Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

China Butuh 6 Tahun Juara Piala Thomas, Indonesia Kapan?

27 Mei 2018   23:05 Diperbarui: 29 Mei 2018   09:27 2306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pemain China merayakan kemenangan Li Junhui dan Liu Yuchen di partai keempat sekaligus memastikan trofi Piala Thomas 2018/gambar dari bwfthomasubercups.com

China akhirnya berhasil membawa pulang trofi Piala Thomas. Di partai final yang digelar di Impact Arena, Bangkok, Thailand, Minggu (27/05/2018), Negeri Tirai Bambu itu sukses membungkam Jepang dengan skor 3-1. Kemenangan China ini sekaligus mengandaskan harapan Jepang untuk mengawinkan gelar, setelah sehari sebelumnya berhasil merengkuh Piala Uber. Dengan demikian baru dua negara yang mampu meraih dua trofi itu dalam satu pagelaran, yakni China dan Indonesia. Prestasi terbaik Indonesia ditorehkan pada 1994 di Jakarta dan mengulanginya dua tahun kemudian di Hong Kong.

China pun semakin mendekati Indonesia dalam koleksi gelar Piala Thomas. Tambahan satu gelar ini membuat China kini telah mengemas 10 gelar, berjarak tiga gelar dari Indonesia. China terakhir kali menjadi juara pada 2012 di Wuhan, melengkapi torehan lima gelar secara beruntun sejak 2004 di Jakarta. Dengan demikian Negara Panda itu hanya butuh enam tahun untuk kembali merengkuh lambing supremasi beregu tersebut. Lantas, bagaimana Indonesia?

Sebelum berbicara tentang Indonesia, mari kita lihat pertandingan final hari ini. Kedua tim sama-sama menurunkan amunisi terbaik. Namun Jepang melakukan sejumlah rotasi, terutama di sektor ganda. Takuto Inoue dan Yuki Kaneko diturunkan sebagai ganda pertama, menyusul Kento Momota di partai pertama. Sementara itu pasangan senior, Takeshi Kamura dan Keigo Sonoda dipisah.

Kamura diistirahatkan untuk memberi tempat kepada pemain muda, Yuta Watanabe. Sebenarnya Jepang bisa saja memainkan Keigo dan Sonoda yang sangat berpengalaman dan menjadi pasangan Jepang dengan rangking tertinggi. Tetapi mereka malah memberi tempat pertama kepada Inoue dan Kaneko mengingat lawan yang dihadapi adalah Liu Cheng dan Zhang Nan. 

Meski Inoue dan Kaneko berperingkat lebih rendah, yakni 11 berbanding 3, namun pasangan ini memiliki catatan bagus menghadapi pasangan berbeda generasi dari China itu. Pasangan Jepang itu mencatatkan kemenangan dalam satu-satunya pertemuan sebelumnya di Hong Kong Open 2017. Saat itu Inoue dan Kaneko menang usai bertanding rubber set, 18-21 21-17 19-21.

Apakah itu satu-satunya alasan Inoue dan Kaneko menjadi ganda pertama? Tentu tidak. Jepang bisa saja tetap mengandalkan Kamura dan Sonoda toh pasangan ini mampu memetik kemenangan di pertemuan terakhir menghadapi Cheng dan Nan. Namun, performa pasangan berperingkat enam dunia itu kurang meyakinkan kali ini. Keduanya sudah menelan dua kali kekalahan.

Tak heran bila Jepang berani membongkar pasang dengan mentandemkan Sonoda dan Watanabe sebagai ganda kedua. Watanabe memang masih berusia 20 tahun, tetapi sudah mampu menjuarai level super series premier atau sekarang disebut Super 1000 yakni di ajang All England. Selain itu, kombinasi senior dan junior itu belum pernah bertemua dua tembok raksasa China itu. Secara psikologis tidak terlalu terpengaruh, meski secara peringkat Li dan Liu berada di atas semua pasangan Jepang.

Bagaimana hasilnya? Inoue dan Kaneko gagal menyumbang poin kedua. Keduanya menyerah straight set 21-10 21-18 dari pasangan juara dunia itu. Sementraa eksperimen kedua yang dilakukan nyaris berhasil. Sonoda dan Watanabe hampir saja memaksa pertandingan berlanjut hingga partai kelima. 

Keduanya berhasil mencuri game pertama, namun gagal mempertahankan keunggulan di game kedua, dan memaksimalkan keunggulan di poin kritis di set penentuan. Watanabe terlihat gugup saat memegang "match point" dalam kedudukan 20-18. Situasi ini justru dimanfaatkan Li/Liu untuak mengejar ketertinggalan dan mengunci kemenangan, 17-21 21-19 22-20 dalam tempo 1 jam dan 10 menit.

Liu Cheng and Zhang Nan/gambar dari bwfthomasubercups.com
Liu Cheng and Zhang Nan/gambar dari bwfthomasubercups.com
Meski gagal memperpanjang nafas Jepang, keduanya sudah menampilkan performa ciamik. Mereka mampu menyulitkan dua pemain jangkung. Secara postur Watanabe kalah tinggi. Ia hanya bertinggi badan 1,65 m. Bandingkan dengan Li yang menjulang setinggi 1,95. 

Selain paling muda, Watanabe juga paling kecil dalam tim. Meski begitu kelincahan dan pergelangan tangannya kuat sehingga mampu beradu dengan para lawan yang berpostur lebih tinggi dan memiliki pukulan yang kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun