Bagi pasangan yang baru dipasangkan, menunaikan syarat itu sungguh luar biasa berat. Apalagi lawan yang dihadapi adalah pasangan kaya pengalaman yang kini berada di rangking dua dunia, Kamilla Rytter Juhl/Christinna Pedersen. Sementara Indonesia mencoba peruntungan dengan memasangkan Greysia Polii dan pendatang baru, Apriani Rahayu.
Saat kehilangan game pertama, sejarah negatif bagi Indonesia terukir. Kemenangan di game kedua tidak lebih dari sebentuk penghiburan. Pertandingan berdurasi 70 menit yang berakhir dengan skor 21-18, 13-21 dan 21-13 untuk pasangan Denmark semakin menampar wajah Indonesia. Denmark pun lolos sebagai juara grup, didampingi India dari grup D.
Garuda yang semula datang dengan harapan akan terbang tinggi justru bernasib malang. Penantian panjang sejak pertama dan terakhir kali juara pada 1989 masih terus berlanjut. Menyisahkan lara di edisi ke-15.
Tanda tanya besar kita hadapi kini. Apa yang akan terjadi dengan bulu tangkis Indonesia selanjutnya? Apa yang akan dilakukan PP PBSI setelah hasil buruk ini? Di saat Thailand dan Malaysia menegakkan kepala ke babak selanjutnya, kita justru terpekur.
Kita merenungi kekhilafan, bila tidak ingin dikatakan “dosa” masa lalu yang mengorbankan regenerasi karena terlalu mengkultuskan sosok-sosok tertentu. Dalam keterbatasan bibit pemain, begitu salah satu dalih yang mengemuka, kita justru gagal bekerja cepat untuk menyambung jurang regenerasi dengan jembatan terobosan.
Di saat negara-negara lain mulai unjuk gigi, dan terus melaju di barisan depan dengan pendekatan mutakhir, kita masih sibuk berkutat dengan hal-hal dasariah seperti sistem dan pola pembinaan. Bahkan hingga kini susunan tim pelatih belum juga utuh.
Kita masih mengandalkan Cipayung sebagai kawah candradimuka dan kiblat utama, yang membuat kita bisa terjebak dalam sentralisme pembinaan. Padahalan dengan sumber daya manusia memadai yang tersebar di santero nusantara memaksimalkan pembinaan di level klub dan aspek pemerataan juga penting dibuat.
Saya tidak terlalu yakin bahwa panggilan menjadi pebulutangkis berkurang. Siapa tidak tergoda melihat jaminan hidup atlet saat ini yang semakin menjanjikan. Bergelimang bonus, hadiah, sponsor, hingga jaminan pensiun. Kekaraban pada cabang tepok bulu yang sudah mengalir dalam nadi seluruh penduduk negeri dari generasi ke generasi tidak akan hilang lenyap begitu saja.
Penghiburan Susy Susanti, manajer tim Indonesia sekaligus Ketua Bidang Pembinaan dan Prestasi ada benarnya. Kita harus tetap berpikir positif betapapun menyakitkan hasil ini. "Dengan situasi perbulutangkisan kita saat ini, dimana kita hanya bisa berprestasi di sektor tertentu, justru ini memacu untuk kita, saya dan tim, memacu atlet-atlet bahwa kita memang butuh kerja keras. Bukan kita terpuruk dengan satu kegagalan, tetapi harus membuat kita lebih kuat, lebih berani dan menjadikan kegagalan ini sebagai jembatan untuk mencapai prestasi yang kita inginkan.”
Susy sejatinya hendak mengatakan bahwa kegagalan kali ini adalah kemenangan yang tertunda. Namun ia juga sepatutnya sadar bahwa kemenangan itu akan terus tertunda selama kita tidak benar-benar memperbaiki diri. Seperti sekarang dan entah sampai kapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H