Cantik, begitu juga tampan, itu relatif. Begitu pandangan para relativis terhadap rupa manusia dengan nilai ketampanan dan kecantikan berbeda-beda seturut selera setiap orang. Tetapi berhadapan dengan Dian Sastrowardoyo lelaki dengan pandangan relatif paling ekstrem sekalipun pasti akan goyah. Setidaknya, mereka tidak akan menyangkal kecantikannya. Termasuk di usianya yang sekarang, 35 tahun.
Ketika memerankan Kartini, film terbaru sekaligus bertema perempuan pertama dari Hanung Bramantyo, ibu dua anak ini belum juga kehilangan pesonanya.Tidak hanya rupa, tetapi lebih dari itu kualitas actingnya. Tidak mudah memang bagi Dian untuk memerankan sosok wanita Jepara lengkap dengan segala atributnya. Memerankan Kartini versi Hanung yang benar-benar mengekplorasi sisi lain Kartini sebagai Trinil, si burung kecil yang lincah dan bersuara nyaring itu. Gadis kecil yang riang, lincah dan bandel yang membungkus seluruh pergolakan dan pemberontakannya terhadap feodalisme.
Dian harus menonjol, untuk mengatakan menjadi lebih di hadapan kedua adiknya, Kardinah (diperankan oleh Ayushita Nugraha) dan Roekmini (Acha Septriasa). Ketiga wanita yang dijuluki Trio Daun Semanggi ini berlomba-lomba mencuri perhatian dengan keusilan dan kejenakaan mereka. Kocak dan konyol dalam tingkah adalah cara mereka menertawakan budaya priyai dan melawan penjara pingitan.
Pada salah satu bagian kita mendapati Dian yang tomboy, nekat memanjat tangga untuk duduk di atas tembok pembatas rumah. Kedua adik perempuannya pun tanpa rasa bersalah mengikuti sang kakak. Di sisi lain, ia tak segan menyingkap kainnya sedikit lebih tinggi saat berlari menantang ombak.
Di sini kita mendapatkan Dian yang menjadi jauh lebih muda dari usia biologisnya (atau Hanung yang menaikkan usia Kartini dalam filmnya?) Selain menyesuaikan diri dengan masa kecil dan remaja Kartini yang nyeleneh,Ia juga harus menunjukkan diri sesempurna mungkin dengan adat Jawa yang lekat dengan kain dan sanggul.
Belum lagi cara bicara, berjalan dan berinteraksi yang berbeda. Ia harus menahan segala emosi pemberontakkan di balik laku halus dan sopan santun. Tunduk patuh saat berkomunikasi, apalagi dengan kaum pria bangsawan lainnya. Dalam bahasa Jawa dan Belanda ia berkomunikasi. Meski sarat tantangan semua itu berhasil ditunaikan. Ia terlihat tanpa cela.
Dian cukup berhasil mendalami karakter Kartini. Setidaknya Hanung berhasil membuktikan bahwa pilihannya pada Dian tidak meleset dengan segala konsep dan karakter yang diharapkan. Menyaksikan Kartini kita seperti melihat Kartini yang ingin diperlihatkan Hanung. Bukan lagi Dian yang sehari-hari, atau Dian yang menjadi Cinta dalam “Ada Apa dengan Cinta?” yang lebih dulu memasyurkan namanya.
Perjuangan pemikiran
Terlalu fokus pada Dian bisa-bisa membuat para pemeran lain seperti tak berarti. Padahal film ini menjadi utuh berkat sumbangsih para pemeran lainnya. Hanung benar-benar total membuat Kartini. Seperti proyek biopik sebelumnya yakni Soekarno dan Rudy Habibie, di film ini ia melibatkan para aktor beken seperti Reza Rahadian yang berperan sebagai si jenius Sosrokartono, kakak Kartini dan Christine Hakim yang menjadi Ngasirah.
Kesenioran dan kematangan Christine membuatnya mampu berperan apik sebagai ibu kandung Kartini yang “ditendang” karena bukan dari kalangan bangsawan. Dengan bahasa Jawa yang fasih dan sangat menguasai peran, Christine memancing Dian untuk mengeluarkan emosinya sebagai anak yang memberontak terhadap ketidakadilan yang diterima ibu kandungnya. Semua mereka itu menjadi satu kesatuan yang membuat Dian bisa menjadi Kartini dan Kartini menjadi Kartini yang utuh.
Pertanyaan kini, apa yang membuat Kartini versi Hanung menarik? Tidak cukup dan terlalu sempit bila mengukurnya dari para pemeran seperti Dian yang jago berperan sekalipun. Toh mereka adalah medium pemberi pesan kepada para penonton.
Sepanjang sejarah tema tentang wanita Jepara yang menjadi simbol perjuangan kaum wanita melawan ketimpangan ini sudah terlalu sering dibicarakan dan diangkat ke layar lebar. Statusnya sebagai seorang pahlawan nasional tidak bisa tidak membuatnya selalu disebut dan dijadikan rujukan saat berbicara tentang perjuangan kaum perempuan dan gerakan feminisme.