Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Perolehan 100 Ribu Poin "The Minions" dan Sejarah Baru di All England

19 Maret 2018   02:09 Diperbarui: 19 Maret 2018   14:47 4044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tai Tzu Ying/www.allenglandbadminton.com

Banyak hal menarik terjadi di All England 2018 yang baru saja usai di Arena Birmingham, Inggris, Minggu (18/03/2018). Mulai dari serangkaian aturan baru hingga sejarah baru di turnamen yang mulai bergulir sejak 1899. 

Ganda putra Indonesia, Marcus Fernaldi Gideon dan Kevin Sanjaya Sukamuljo sukses mempertahankan gelar setelah mengalahkan pasangan kawakan asal Denmark, Mathias Boe dan Carsten Mogensen. The Minions yang menginjak final kesembilan secara beruntung akhirnya mengklaim gelar ketujuh usai menang dua game langsung 21-18, 21-17.

Boe dan Mogensen yang mengincar gelar ketiga di turnamen tertua di dunia ini berusaha mengimbangi pasangan nomor satu di dunia sejak game pertama. Kedua pasangan bermain cukup hati-hati meski sesekali nekat melancarkan serangan. Sempat was-was selalu dibayangi pasangan nomor dua dunia itu, pasangan liliput itu pun sukses mengalahkan pasangan jangkung asal Denmark.

Marcus dan Kevin akhirnya mengulangi pencapaian Ricky Subagja dan Rexy Mainaky sebagai pasangan terakhir yang mampu mempertahankan gelar All England yang diukir pada 1996 silam. 

Tidak hanya membawa pulang sedikitnya 74.000 USD atau setara Rp1 miliar, keduanya juga berhak atas 12.000 poin. Dengan demikian keduanya menjadi pasangan pertama yang memecahkan rekor poin dalam peringkat BWF untuk sektor ganda putra dengan perolehan 100.000 poin. Belum pernah ada dalam sejarah pasangan yang mampu mendulang poin sebanyak itu.

Bila keduanya mampu tampil konsisten dan terus meresapi nasehat sang pelatih, Herry IP maka, pasangan ini bakal terus menghadirkan kebanggaan. Mengutip pelatih berjuluk Naga Api itu, "Sekarang semua orang ingin mengalahkan Kevin dan Marcus. Konsentrasi dan fokus sejak awal, jangan sampai lengah, jangan remehkan lawan, dan jangan terlalu percaya diri."

Sejarah bulu tangkis Jepang

Kejutan langsung membuka partai pertama turnamen berlevel Super 1000 ini. Pertama kali dalam sejarah, Jepang menggondol gelar juara ganda campuran melalui pasangan yang semula tidak diperhitungkan, Yuta Watanabe/Arisa Higashino.

Yuta dan Arisa, masing-masing baru berusia 20 dan 21 tahun membungkam Zheng Siwei/Huang Yaqiong. Di atas kertas pasangan China lebih diunggulkan. Zheng dan Huang menjadi salah satu pasangan yang paling bersinar belakangan ini sehingga lebih difavoritkan.

Namun Yuta dan Arisa berhasil menghempaskan segala prediksi. Pasangan yang mengalahkan unggulan delapan dari China di semi final, Zhang Nan/Li Yinhui sukses mencapai klimaks. Bermain selama lebih dari satu jam, pasangan berperingkat 48 dunia pun mengunci kemenangan atas unggulan lima dengan skor akhir 15-21, 22-20, 21-16.

Jepang meraih gelar ganda campuran/www.allenglandbadminton.com
Jepang meraih gelar ganda campuran/www.allenglandbadminton.com
Kemenangan Yuta dan Arisa tidak hanya mengukir sejarah baru bagi bulu tangkis negeri Matahari Terbit, sekaligus menghempaskan dominasi China.  Sejak 2006 hingga 2017 sektor ini dikuasai China, kecuali saat dua pasangan Indonesia menjadi juara. Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir menginterupsi dengan gelar juara pada 2012 hingga 2014, lalu Praveen Jordan dan Debby Susanto pada 2016.

Hasil ini tidak lepas dari campur tangan Jeremy Gan. Pada September tahun lalu, pria berusia 39 tahun ini mundur dari Asosiasi Bulu Tangkis Malaysia (BAM). Ia sempat menangani ganda putra dan ganda campuran Malaysia. Tahun lalu ia sukses mengantar Chan Peng Soon/Goh Liu Ying ke final All England. Lolosnya Chan dan Goh menjadi sejarah tersendiri bagi ganda campuran Malaysia sejak 1955 silam. 

Sayang di partai final keduanya kandas di tangan pasangan China, Lu Kai dan Huang Yaqiong. Kegagalan tahun lalu akhirnya dibayar lunas tahun ini melalui pasangan non unggulan, Kehadiran Jeremy tentu membuat kekuatan bulu tangkis Negeri Sakura semakin merata. Selain ganda putrid an ganda putra, serta tunggal putri, kini Jepang boleh berharap kebangkitan sektor ganda campuran.

Tai Tzu Ying Pertahankan Gelar

Tai Tzu Ying menghadirkan kebanggaan bagi bulu tangkis Taiwan. Pemain nomor satu dunia ini sukses mempertahankan gelar tunggal putri usai mengalahkan Akane Yamaguchi. Tai hanya butuh 45 menit untuk menyudahi perlawanan pemain Jepang dalam dua game langsung 22-20 dan 21-13.

Kesuksesan Tai mempertahankan gelar menjadikannya sebagai pemain pertama yang yang melakukan hal ini dalam 10 tahun terakhir. Pemain pertama yang melakukannya adalah Xie Xingfang yang malah sukses mengukir hattrick dalam rentang 2005 hingga 2007.

Tai Tzu Ying/www.allenglandbadminton.com
Tai Tzu Ying/www.allenglandbadminton.com
Kemenangan Tai tidak lepas dari kerja keras dan kejeliannya memanfaatkan momentum. Pemain berusia 23 tahun ini berhasil mengekploitasi fisik Akane yang telah terkuras setelah bermain "all out" di semi final menghadapi P.V Sindhu. Tidak seperti biasanya, Akane terlihat sedikit lebih lambat. Dengan tenang Tai mendominasi permainan sejak awal. Tidak hanya itu ia mempertebal kepercayaan diri dengan mengurangi kesalahan sendiri, bahkan jarang terlihat di partai final ini.

Munculnya Tai dan para pemain lainnya menggerus dominasi China sejak beberapa tahun terakhir. Di pentas All England, Negeri Tirai Bambu sudah tidak lagi superior. Terakhir kali China menjadi juara pada 2014 melalui perang saudara antara Wang Shixian dan Li Xuerui. 

Shixian sekaligus menjadi tunggal putri China terakhir yang tampil di final pada 2016 saat dikalahkan Nozomi Okuhara. Setelah generasi Wang Yihan, Shixian dan Xuerui, China belum lagi mendapatkan penerus. Su Yu, He Bingjao hingga semi finalis All England tahun ini, Chen Yufei masih  harus berjuang keras untuk bersaing di papan atas.

Pesona Shi Yuqi

Sekalipun gagal di tunggal putri, China masih menjaga nama di sektor tunggal putra. Kali ini China mengunci gelar juara setelah terjadi final sesama rekan senegara. Pemain senior Lin Dan meladeni penerusnya Shi Yuqi. Lin Dan yang masih tampil energik berusaha mengunci gelar di pertandingan final ke-10 sepanjang kariernya. Namun Yuqi bermain agresif dan mampu mengimbangi Super Dan.

Teknik dan pertahanan tangguh Super Dan berhasil ditembus dengan smes-smes keras. Shi yang sempat mendapat perawatan usai mengalami pendarahan pada bagian lutut berhasil mendikte permainan di set ketiga. Setelah bertarung selama 1 jam dan 14 menit, Shi pun mengunci gelar juara. Skor akhir pertandingan ini 21-19, 16-21, 21-9.

Shi Yuqi dan seniornya di podium All England 2018/www.allenglandbadminton.com
Shi Yuqi dan seniornya di podium All England 2018/www.allenglandbadminton.com
Gelar ini mengobati kegagalannya usai kalah di final tahun lalu. Saat itu ia menyerah dari pemain kawakan asal Malaysia, Lee Chong Wei, yang kali ini disingirkan Super Dan di perempat final.

Tambahan gelar ini menjadikan koleksi gelar China menjadi 12 sejak 2002 silam. Hanya Malaysia yang mampu mencatatkan namanya dalam daftar negara peraih gelar juara dengan koleksi lima gelar. Pemain tunggal putra non China dan Malaysia terakhir yang menjadi juara adalah Pullela Gopichand asal India yang menjadi juara pada 2001.

Gelar dari Shi Yuqi menjadi satu-satunya yang dibawa pulang China kali ini. Selain gagal di nomor ganda campuran, kegagalan terburuk terjadi di nomor ganda putri. Untuk kali pertama China gagal mengirim wakil di final, bahkan di semi final. 

Tahun-tahun sebelumnya para pemain China cukup digdaya. Mereka bahkan menciptakan "All Chinese final" sejak 2012 hingga 2015. Selanjutnya prestasi di ajang ini mulai menurun. Setahun kemudian Yu dan Yuanting hanya menjadi finalis. Tahun 2017 pasangan China, Yixing dan Xiaohan hanya bertahan hingga semi final.

Kali ini gelar ganda putri diboyong Christinna Pedersen/Kamilla Rytter Juhl ke Denmark. Pasangan senior ini mengalahkan Yuki Fukushima/Sayaka Hirota asal Jepang. Unggulan tiga ini menang straight set 21-19 dan 21-18 sekaligus menebus kegagalan tahun lalu yang dikalahkan pasangan Korea Selatan, Chang YN/Lee SH.

Ekpresi Christinna dan Kamilla usai raih gelar All England 2018/www.allenglandbadminton.com
Ekpresi Christinna dan Kamilla usai raih gelar All England 2018/www.allenglandbadminton.com
Bagaimana Indonesia?

Nomor ganda masih menjadi andalan Indonesia untuk berprestasi di turnamen tertua di dunia ini. Statistik mencatat, sektor ganda putra sudah mempersembahkan 20 gelar. Tunggal putra mengoleksi 15 gelar, disusul tunggal putri (4 gelar) dan ganda putri yang baru mengemas dua gelar. Ganda campuran telah mengemas lima gelar, empat di antaranya dalam beberapa tahun terakhir.

Setelah pasangan ganda campuran Tontowi dan Liliyana dan Praveen Jordan dan Debby Susanto, hanya Marcus Fernaldi Gideon dan Kevin Sanjaya yang sanggup memikul beban. Ganda putra ini berhasil meraih gelar juara pada tahun lalu sekaligus mempertahankannya tahun ini.

Dari nomor-nomor lain Indonsia masih harus berjuang keras. Mendapatkan penerus Susi Susanti yang menjadi satu-satunya pemain tunggal putri Indonesia yang berjaya di All England masih butuh proses bertahun-tahun. 

Jangankan mengulangi pencapaian peraih emas Olimpiade Barcelona 1992 yang menjadi juara All England empat kali (1990-1994), bersaing hingga babak semi final saja susah bukan kepalang. Butuh kerja ekstra keras bagi Fitriani dan kawan-kawan untuk mengejar ketertinggalan dari para pemain Jepang, Taiwan, India dan Thailand.

Perjuangan tak kalah berat juga harus dilakoni sektor tunggal putra bila ingin berbicara banyak di All England. Prestasi yang diukir Anthony Ginting dan kolega setahun belakangan sudah memberikan angin segar. Namun untuk bisa naik level dan bersaing di papan atas butuh waktu dan proses yang tidak mudah. Semoga saja gelar juara Shi Yuqi menginspirasi para pemain muda Indonesia untuk setidaknya bisa mengikuti jejak Budi Santoso sebagai pemain terakhir yang tampil di final All England.

Di nomor ganda putri Greysia Polii dan Apriyani Rahayu masih harus berdamai dengan beban besar yang mereka pikul. Sejak Greysia dan Nitya "berpisah" pasangan baru ini menjadi tumpuan di ganda putri. 

Keduanya sempat membangkitkan optimisme dengan meraih gelar juara hingga menjadi finalis Indonesia Masters beberapa waktu lalu. Namun pasangan yang kini berada di lingkaran 10 besar dunia masih harus berjuang menjaga konsistensi untuk bersaing dengan pasangan-pasangan dari Jepang dan Denmark. 

Belum ada pasangan Indonesia yang naik podium tertinggi All England seperti Minarni Sudaryanto/Retno Koestijah pada 1968 dan Verawaty Fajrin/Imelda Wigoeno pada 1979. Ganda putri Indonesia terakhir yang lolos ke final adalah Eliza Nathanael/Zelin Resiana yang dikalahkan pasangan China, Ge Fei/Gu pada 1997.

Hal terakhir yang patut diangkat adalah nomor ganda campuran. Tahun ini Indonesia hanya mengirimkan wakilnya hingga babak delapan besar. Praveen Jordan dan Debby Susanto yang kembali berpasangan hanya mampu bertahan hingga perempat final, bersama Hafiz Faizal dan Gloria Emanuelle Widjaja. Menurut pelatih ganda campuran, Richard Mainaky tak menganggap hal ini sebagai kegagalan total.

"Tapi sekali lagi, All England hanya target antara dan tolak ukur buat pemain muda," ungkap Richard.

Ada dua hal yang patut dikritisi dari pernyataan sang pelatih. Pertama, siapa pemain muda yang dimaksud, pasalnya dua pasangan yang tampil cukup baik, agar tidak mengatakan gagal berprestasi, suda bukan terhitung pemain muda lagi. 

Selain Owi dan Butet, Praveen dan Debby serta Hafiz dan Gloria sudah tidak muda lagi. Sudah seharusnya usia seperti mereka sudah bisa bersaing di level atas.

Kedua, bila All England adalah target antara maka target utama adalah medali emas Asian Games 2018 di Jakarta. Sebelumnya baik Owi dan Butet juga Praveen dan Debby adalah peraih medali ajang multi event edisi sebelumnya pada 2014. Bahkan Richard mampu mempersembahkan emas Olimpiade dua tahun lalu. Namun untuk mencapai target tersebut tidak lantas mengabaikan turnamen lainnya. Bukankah turnamen-turnamen besar seperti All England juga menjadi stimulus sekaligus tolak ukur pencapaian di Asian Games nanti?

N.B

Hasil final #AllEngland 2018:

Sumber: www.tournamentsoftware.com
Sumber: www.tournamentsoftware.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun