Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Maukah Kau Jadi "Ibu"? (Tentang Tangsel di Selembar Batik)

9 April 2017   20:08 Diperbarui: 10 April 2017   06:00 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Ketapels, Pak Rifki bersama putrinya memamerkan hasil membatik. Tentu setelah melewati beberapa proses mulai dari penggambaran motif hingga pewarnaan/ Foto: Dzulfikar Alala

Berdasarkan domisili saya adalah bagian dari wilayah Tangerang Selatan. Sempat saya bertanya diri, apa keistimewaan wilayah seluas kurang lebih 147.19 km2ini? Dengan kata lain, adakah sesuatu yang dibanggakan selain menjadi wilayah satelit dari Jakarta, kota terbesar kedua di Provinsi Banten dan terbesar kelima di Jabodetabek?

Kebanggaan itu memang relatif. Yang saya maksudkan di sini adalah sesuatu yang menjadi kekhasan yang tidak ditemukan di tempat lain. Di satu sisi memang terdengar ironis bila saya sendiri tak bisa mendapatkan sesuatu yang membuat saya merasa bangga dengan kota tempat saya melabuhkan hidup. Bisa saja ini menjadi kesalahan saya yang tidak mau mencari tahu atau sengaja tak mau tahu.  Betapa terkutuknya saya sebagai seorang warga!

Tetapi bisa jadi karena memang tidak ada sesuatu yang patut dibanggakan. Apakah jawaban yang sama akan diperoleh dari  warga Tangsel atau penduduk dari daerah lain?

Dalam hal ini saya berutang budi pada Kompasianer Tangsel Plus (Ketapels), komunitas yang sejatinya menangkup saya, tetapi baru beberapa bulan terakhir mencatatkan saya sebagai salah satu anggotanya. Talkshow bertajuk “Saatnya Batik Etnik Tangsel Memegang Kendali Menuju Go Internasional” pada Sabtu, 25 Maret lalu adalah acara Ketapels perdana yang saya ikuti. Tetapi acara sejak pagi hingga lewat tengah hari itu membuka wawasan dan memantik kesadaran saya sebagai warga Tangsel.

Betapa tidak, acara yang disponsori Danamon dan Kompasiana itu membelalakkan mata akan kekayaan Tangsel yang selama ini luput dari perhatian saya. Dalam diamnya, untuk mengatakan jauh dari hingar bingar pemberitaan yang sampai ke telinga saya, Dra Nelty Fariza Kusmilianti telah menggaungkan Tangsel ke mana-mana.  Bahkan hingga jauh ke mancanegara sejak 2004 silam.

Myrza Adiyatma dari Danamon dan Leonita Julian, lifestyle blogger/foto: Dzulfikar Alala
Myrza Adiyatma dari Danamon dan Leonita Julian, lifestyle blogger/foto: Dzulfikar Alala
Bukti kerja Bu Nelty, demikian disapa, tidak banyak terlihat di gerai usahanya di bilangan Pondok Aren, Tangerang Selatan. Galeri sekaligus brand, Sekar Purnama, itu belum lama ditempati dan sedang dalam proses penataan untuk menggantikan tempat sebelumnya.

Selain ruang depan yang dipakai untuk acara separuh hari itu, di bagian tengah terdapat ruang lapang yang menganga hingga ke bagian belakang. Di sana dengan sengaja dipajang sejumlah kain batik aneka warna dan motif. Ada gambar bunga-bungaan, baik kembang maupun sulur-sulurnya. Ada pula empat buah pisau yang berpasangan ditempatkan menyilang. Tak lupa pada lembar lainnya ada rupa badak dan kacang-kacangan.

Di bagian belakang dan teras depan beberapa kompor kecil diletakkan secara acak. Kuali mungil bertakhta di atasnya. Canting (alat melukis) menumpuk di sejumlah sudut.

Baru kemudian dalam paparannya Bu Nelty perlahan-lahan menyingkap segala “misteri” itu mulai dari kain hingga perkakas membatik itu. Oh ya, kami pun bisa ikut ambil bagian membatik. Tentu dengan hasil yang jauh dari layak, tetapi lebih dari cukup sebagai cinderamata kerja pembatik amatiran.

Kekayaan Tangsel

Lembaran-lembaran kain batik itu sebenarnya berbicara banyak hal tentang Tangsel.  Ruang hidup yang secara administratif dikitari Kota Tangerang di sisi utara, Kabupaten Bogor di selatan, Kabupateng Tangerang di barat dan Jakarta di sisi timur, menyimpan banyak kisah.

Pertama,di Kelurahan Keranggan, Kecamatan Setu ada sentra kacang sangrai. Di tempat yang berjarak sekitar setengah jam dari ibu kota Tangsel, menuju ke barat, sejumlah pelaku usaha tekun mengolah kacang tanah yang masih lengkap dengan kulitnya.

Kacang tersebut disangrai (baca: digoreng tanpa minyak) dengan memanfaatkan alat pembakar tradisional seperti tungku dan kuali baja berukuran besar. Produksi kacang tersebut telah menembus berbagai pasar dengan omset miliaran rupiah. Orang mengenalnya sebagai kacang Keranggan.

Bu Nelty mengangkat potensi ekonomi tersebut ke dalam gambar-gambar kacang. Ia memberi nama motif kacang-kacangan itu sesuai namanya yakni motif Kacang Sangrai Keranggan. Motif yang terinspirasi dari para pelaku ekonomi itu biasanya ditampil dalam kain batik Sekar Jagat.Sekar Jagat, dalam penjelasannya secara terpisah, mengacu pada perpaduan berbagai unsur lokal dan kultural yang ada di wilayah Tangsel khususnya dan Banten umumnya.

Beberapa motif batik etnik Tangsel/gambar: dokpri
Beberapa motif batik etnik Tangsel/gambar: dokpri
Kedua,selain motif kacang sangrai, Bu Nelty juga mengambil inspirasi dari anggrek ungu yang ramai dibudidayakan di sejumlah wilayah di Tangsel. Meski anggrek hampir tersebar di mana-mana, anggrek yang dibudidayakan di Tangsel berjenis van Douglas. Menurut Bu Nelty, anggrek ungu ini sedang dalam perjuangan oleh Wali Kota Tangsel, Airin Rachmi Diany sebagai ikon atau lambang wilayah yang ibu kotanya terletak di tenggara Serang, ibu kota provinsi.  

Ketiga,selain flora juga fauna seperti motif badak yang membawa kita ke Ujung Kulon, tempat hewan langka bernama “Rhinoceros sondaicus” atau badak bercula-satu berada. Di samping itu motif ayam wareng dan ikan bandeng yang mudah ditemui di Tangsel.

Badak menjadi salah satu kekayaan flora Provinsi Banten/foto: dokpri
Badak menjadi salah satu kekayaan flora Provinsi Banten/foto: dokpri
Keempat,Hal lain yang menjadi perhatian wanita kelahiran Cianjur, 8 September 1962 itu adalah budaya lokal. Secara administratif kepemerintahan, Tangsel baru menjadi daerah otonom sejak  26 November, delapan tahun silam.

Usia administratif tersebut tidak ada apa-apanya dibandingkan sejarah dan budaya masyarakat yang telah tumbuh dan hidup selama berpuluh bahkan beratus tahun. Tiga etnis besar yakni Sunda, Betawi dan Tionghoa menjadi bagian dari taman sari budaya dari wilayah yang semasa penjajahan Belanda masuk Karesidenan Batavia itu.

Motif Mahkota Kerajaan Banten pun diambil untuk mengabadikan masa lalu Banten sebagai salah satu wilayah kerajaan Islam yang cukup berpengaruh di Jawa. Peninggalan Kesultanan Banten yang semula menjadi bagian dari wilayah Demak coba dilestarikan dalam motif-motif batik.

Selain itu Bu Nelty ingin mengingatkan bahwa Banten memiliki tokoh besar bernama Syekh Al Bantani. Sosok bernama lengkap Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani merupakan ulam Indonesia yang masyur hingga ke luar negeri. Ia bergelar al-Bantani untuk mengingat asalnya dari Tanara, Serang, Banten. Motif geometris Al Bantani hadir untuk merawat kenangan akan sosok legendaris itu.

Keempat,Bu Nelty yang mulai membatik sejak 2002, juga mengangkat motif-motif kontemporer yang berkaitan dengan lokasi-lokasi penting dan menarik seperti Situ Gintung, Stasiun Sudimara, hingga gerbang Tigaraksa.

Tak lupa ia mengangkat juga sisi menarik dari keindahan alam yang bisa dinikmati dari wilayah Banten. Salah satu yang terkenal adalah Gunung Krakatau. Meski gunung yang pernah menciptakan kehebohan tingkat dunia  itu tidak menjadi “milik” Banten setidaknya pesona keindahannya bisa direkam dari pandang mata orang-orang Banten.

Ia tetap keukeuh menghadirkan motif Pesona Krakatau dengan caranya sendiri.  “Memang Krakatau tidak berada di Tangsel. Tetapi, dari wilayah perairan di Anyer, kita bisa memandang pesona Krakatau yang begitu luar biasa indah dan fenomenal.”

Secara keseluruhan tak terhitung berapa banyak motif yang telah dibuat Bu Nelty. Ia mengaku sudah lebih dari seratus macam. Bagi Nelty banyak hal bisa dihadirkan dalam lembaran-lembaran batik. Namun, “Semua motif batik etnik Tangsel ini harus dibuat sedemikian rupa sehingga mudah melekat di telinga juga mata para pemakai dan pecinta batik.”

Motif batik etnik tangsel yang mengangkat kekayaan flora setempat/foto: dokpri
Motif batik etnik tangsel yang mengangkat kekayaan flora setempat/foto: dokpri
Ekpresi jiwa

Begitulah kesan yang saya alami saat diberi kesempatan membatik. Kami sudah diberi banyak kemudahan. Kain yang sudah diberi motif berikut peralatan tersedia. Kami langsung dimentori Bu Nelty dan beberapa karyawan. Memperhatikan mereka membuat pola dengan menggunakan malam (Inggris: wax atau lilin dalam bahasa Indonesia) terasa begitu mudah. Tetapi tidak bagi tangan-tangan yang baru pertama kali memegang canting.

“Sebelum menggambar cantingnya ditiup dulu Mas, “begitu peringatan dari Ibu Fausiah.

Wanita berusia 51 tahun itu lantas memperagakan bagaimana cara mengambil cairan lilin dari kuali, dengan hati-hati menghadapkannya ke wajah dan meniup lubang canting.

“Iyah biar cairannya tidak tersumbat,”begitu ia memberi alasan.

Saya coba mengikuti arahan tersebut. Tetapi saat mendaratkan canting di kain yang ditempel di atas paha, cairan lilin meluber kemana-mana. Alih-alih membentuk motif tertentu, yang dihasilkan malah gambar tak beraturan.

“Tidak apa-apa mas. Biasanya bagi pemula gambar dulu motifnya dengan pinsil,” Ibu Fausiah memberi penguatan.

Para peserta sedang membatik/foto: Dzulfikar Alala
Para peserta sedang membatik/foto: Dzulfikar Alala
Para peserta pun dengan segala cara menggambar motif pilihannya. Sejauh mata memandang tidak ada hasil yang istimewa. Ya, hasil baik dari kerja kreatif ini menuntut kesabaran.

Fausiah mengaku dirinya mulai membatik sejak berusia 13 tahun. Wanita kelahiran Pekalongan ini sudah terlatih sejak dini untuk membuat motif dan terlibat dalam proses membatik.

Begitu juga Samsudin. Suami dari Fausiah ini membatik sejak kecil. Ia mendapatkan keterampilan itu dari lingkungan sekitar. Anggota keluarganya adalah pengrajin batik. Mulai belajar colet membuat titik-titik, berpindah-pindah ke sejumlah tempat, hingga terdampar di Tangerang mengikuti Ibu Nelty.

Samsudin yang mengaku mahir dalam pewarnaan terlihat cekatan mengarahkan peserta saat memberi warna pada motif yang dibuat. Malam atau lilin hanya berfungsi sebagai penutup bagian kain agar tidak terwarnai dalam pencelupan. Warna putih akan muncul dari goresan malam itu.

Setelah kain-kain tadi diberi warna selanjutnya dicelup untuk mendapatkan warna tertentu. Pada bagian ini, menurut Bu Nelty dan diamini oleh Samsudin, diperlukan keterampilan untuk mencampur pewarna. Ketepatan warna, yang berasal dari pewarna sintetis dengan bahan kimia, yang dihasilkan dipengaruhi oleh kejelian dalam pengukuran. Sepertinya pengalamanlah yang berbicara paling keras dalam situasi seperti ini.

Terlepas dari proses teknisitu, Bu Nelty mengaku bahwa membatik tidak sekadar memproduksi kain dengan motif tertentu. “Dalam membatik terutama pewarnaan tidak banyak omong. Motorik bergerak dan imajinasi juga jalan,”ungkapnya.

Selain dibentuk dari kesabaran dan ketelitian, motif yang dihasilkan adalah ekpresi jiwa sang pembatik. “Tidak sembaran buat batik. Harus ada pola kalau tidak nanti seperti Jaka Sembung.Motif itu harus geometris dan simetris,”tandasnya disambut derai tawa peserta seperti sedang membayang motif kreasi sendiri.

Ketua Ketapels, Pak Rifki bersama putrinya memamerkan hasil membatik. Tentu setelah melewati beberapa proses mulai dari penggambaran motif hingga pewarnaan/ Foto: Dzulfikar Alala
Ketua Ketapels, Pak Rifki bersama putrinya memamerkan hasil membatik. Tentu setelah melewati beberapa proses mulai dari penggambaran motif hingga pewarnaan/ Foto: Dzulfikar Alala
Danamon bisa

Ibu Nelty mulai menekuni profesi membatik sejak 2004. Mulanya secara tidak langsung saat mencarikan souvenir bagi sang suami yang bekerja di perusahaan asing. “Saat itu saya beli banyak dan bertanya mengapa tidak membuat sendiri saja. Batik adalah warisan bangsa mengapa tidak lakukan sesuatu,”akunya.

Pertanyaan itu kemudian diwujudkan dalam hari-hari perjuangannya. Secara mandiri ia mengembangkan usahanya hingga mampu merambah pasar luar negeri. Saat pertama kali mengikuti pameran di Tokyo, Jepang, Ibu Nelty terpaksa meminjam dari bank sebesar Rp100 juta. Ternyata berbuah hasil luar biasa.

Sudah tujuh kali Nelty menyambangi Negeri Matahari Terbit. Selain itu sembilan kali ke China, juga pernah ke Canberra dan Melbourne di Australia dan Bremen, Jerman.  “Batik tangsel ada di Bremen, Tangsel menjadi pioner di sana,”ungkapnya disambut tepukan tangan peserta.

Meski sudah melanglang buana hingga ke mancanegara Bu Nelty tetap mengalami tantangan. Salah satunya adalah membanjirnya produk batik dari luar negeri dengan harga yang murah. Seperti disentil Rushan Novaly tentang menjamurnya batik impor dari China di salah satu pasar di Jakarta, Nelty tak bisa menampiknya. Meski begitu ia menegaskan bahwa produk-produk tersebut bukan batik dalam arti sesungguhnya.

“Itu tekstil motif batik,”tegasnya.

Situasi ini mendatangkan konsekuensi terkait permintaan pasar terhadap batik etnik Tangsel. Nelty mengeluhkan modal yang diperlukan untuk memproduksi batik dengan kualitas terjamin tetapi harga lebih rendah.

“Butuh modal usaha secara khusus untuk produksi membeli kain yang harganya terus naik. Setidaknya kami harus punya modal tiga kali lipat yakni untuk produksi, uang tagihan dan gaji karyawan. Harga bahan terus naik tetapi pembeli pengen murah,”urainya.

Salah satu pameran di mancanegara yang diikuti Bu Nelty/slide presentasi
Salah satu pameran di mancanegara yang diikuti Bu Nelty/slide presentasi
Dalam situasi ini kehadiran Danamon bisa menjadi solusi. Seperti diuraikan Myrza Adiyatma, Danamon menyiapkan sejumlah fasilitas untuk UKM. Selain fasilitas simpanan dan transaksi, Danamon juga menawarkan pinjaman dengan skema menarik.

Para pelaku UKM bisa memilih antara Kredit Rekening Koran (KRK), Kredit Berjangka (KB) dan Kredit Angsuran Berjangka (KAB). KRK membantu siapa saja yang ingin  meminjam tetapi penarikannya menggunakan cek. Pinjaman ini lebih dianjurkan untuk usaha yang telah memiliki pola.

“Kredit hari ini bisa langsung bayar. Mau tarik kapan saja dan bayar kapan saja,”tandas Myrza selaku product manager itu.

Sesuai namanya, KB berjangka waktu. Waktu pembayaran pun jelas. Begitu juga KAB yang lebih ditujukkan untuk investasi. Keuntungan KAB yakni bunga lebih murah dan jangka lebih panjang, bisa sampai 20 tahun. Namun KAB bunga langsung dihitung di awal, berbeda dengan KB yang menarik bunga dari setiap penarikan. KRK? “Tarik sehari bunga ya sehari itu,”lanjutnya.

Untuk memudahkan proses pinjaman, Myrza membocorkan sejumlah tips. Pertama,memiliki tempat yang jelas. Kedua,sudah berbadan usaha. Dan ketiga,keuangan perusahaan sehat setidaknya memiliki laporan keuangan yang jelas dan stabil.

Danamon benar-benar sedang mengulurkan tangan kepada para pelaku UKM. Hal ini ditandai dengan sengaja menurunkan bunga di setiap jenis kredit hingga pemberian cash back. Seperti taglinenya, untuk UKM tampaknya semua “bisa!”

Ibu Nelty memberi pelatihan kepada mahasiswa asing/slide presentasi
Ibu Nelty memberi pelatihan kepada mahasiswa asing/slide presentasi
Menjadi keren

Batik sudah resmi menjadi warisan budaya Indonesia. Dunia melalui UNESCO menggariskan itu sejak 2 Oktober 2009. Meski begitu tidak semua orang merasa bahwa batik sebagai kebanggaan bersama. Menurut Leonita Julian, lifestyleblogger, mengenakan batik sebagai sebuah kewajiban.

Padahal batik yang telah berkembang sedemikian rupa dalam corak, motif dan warna bisa menjadi sangat dekat dengan keseharian kita. Ia bisa dibentuk dan dimodifikasi untuk keperluan apa saja. Seperti ditunjukkan para desainer kondang seperti Iwan Tirta, Anne Avantie dan Lenny Agustin, batik bisa dijadikan busana yang nyaman dipakai dan sedap dipandang. Seperti misalnya hasil rancangan Lenny bertema origami yang terlihat cheerfull,penuh warna dan ceria. Bisa juga seperti Anne yang membuat batik lebih glamour.

Beberapa contoh batik kontemporer/gambar: dokpri
Beberapa contoh batik kontemporer/gambar: dokpri
Memang tidak mudah mengajak anak-anak muda zaman sekarang untuk mengenakan batik. Tetapi bagi Lenny hal tersebut mungkin terjadi bila memaksa anak muda mengenakan pakain dengan desain orang tua.

“Harus ikut psikologi anak muda. Anak-anak sekarang kan instagramable. Mereka suka pamer di sosmed. Batik bisa dibuat lebih keren dan diterima anak muda,”ungkapnya.

Selain menyesuaikan dengan psikologi penting diperhatikan faktor lain agar lebih terlihat keren. Memperhatikan karakter badan seperti tinggi dan bentuk tubuh. Serta kecakapan untuk memadupadankan dengan atasan atau jenis pakaian tertentu. 

Leonita Julian dalam busananya menjadi contoh keren dengan batik/foto: Dzulfikar Alala
Leonita Julian dalam busananya menjadi contoh keren dengan batik/foto: Dzulfikar Alala
Menjadi ibu

Kerja kreatif Ibu Nelty bertujuan untuk melestarikan dan mengangkat kearifan lokal Tangsel. Selain berusaha sendiri melalui lini usahanya, ia juga terlibat aktif dalam memberikan pelatih dan pendidikan kewirausahaan kepada masyarakat dan para siswa di sekolah-sekolah dan universitas.

Beberapa kali ia juga diundang oleh Kementerian Pendidikan untuk memberikan pelatihan kepada mahasiswa asing sebagai kenang-kenangan sebelum merea kembali ke negara asalnya.Batik produksi Bu Nelty hampir selalu menjadi langganan hajatan internal pemerintah Tangsel dan Provinsi Banten maupun yang melibatkan para tamu dari luar daerah atau luar negeri.

Meski begitu usaha seperti ini tidak cukup. Ada beberapa pekerjaan rumah yang saya tangkap dari mulut Ibu Nelty. Pertama,campur tangan pemerintah. Selain dalam bentuk modal usaha, pemerintah perlu mengambil sikap untuk mempatenkan motif khas etnis Tangsel. Hal ini penting dengan belajar dari kasus pencaplokan yang sempat heboh beberapa waktu lalu.

“(Batik) perlu dilestarikan. Jangan sampai sudah dicaplok negara lain baru teriak,”tandasnya.

Meski tidak menanggapi hal ini Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kota Tangsel, Firdaus mengaku bahwa usaha seperti Ibu Nelty turut mendukung perekonomian daerah. Ia juga memastikan bahwa pemerintah akan selalu mendukung para pelaku usaha seperti ditujukan melalui pembangunan gedung 10 lantai yang bisa dipakai oleh kalangan seperti Ibu Nelty.

Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kota Tangsel, Firdaus (bersafari) bersama Ibu Nelty, Ketua Ketapels dan beberapa kompasianer. Gambar: Dzulfikar Alala
Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kota Tangsel, Firdaus (bersafari) bersama Ibu Nelty, Ketua Ketapels dan beberapa kompasianer. Gambar: Dzulfikar Alala
Kedua,mencintai produk Indonesia seperti batik etnik. Masyarakat perlu disadarkan untuk memilih produk lokal yang dihasilkan daerah sendiri. Bu Nelty sadar bahwa selera tidak bisa dipaksakan tetapi penting untuk mengutamakan karya anak.

Meski menghadapi banyak tantangan komitmen Bu Nelty kepada kearifan lokal tak tergoyahkan. Ia telah bertekad, “Sekalipun tidak ada yang membeli kami terus melestarikan budaya Tangerang Selatan.”

Beberapa patah kata yang ia ucapkan terus mengiang hingga selepas acara. “Seperti ibu yang mempunyai  anak kalau tidak ada yang membanggakan  anaknya ya siapa lagi. Hanya ibu yang tahu seperti apa anaknya.” Maukah kau menjadi “ibu"?

Terima kasih Ketapels, Danamon, Kompasiana dan Ibu Nelty yang menuntun saya menjejaki Tangsel dalam selembar batik. Juga Mas Dzulfikar Alala untuk momen-momen terbaik dalam gambar-gambar. 

Para peserta memamerkan batik yang dikreasi sendiri/Foto: Dzulfikar Alala
Para peserta memamerkan batik yang dikreasi sendiri/Foto: Dzulfikar Alala

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun