Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Jejak Air Mata Apriyani Rahayu yang Tertinggal di Thailand

6 Juni 2017   22:12 Diperbarui: 8 Juni 2017   14:32 4108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Apriyani Rahayu mendapat pelukan dari Greysia Polii usai memastikan gelar Thailand GPG 2017/@AntoAgustian

Berbadan gempal dengan tinggi hanya 164 cm, Apriyani Rahayu mampu mencuri perhatian di turnamen bulu tangkis level Grand Prix Gold yang baru saja berakhir di Bangkok, Thailand akhir pekan lalu. Berpasangan dengan Greysia Polii mereka sukses membungkam harapan tuan rumah Chayanit Chaladchalam/Phataimas Muenwong di partai final. Kemenangan straight setdengan skor cantik, 21-12 dan 21-12 itu menjadi kado manis di tur perdana mereka.

Apriyani belum lama bertandem dengan Greysia, yang jauh lebih senior baik dalam pengalaman maupun usia. Keduanya diorbit oleh pelatih ganda campuran utama Eng Hian sejak sebelum berangkat ke Gold Coast, Australia, tempat kejuaraan beregu campuran dua tahunan, Piala Sudirman, dihelat.

Sebelum berangkat ke Negeri Kanguru Eng mencoba keduanya saat laga simulasi di Pelatnas Cipayung. Menghadapi pasangan lama Della Destiara Haris/Rosyita Eka Putri Sari, pasangan berbeda generasi ini masih belum mampu menunjukkan hasil terbaik. Mereka menyerah dua game langsung, 16-21 dan 16-21.

Masih adanya pekerjaan rumah yang harus dibenahi Greysia/Apriyani, membuat tim pelatih Indonesia lebih yakin menurunkan Della/Rosyita saat menghadapi India di laga pembuka Piala Sudirman. Della/Rosyita bertemu Ashwini Ponnappa/Sikky Reddy kemudian kalah 12-21 19-21. Hasil negatif Della/Rosyita melengkapi kekalahan empat wakil lainnya. Indonesia dipukul India 1-4.

Menghadapi laga “hidup-mati” kontra Denmark, tim pelatih lantas memberi kepercayaan kepada Greysia/Apriyani. Keduanya turun di partai terakhir yang amat menentukan. Meski akhirnya Indonesia gagal keluar dari lubang jarum, setidaknya pasangan yang berbeda usia 11 tahun ini mampu membuat pasangan nomor dua dunia, Kamilla Rytter Juhl/Christinna Pedersen, bekerja keras tiga game. Greysia/Apriani menyerah dengan skor akhir 18-21, 21-13, 13-21.

Kemenangan satu set atas pasangan senior Denmark itu cukup memberi sinyal bagus. Beberapa waktu kemudian mereka buktikan di Thailand. 

Loncatan besar

Hasil baik ini tentu tidak lepas dari kontribusi Greysia. Sebagai pemain paling senior di Pelatnas PBSI, Greysia menjadi mentor sekaligus motivator bagi Apri. Di laga final misalnya, Apri memulai dengan was-was. Pemain berusia 19 tahun itu cukup tegang menghadapi final pertamanya. Greysia kemudian menyuntikan kepercayaan diri dan semangat kepada juniornya itu. Hanya dalam 45 menit keduanya menggapai klimaks.

Meski begitu kualitas diri Apri pun patut diberi apresiasi. Ia mampu membangun dengan baik jembatan untuk menyambung jarak usia dan pengalaman yang jauh dengan Greysia. Tidak mudah bagi seorang pemain muda bisa berdiri sejajar dengan pemain senior. Mengimbangi Greysia, Apriani mempertontonkan kegigihan dan semangat pantang menyerah yang berpadu dengan skill mumpuni.

Apri sebenarnya mengalami loncatan besar dalam kariernya. Ia belum lama menghuni Pelatnas, seiring promosi dan degradasi yang dilakukan tak lama setelah pengurus baru PP PBSI terbentuk di awal tahun. Bersama 11 pemain putri lainnya ia langsung ditempatkan di gerbong ganda putri utama bersama Greysia Polii, Nitya Krishinda Maheswari, Della Destiara Harris, Rosyita Eka Putri Sari, Anggia Shitta Aanda, Ni Ketut Mahadewi istiriani, Rizki Amelia Pradipta, Tiara Rosalia Nuraidah, Meirisa Cindy Sahputri, Nisak Puji Lestari, dan Yulfira Barkah.

Sementara Jauza Fadhila Sugiarto yang telah bersamanya sejak beberapa tahun sebelumnya menghuni bagian pratama bersama Tania Octaviani Kusumah, Vania Arianti Sukoco, Serena Kani, Ribka Sugiarto, Febriana Dwipuji Kusuma, Phita Haningtyas Mentari, Virni Putri Jafar, Agatha Imanuela, dan Rahmadhani Hastiyanti Putri.

Apriyani dan Jauza sudah dua kali dipanggil ke Pelatnas pada 2014 dan 2015. Saat itu mereka masih membela klub Pelita Bakrie, sebelum berpindah ke Jaya Raya Jakarta pada pertengahan 2015. Bersama Jauza keduanya mencatatkan prestasi mentereng di level junior di antaranya juara Singapore International 2015 dan juara Indonesia International Series 2016.

Sebelum berlaga di Piala Sudirman Apri  sudah dipercaya tampil di kejuaraan level super series premier yang dihelat di Birmingham, Inggris. Di turnamen All England itu, Apri berpasangan dengan Anggia Shitta Awanda, pasangan Ni Ketut Mahadewi Istirani sebelumnya.  Bermain di dua ajang prestisius itu menunjukkan kualitas Apri sebagai pemain masa depan.

Jejak air mata

Namun wilayah Lawulo tidak asing sama sekali dengan bulu tangkis. Nyaris di setiap halaman rumah warga terdapat lapangan bulu tangkis, potret yang mudah kita temui di wilayah lain di nusantara. Ani, begitu sapaan manis anak bungsu dari empat bersaudara ini, pun berkenalan dengan bulu tangkis sejak usia 3 tahun.

Bermodalkan raket milik sang ayah yang dibeli di Makassar pada 1983, Ia mulai berlatih. Ayah dan ibunya yang setia menemani sang putri mulai melihat keseriusan dalam diri sang anak. Waktu itu Ani baru akan masuk Sekolah Dasar, demi Ani  ayahnya pun meratakan pekarangan belakang rumah untuk dijadikan lapangan.

Saat usia 7 tahun Ani mulai mengikuti kejuaraan tingkat kecamatan. Setahun berselang, 2006 tepatnya, ia berlaga di tingkat daerah sekaligus seleksi nasional. Hanya mendapat juara dua, Ani gagal dipromosi ke tingkat nasional. Ia kecewa dan menangis. Tetapi semangatnya semakin menjadi-jadi.

Didesak sang anak, Ameruddin pun mencarikan pelatih bulu tangkis dari Kendari. Demi Ani, ayahnya rela menjual motor yang sehari-hari biasa dipakai untuk mengantarnya ke tempat latihan. Tak sampai di situ. Demi mengirimkan sang anak ke sejumlah kejuaraan, Ameruddin rela berhutang.

 “Waktu itu dia sudah sering ikut kejuaraan dan selalu juara. Tapi, karena motor sudah dijual, hanya dua caranya pergi latihan, dia menunggu depan rumah kalau ada motor lewat dia menumpang. Tapi kalau tidak ada, dia lari sampai SKB, jaraknya sekitat 9 kilometer. Dia tidak mengeluh juga. Kan dia juga tomboi, dan kakaknya ikut taekwondo semua dia itu latihan keras seperti laki-laki,” kenang Ameruddin seperti dilansir Kendaripos.fajar.co.id.

Ayah Apriyani Rahayu, Ameruddin memperlihatkan hasil prestasi sang anak/Cr 1/Zonasultra.com
Ayah Apriyani Rahayu, Ameruddin memperlihatkan hasil prestasi sang anak/Cr 1/Zonasultra.com
Tahun 2011, saat duduk di kelas 3 SMP, pertolongan yang dinanti datang. Icuk Sugiarto datang bertandang ke rumahnya. Legenda bulu tangkis Indonesia itu berniat membawa Ani ke Jakarta, berlatih di klub binaannya, Pelita Jaya. Diiringi derai tangis sang ibu, Ani pun diizinkan berangkat.

Petualangan Ani pun berlanjut di ibu kota. Sejak akhir 2011 ia ditempa oleh Icuk di klub yang telah melahirkan sederet juara, sebelum menyebrang ke Jaya Raya pada medio empat tahun kemudian. Sesekali ia pulang ke Konawe untuk mengobati rasa rindu pada keluarga.

Dari jauh keluarga menyaksikan Ani berkembang. Sejak di level junior senyum bangga keluarga sudah mengembang. Selain di turnamen level international series, Ani juga sanggup bersaing di Kejuaraan Dunia Junior pada 2014. Berpasangan dengan Rosyita Eka Putri mereka membawa pulang medali perak. Di final keduanya menyerah dari pasangan China yang kini telah menembus jajaran elit dunia, Chen Qingchen/ Jia Yifan.

Ani terlihat sangat emosional di final Thailand GPG. Pemain yang pernah berpasangan dengan Agripinna Prima di ganda campuran ini langsung sujud syukur dan terisak saat memastikan gelar juara.

Rasa haru, tentu saja. Tangis bahagia atas prestasi yang bisa membahagiakan banyak orang. Ketika ditanya kepada siapa gelar tersebut dipersembahkan, dengan mantap ia menyebut Sitti Jauhar, sang ibu yang telah berpulang pada 2015 lalu.

Kabar duka itu datang saat Ani sedang mengikuti Kejuaraan Dunia Junior di Lima, Peru. Ia baru bisa kembali tujuh hari setelah kepergian ibunya. Semoga jejak air mata yang tertinggal di Thailand berpelukan dengan doa sang ibu dari keabadian mendorong Ani terus berprestasi sampai jauh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun