Membicarakan kesahihan Kartini sebagai pahlawan nasional pun sudah menjadi tidak relevan lagi. Klise. Bila masih ada yang mau berdebat setidaknya karena rasa tidak puas terhadap standar kepahlawanan seseorang. Apakah Kartini pantas disebut sebagai pahlawan yang hanya mengandalkan surat dan korespondensi? Bahkan ada yang mencapnya miring di antaranya sebagai “pahlawan yang dibesarkan Belanda” serta sosok yang tidak konsisten karena menentang poligami sementara ia kemudian menikah dengan Bupati Rembang yang sudah beristri tiga (Tempo,16 April 2017, hal.57).
Di balik perjungan fisik sekali pun terkandung semangat dan pemikiran yang nilainya melintasi ruang dan waktu. Di balik perjuangan para pahlawan kemerdekaan misalnya ada hal penting lain dalam rupa pemikiran yang menggerakkan mereka. Ada nilai, semangat dan alasan yang terpatri dalam hati sanubari dan akal mereka.
Pada titik inilah Hanung angkat bicara melalui Kartini-nya. Ia berbeda dengan Kartini versi Sjumandjadja (R.A. Kartini, 1984) dan Azhar Kinoi Lubis (Surat Cinta untuk Kartini, 2016). Sjuman membicarakan Kartini lebih detail dan menyeluruh. Sementara Hanung lebih menekankan pada perjuangan Kartini mengedepankan pendidian dan kritik terhadap pengekangan, poligami dan perkawinan yang diatur.
Sebelum masuk ke persoalan dan pergulatan Hanung lebih dulu membangun dasar dan alasan yang ditemukan sejak Kartini kecil. Hanung mengungkapkannya keada Tempo,“Bagi saya, harus ada alasan cukup kuat kenapa Kartini melawan. Jawaban ini tidak saya temukan di film Sjuman. Di film saya, saya pertebal alasan itu. Dimulai dari umur 4 tahun dia tidak boleh tidur dengan ibunya karena ibunya bukan bangsawan...saya mulai dari situ. Barulah kemudian bergerak maju tentang pergulatan pemikiran dia.”
Persoalan yang dialami Kartini lebih pada lingkup hidup terdekat, ruang pergaulan sehari-hari. Hanung melihat antagonisme tidak pada pihak luar atau asing, tetapi pada orang-orang di sekitarnya. Memang musuh terbesar dan terberat yang harus ditumpas biasanya datang dari kalangan terdekat.
Menyaksikan Kartini teranyar ini kita tidak hanya diantar pada sisi lain Kartini yang kadang luput dari perhatian, juga mengantar kita untuk melihat Kartini melampaui surat-surat yang kerap memerangkap kita saat melihat Kartini dan kepahlawanannya. Kartini seperti kata Hanung adalah pejuang pemikiran yang ide-ide dan gagasan emansipasi dan perjuangan melawan ketidakadilan itu tetap aktual hingga kini.
Saat kita menyaksikan Kartini diputar secara luas semoga kita tidak jatuh terperangkap pada wajah ayu dan seribu satu tanya tentang perubahan pada Dian Sastro. Mengagumi kecantikan, atau protes pada perubahan fisik Dian boleh saja. Sekiranya kita pun terpantik untuk menangkap pemikiran Kartini yang coba disampaikan Hanung melalui Dian Sastro dan para pemerannya.
Sayang bila proyek besar bertabur nama besar (di samping Deddy Sutomo dan Denny Sumargo) tentang tokoh besar yang diperingati saban tahun yang telah menghabiskan banyak energi dan sumber daya hanya berakhir dengan komentar murahan.
PR besar kita adalah menjawab dengan aksi nyata pemikiran Kartini dalam konteks hidup saat ini. Apakah kaum perempuan sudah terjaga dari tidur panjang domestifikasi dan berdaya menghadapi segala bentuk diskriminasi dan ekploitasi? Siti Aisyah yang diperdaya Korea Utara untuk membunuh kakak tiri Kim Jong-un, pemimpin negara di Asia Timur itu menjadi contoh mutakhir betapa mudahnya perempuan dikibuli. Belum lagi rantai human trafficking dan prostitusi yang masih memanjang.
Tentu tak kalah penting menyorot sisi lain perempuan. Tidak semua perempuan mendekam dalam lembah kekelaman. Tidak sedikit perempuan hebat mengisi berbagai ruang hidup kita. Bahkan mereka mampu menjadi lebih hebat dari kaum pria. Tetapi tidak sedikit akhirnya jatuh dalam praktik purbawi sebagaimana yang dilakukan kaum pria. Dengan segala pengaruh yang dimiliki mereka tergoda aneka praktik tak terpuji seperti korupsi dan suap yang jelas-jelas mencederai perjuangan Kartini.
Wanita Jepara itu tidak hanya ingin membongkar praktik ketidakadilan tetapi juga menolak tunduk pada godaan untuk berlaku tidak adil pula. Menolak ketidakadilan sekaligus bertindak adil adalah dua sisi yang tak terpisahkan. Ibaratnya seperti prinsip “golden rule” atau aturan emas yang diajarkan hampir dalam semua budaya dan agama: apa yang kita tidak ingin orang lain lakukan kepada kita, jangan lakukan itu kepada orang lain.