Asuransi pada umumnya atau asuransi jiwa pada khususnya tidak selalu mendapat tempat istimewa di hati dan pikiran semua orang. Ada yang masih merasa alergi, bahkan apatis. Secara apriori, ketika ada yang menyebut kata tersebut maka pada sebagian orang pikiran negatif seketika berkelebat, lantas mengemuka dalam berbagai komentar bernada miring. Begitu juga ketika datang tawaran atau bertemu agen asuransi tidak sedikit yang menghindar. Mereka merasa tidak nyaman entah karena "image" buruk yang telah terbentuk, atau pengalaman tidak menyenangkan yang pernah dilalui.
Padahal tidak ada yang salah dengan asuransi. In se, asuransi jiwa penting adanya. Ia memainkan banyak peran. Di satu sisi, asuransi jiwa memberikan perlindungan terhadap kerugian finansial atau hilangnya pendapatan atau keluarga akibat kematian tertanggung yang menjadi sumber nafkah bagi keluarga. Tidak ada yang bisa memprediksi masa depan, apalagi kematian. Dengan asuransi jiwa potensi kerugian karena kehilangan pendapatan dan kesulitan ekonomi bisa diantisipasi. Kelangsungan hidup, jaminan pendidikan dan kesehatan anggota keluarga bisa tetap terjaga. Ibarat kata, asuransi jiwa menjadi tabungan darurat saat kondisi tak terduga terjadi.
Bila asuransi jiwa sangat berperan penting, lantas mengapa masih ada masyarakat yang merasa antipati? Di satu sisi, bisa jadi karena sikap dan pola pendekatan para agen yang kurang mengena. Karena terpaku pada target maka terkadang moto "menawarkan sehari 10 orang saja, masa tidak ada satu pun yang berminat?" diejawantahkan secara berlebihan.
Di sisi lain, masyarakat kurang teredukasi dan mendapatkan informasi secara memadai. Literasi asuransi jiwa dirasa masih kurang. Kita tidak bisa menyalahkan salah satu pihak bila masyarakat merasa apatis karena informasi yang sampai kepada mereka bersifat parsial. Sejatinya sebelum mengambil keputusan, mereka perlu mendapat informasi secara utuh dan tepat. Termasuk juga seluruh manfaat, biaya, risiko, dan tanggung jawab dalam asuransi jiwa agar mereka juga bisa mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya.
Banyak contoh tentang hal ini. Setelah berobat pasien atau keluarga pasien masih menerima tagihan. Pasien berpikir segala pengobatan telah ditanggung asuransi, namun ternyata tidak demikian. Bisa jadi telah terjadi kesalahpahaman, bisa juga informasi yang sampai ke pihak mereka belum komprehensif
Dalam situasi seperti ini ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, pola pendekatan yang lebih sesuai dari para agen asuransi. Bila sebelumnya lebih menyasar pada target, maka yang harus diutamakan adalah pelayanan dan kepercayaan untuk memenuhi kebutuhan nasabah. Asuransi perlu mempekerjakan agen yang profesional dan berkualitas. Artinya, termasuk memiliki rasa empati terhadap calon konsumen. Dengan pendekatan persuasif yang baik, maka calon pelanggan tidak merasa dipaksa dan merasa semata-mata menjadi target buruan.
Kedua, melakukan terobosan seiring kemajuan jaman. Perkembangan teknologi digital sudah berkembang sedemikian cepat. Mengutip data We Are Social dan Hootsuite (2017) tentang "Digital in 2017: Southeast Asia" dari sekitar 262 juta penduduk Indonesia, sebanyak 50 persen atau sekitar 132,7 juta adalah pengguna internet. Sebanyak 106 juta jiwa merupakan pengguna aktif media sosial, dan 92 juta jiwa merupakan pengguna aktif media sosial melalui aplikasi mobile.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Hendrisman Rahim, fenomena tersebut tidak bisa disikapi oleh industry dengan reaktif. Teknologi tidak hanya mengubah perilaku individu, tetapi lanjut Hendrisman, juga mengubah perilaku pelaku bisnis dalam menjalankan bisnisnya.
Hal itu dikatakan Hendrisman saat membuka kegiatan Digital and Risk Management in Insurance (DRiM), di Rumah AAJI, Jakarta, Rabu, 24 Januari 2018 lalu. Menurutnya, sudah saatnya para pelaku industri asuransi jiwa menyelaraskan diri dengan kemajuan tersebut.