Namun demikian aturan tersebut tidak bisa selalu dijadikan alasan. Setiap pemain dituntut untuk beradaptasi dengan aturan tersebut. Buktinya, para pemain jangkung bisa menerapkan aturan tersebut dengan baik.Â
Malah kesalahan juga terjadi pada pemain berpostur "ideal"-untuk mengatakan tidak terlalu jangkung atau sebaliknya. Pengalaman Sinyo, yang bertinggi 1,68 kemarin adalah contoh.
Bila demikian, setiap pemain harus terus melatih dan membiasakan diri dengan aturan baru ini. Pemain sekelas Sinyo pun masih memiliki "PR" mendasar ini. Namun begitu ada hal lain yang harus dicermati oleh penyelenggara dalam hal ini BWF.
Aturan ini tidak lepas dari kekurangan. Menyertai aturan baru ini, setiap pertandingan, seorang hakim servis ditemani alat manual untuk memastikan tinggi servis seorang pemain. Di sini tidak hanya kejelian mata seorang hakim yang ditutut, tetapi juga akurasi penilaian.Â
Alasannya, seperti pernah dikemukakan Kabid Binpres PBSI, Susy Susanti, sudut pandang serta jarak alat dengan hakim servis bisa mempengaruhi penilaian benar tidaknya servis seorang pemain.
"Namun kemudian di final terkena service fault sebanyak lima kali. Saya lihat posisi servisnya sama, tingginya sama, semuanya sama, hanya beda hakim servis yang bertugas," ungkap sosok yang dijuluki pelatih Naga Api tersebut.
Lantas apa solusi terbaik? Setiap pemain dan pelatih harus terus membiasakan diri dengan aturan baru tersebut. Dalam pertandingan, tidak ada yang bisa memastikan benar atau salah selain hakim servis yang telah dilengkapi alat bantu.Â
Tekanan yang dialami bisa jadi membuat seorang pemain kehilangan kendali termasuk atas apa yang benar dan salah. Lebih dari itu, mereka tetaplah pemain dengan kodrat kemanusiawian yang tak bisa disangkal.
Segera berbenah The Minions!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H