaling kepadanya.Â
Meski merumput di kompetisi yang kurang terkenal, karena talentanya itu, orang akhirnya menarik garis hubung dengan beberapa pemain besar seperti Zlatan Ibrahimovic dan Lionel Messi. Melihat Azmoun bermain, orang mengingat Zlatan saat masih berusia muda. Oleh media-media Inggris, Sardam bahkan digelari "Messi-nya Iran" karena ketajamannya di depan gawang.
Azmoun, yang saat ini bermain untuk klub Rusia, FC Rubin Kazan, telah berseragam tim nasional sejak 2014. Dalam 36 penampilan bersama negara Asia Barat itu, Azmoun telah mencetak 23 gol. Pemain yang melakoni debut internasional saat berusia 19 tahun pun masuk lima besar daftar pencetak gol terbanyak Iran.
Usia dan potensinya yang luar biasa membuat publik berani menaruh ekspektasi lebih. Azmoun akan menjadi salah satu pemain sepak bola terbesar Iran sepanjang masa. Ia akan menjadi kebanggaan Iran suatu saat nanti.Â
Pencapaiannya dikemudian hari diprediksi akan menyamai bahkan melampaui Ali Daei, legenda hidup Iran yang kini masih mengungguli pemain manapun di dunia dalam urusan total gol internasional yakni 109 gol dalam 149 pertandingan.
Namun keputusan mengejutkan yang baru saja diambil seketika meruntuhkan segala ekpektasi besar itu. Lebih mengejutkan lagi, keputusan ini diambil dalam sebuah situasi yang tragis. Azmoun memutuskan pensiun tak lama setelah Iran gagal melewati fase grup Piala Dunia 2018. Sekali menang, sekali seri dan sekali kalah tak cukup meloloskan tim Melli ke babak 16 besar.Â
Meski memiliki koleksi poin lebih baik dari Maroko-yang hanya membawa pulang satu poin-berada di peringkat ketiga tetap membuat mereka masuk kotak. Perolehan poin mereka kalah banyak dari Portugal dan Spanyol yang memiliki satu poin lebih banyak sekaligus berhak tampil di fase gugur.
Azmoun tampil penuh 90 menit di tiga pertandingan Grup B saat Iran mengalahkan Maroko, menyerah dari Spanyol dan menahan imbang Portugal. Namun paceklik gol yang menderanya membuatnya tak bisa membantu armada besutan Carlos Queiroz melangkah jauh.
Buntutnya, Azmoun mendapat perlakuan tak mengenakkan dari masyarakat Iran. Sebagaimana diberitakan luas, alih-alih mendapat dukungan, ia justru dihina secara menyakitkan oleh orang-orang sebangsanya.
Azmoun yang berasal dari keluarga Sunny merasakan dampak penghinaan pada sang ibu. Kesehatan ibunya memburuk karena tak kuasa menahan cercaan dari orang-orang sekitar. Dalam nada keputusasaan yang sangat Azmoun menguraikan situasi yang terjadi pada keluarganya. Curhatan ini diungkapkan pertama kali di akun instagram pribadi.
"Ibu saya berhasil mengatasi sakit yang serius dan saya merasa bahagia. Sayangnya karena kekejaman beberapa orang, dan penghinaan bahwa saya dan rekan setim sama sekali tak pantas, penyakitnya pun menjadi parah," ungkapnya seperti dikutip dari BBC.co.uk.
Tidak mau mengambil risiko buruk pada sang ibu, dengan berat hati Azmoun pun mengambil keputusan pensiun. Ia lebih memilih kesehatan sang ibu ketimbang terus bergumul di dunia sepak bola yang membuatnya bisa menjadi pahlawan dan pecundang seketika.
"Situasi ini telah membuat saya dalam posisi sulit di mana saya harus memilih salah satu-dan sebagai hasilnya saya memilih ibu saya."
Di satu sisi, sikap Azmoun sangat romantis, untuk mengungkapkan kedekatan dan keberpihakan pada sang ibu. Ia lebih memilih kesehatan sang ibu, ketimbang tim nasional.Â
Pengunduran dirinya itu bisa jadi bentuk protes atas sikap masyarakat setempat. Di sisi lain, keputusan Azmoun cukup disesali. Sebuah kerugian besar bagi sepak bola Iran. Bakat besar dan calon bintang "dimatikan" oleh kaumnya sendiri.
Sambil pada waktu bersamaan mengasah mental, tidak hanya menghadapi tekanan dari dalam tetapi juga dari luar lapangan seperti yang dialaminya saat ini. Sepak bola tidak hanya soal mengolah bola tetapi juga bagaimana mengolah rasa dan emosi dalam menghadapi tekanan yang kadang bisa datang dari orang-rang terdekat.
Oh ya, sang ayah, Khalil Azmoun adalah mantan pemain voli nasional yang kini menjadi pelatih di beberapa klub lokal. Darah olahraga yang mengalir dalam keluarga ini tentu membuat Azmoun menjadi lebih mafhum terhadap setiap dinamika. Olahraga, juga sepak bola itu tidak melulu tampil dalam satu rupa. Ia bisa hadir dalam bentuk paling kejam seperti dialami saat ini.
Sambil mengharapkan kebangkitan Azmoun dan timnas Iran, mari terus mengikuti perjalanan Piala Dunia yang semakin mendebarkan. Tentu akan menjadi lebih sempurna ditemani kacang garuda karena jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H