Selain Watanabe, pemain lain yang cukup mencuri perhatian di partai final ini adalah Kento Momota. Sejak kembali ke tim nasional usai tersandung masalah perjudian, Momota langsung tancap gas. Pemain berusia 23 tahun tidak butuh waktu lama untuk kembali bersaing di jajaran elite dunia, seperti pernah dilakukan sebelum tersandung masalah.
Di piala Thomas kali ini, pemain yang pernah menghuni rangking dua dunia itu tak pernah kalah. Tak heran ia menjadi salah satu pemain kunci meraih poin. Lolosnya Jepang ke partai puncak tidak lepas dari andil Momota. Sebagai tunggal pertama di partai pertama, Momota selalu berhasil membuka jalan dengan kemenangan. Tentu ini membangkitkan rasa percaya diri para pemain lain.
Di partai final, Momota mampu menjungkalkan Chen Long. Meski Chen lebih dominan dalam lima pertemuan sebelumnya, dengan empat kemenangan pertama, Momota tak gentar. Tidak hanya mengimbangi permainan net Chen, sesekali Momota membuat pemain berperingkat lima dunia itu separuh tak percaya. Bila jawara Olimpiade Rio 2016 ini terkenal dengan permainan netting yang ciamik, Momota bahkan mampu mengkreasi permainan netting sangat tipis tanpa bisa dijangkau Chen.
Tidak hanya netting yang tipis, Momota juga memiliki senjata mematikan lainnya. Beberapa senjata itu adalah smash yang tajam dan akurasi pukulan yang tinggi. Skill tersebut dipadu dengan kesabaran, keuletan dan kepintaran. Ia tahu kapan harus menyerang dan kapan harus memancing lawan. Tidak hanya itu Momota hampir jarang melakukan kesalahan sendiri.
Sayangnya kecemerlangan Momota gagal diikuti Kenta Nishimoto. Tungga kedua ini gagal mencuri poin dari Shi Yuqi. Meski di pertemuan terakhir, Nishimoto-kini berperingkat 14 dunia, sanggup mengalahkan Yuqi, kali ini ia tak kuasa meladeni juara All England itu. Kenta menyerah dua game langsung, 21-12 21-17 dalam tempo 45 menit.
Kembali ke pertanyaan sebelumnya. Bila China butuh enam tahun untuk kembali menjadi juara, berapa lama waktu yang dibutuhkan Indonesia untuk kembali ke podium tertinggi? Indonesia terakhir kali menjadi juara pada 2002 di Guangzhou, usai menumbangkan Malaysia dengan skor 3-2. Bila demikian Indonesia sebenarnya sudah menanti selama 16 tahun. Lantas, berapa lama lagi Indonesia harus menanti?
Tentu pertanyaan ini tidak mudah. Tidak bisa dihitung secara matematis pula. Tidak ada kalkulasi yang adil dan akurat untuk membandingkan satu sama lain. Dengan mengabaikan periode awal, China bahkan pernah berada dalam masa penantian yang cukup lama sejak menjadi juara pada 1990 di Tokyo dan baru bisa mengulanginya di Jakarta 12 tahun kemudian.
Hal yang paling realistis adalah belajar dari kegagalan kali ini untuk mempersiapkan diri di edisi berikutnya. Apa saja pelajaran yang bisa dipetik dan bagaimana solusi yang harus diambil?
Pertama, dengan materi tim yang ada China memang pantas menjadi juara. China menegaskan statusnya sebagai unggulan pertama. Termasuk mengungguli sang juara bertahan Denmark sebagai unggulan kedua dan Indonesia di tempat ketiga. Bila Jepang yang tak masuk hitungan bisa mencapai final, mengapa Indonesia hanya bisa bertahan hingga semi final?