Kami juara karena kami berbeda
Saya adalah warga negara Indonesia yang cinta NKRI
Dengan keringat dan air mata kami berbakti
Tidak terhitung kami berjuang mengharumkan negeri
Kami bersenjatakan raket dan keteguhan hati
Piala Thomas adalah bukti
Saat membaca sendiri puisi ciptaannya di atas Haryanto Arbi tercekat. Ia tak kuasa menahan air matanya. Sang empunya Smash 100 watt itu menangis. Keharuan itu mengemuka saat Hari, begitu pria asal Kudus, Jawa Tengah itu disapa, berkumpul bersama Komunitas Bulu Tangkis Indonesia (KBI) yang turut dibidaninya di Hotel Santika, Jakarta, Kamis (1/6/2017) petang WIB.
Bersama para mantan atlet bulu tangkis yang pernah mengharumkan Merah Putih mereka menegaskan kembali komitmen terhadap NKRI, negara kesatuan yang telah mereka bela bertahun-tahun dengan keringat dan air mata. Gelora tersebut dipekikan kembali saat bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila, saban 1 Juni.
Hadir saat itu ketua KBI sekaligus salah satu legenda hidup yang masih bertenaga meski sudah berusia 79 tahun. Dia adalah Tan Joe Hok alias Hendra Kartanegara, pebulutangkis Indonesia pertama yang mempersembahkan gelar All England 1959 dan medali emas Asian Games 1962.
Selain Om Tan, sapaan akrab pria kelahiran Bandung 11 Agustus itu, hadir pula Rudi Hartono, Liem Swe King, Rudy Heryanto, Imelda Wigoena, Eddy Hartono, Ivana Lie, Rosiana Tendean, Susy Susanti, Alan Budi Kusuma, Ricky Soebagja, Chandra Wijaya, Taufik Hidayat, Marlev Mainaky, Elysa Natanael, Rosiana Tendean, dan Mary Herlim.
Kehadiran mantan atlet lintas generasi itu di satu sisi menggambarkan nasionalisme yang tak jua luntur. Seperti kita yang mencintai NKRI, Hari dan para mantan itu jelas prihatin dengan situasi bangsa saat ini. Suara mereka terwakili dalam kata-kata Om Tan saat membuka acara tersebut. "Kami mencermati adanya upaya dari sejumlah pihak untuk memecah belah negara dan bangsa Indonesia menggunakan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Di sisi lain mereka telah menjadi contoh bahwa serba perbedaan di antara mereka tak jadi soal untuk meraih prestasi. Persis seperti judul puisi Hari “Kami Juara karena Kami Berbeda.” Mereka adalah saksi sejarah bagaimana unsur-unsur primordial itu melebur dalam rasa senasib dan sepenanggungan untuk meletakkan kepentingan bangsa di atas segalanya.
Tangisan Hari saat membaca puisi sebenarnya adalah letupan haru saat mengingat kisah 19 tahun silam. Saat itu amuk dan amarah sedang menjadi-jadi di ibu kota. Tragedi yang kemudian kita kenal sebagai kerusuhan Mei 1998 itu. Saat peristiwa berdarah itu mengemuka Hariyanto dan kawan-kawan sedang berjuang di turnamen Piala Thomas di Hong Kong.
Dalam skuad Piala Thomas itu ada Rexy dan Marlev Mainaky, Ricky Seobagdja, Sigit Budiarto, Candra dan Indra Wijaya, Hendrawan, Tony Gunawan dan Joko Suprianto. Seperti diutaraan Hari, kondisi kejiwaan mereka saat itu tidak menentu. Mereka mencemasan sanak saudara dan keluarga, juga bangsa Indonesia.
Hari menggambarkan suasana hati haru biru itu dalam sajaknya demikian:
...
Kami bertarung saat bumi pertiwi bersusah hati
Kerusuhan SARA membara dan membakar Jakarta
Kami berlaga di mancanegara dengan hati duka
Duka lara nestapa sekaligus kecewa
Konsentrasi kami terbagi tak tahu nasib keluarga dan sanak saudara
Di mancanegara kami terus ditanya 'kuli tinta'
mengapa kami tetap setia membela lambang garuda di dada?
Mengapa kami mau tampil habis-habisan menjaga tegaknya Indonesia?
Ya, kenapa semangat dan cinta kami tidak sirna
Perasaan yang tak menentu itu berhasil diatasi. Mereka sukses mengalahkan Malaysia di partai final dengan skor 3-2 sekaligus kembali membawa Piala Thomas ke tanah air. Prestasi itu adalah buah pengorbanan dan perjuangan mengatasi segala kendala. Juga terjadi berkat persatuan melampaui segala perbedaan. Hari asal Kudus, Rexy dan Marlev dari Ternate, Ricky asal Bandung, Sigit dari Yogyakarta, Candra dan Indra kelahiran Cirebon, Hendrawan asal Malang, Tony dari Surabaya serta Joko dari Solo bersatu demi dan atas nama Indonesia. Begini bahasa puitis Hari:
...
Tetapi, demi berkibarnya merah putih kami tetap bertarung bak singa
Tim bulu tangkis Indonesia memang berbeda-beda dan berwarna
Kami berasal dari suku, agama dan budaya dan strata yang tidak sama
Perbedaan tak membuat kami menjadi lemah dan tak berdaya
Tetapi ,dengan kompak dan bersatu Indonesia jauh lebih perkasa
“Kemenangan itu kami dedikasikan sebagai perekat bangsa yang tengah terpecah dan terkoyak. Itulah persembahan terbaik para pebulutangkis untuk Indonesia," tegas Hari yang juga mempersembahkan gelar All England 1993, 1994, dan gelar Juara Dunia 1995 di Lausanne, Swiss itu.
Tim Piala Thomas 1998 adalah salah satu contoh. Contoh lain masih bisa diangkat seperti Ricky dan Rexy, mantan pasangan ganda putra kawakan sarat prestasi. Keduanya berasal dari suku, agama, ras dan golongan berbeda tetapi mampu bertahan selama 11 tahun. Persatuan yang mengatasi anasir primordial itu telah berbuah banyak gelar seperti juara dunia 1995 hingga medali emas Olimpiade Atalanta 1996.
Semua itu niscaya terjadi, sekali lagi, karena persatuan yang didasari penghayatan yang seutuhnya atas ideologi dan falsafah negara. Seperti kata Hari lagi:
Kami semua berbeda
tapi justru itu lah yang menyatukan
dan menjadi modal kami untuk menjadi juara
Melihat bagaimana para mantan pebulutangkis bersatu memaklumkan rasa cinta pada Merah Putih membuat sisi melankoli siapa pun pasti mencair. Kompak mengenakan kaos merah dan putih dengan tulisan besar di dada “Gue Indonesia” tidak hanya sekadar atribut tetapi telah menjadi nilai yang telah mereka buktikan selama ini.
Selain sepak bola, bulu tangkis adalah olahraga yang sangat merakyat di Indonesia. Saking dekatnya dengan keseharian masyarakat menjangkau hingga pelosok-pelosok negeri. Bulu tangkis tidak hanya menjadi olahraga tetapi juga hiburan. Sebuah perpaduan yang telah mewujud dengan begitu indah.
Tetapi keindahan itu perlahan-lahan memudar seiring prestasi bulu tangkis kita yang meredup. Para pebulutangkis yang berkumpul itu adalah bagian dari sejarah kejayaan bulu tangkis Indonesia di masa lalu. Tidak ada alasan yang cukup untuk merasa terhibur dengan prestasi bulu tangkis hari ini.
Namun kita tetap punya alasan lain untuk berbangga. Bulu tangkis masih menjadi harapan untuk memantik nasionalisme, membakar harapan akan persatuan dalam perbedaan, untuk menggapai kejayaan yang hilang. Harapan itu kita sematkan kepada KBI yang bersatu hari ini agar roh persatuan itu dialirkan kepada para penerus yang saat ini sedang berjuang meniti prestasi.
Segala prestasi dan pengalaman mereka di masa lalu sekiranya dicurahkan untuk turut serta membangun kembali kejayaan bulu tangkis Indonesia. Bulu tangkis Indonesia sedang membutuhkan sentuhan perubahan. Perubahan yang tidak bisa datang dari dan mengandalkan perjuangan segelintir orang saja.
Semoga seruan Opa Tan, yang bersama Ferry Sonneville, Lie Poo Djian, Tan King Gwan, Njoo Kim Bie, Eddy Jusuf, dan Olich Solihin yang pertama kali merebut Piala Thomas pada 1958, benar-benar terwujud. "Kami memang tidak lagi nomor satu dalam bidang olahraga. Tapi, kami akan terus berusaha untuk mengembalikan kejayaan bulu tangkis Indonesia.”
Sekali lagi, kejayaan itu mustahil tercapai, bila kita melupakan hakikat dan jati diri kita. Kita memang terlahir berbeda dan tidak bisa disamakan. Kita hanya perlu bersatu untuk menjadi juara. Seperti kesimpulan puitik Hariyanto Arbi, “Kita berjaya karena Pancasila/ Kita kuat karena Bhinneka Tunggal Ika//.
#SayaIndonesiaSayaPancasila #NKRIHargaMati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H