Secara keseluruhan tak terhitung berapa banyak motif yang telah dibuat Bu Nelty. Ia mengaku sudah lebih dari seratus macam. Bagi Nelty banyak hal bisa dihadirkan dalam lembaran-lembaran batik. Namun, “Semua motif batik etnik Tangsel ini harus dibuat sedemikian rupa sehingga mudah melekat di telinga juga mata para pemakai dan pecinta batik.”
Begitulah kesan yang saya alami saat diberi kesempatan membatik. Kami sudah diberi banyak kemudahan. Kain yang sudah diberi motif berikut peralatan tersedia. Kami langsung dimentori Bu Nelty dan beberapa karyawan. Memperhatikan mereka membuat pola dengan menggunakan malam (Inggris: wax atau lilin dalam bahasa Indonesia) terasa begitu mudah. Tetapi tidak bagi tangan-tangan yang baru pertama kali memegang canting.
“Sebelum menggambar cantingnya ditiup dulu Mas, “begitu peringatan dari Ibu Fausiah.
Wanita berusia 51 tahun itu lantas memperagakan bagaimana cara mengambil cairan lilin dari kuali, dengan hati-hati menghadapkannya ke wajah dan meniup lubang canting.
“Iyah biar cairannya tidak tersumbat,”begitu ia memberi alasan.
Saya coba mengikuti arahan tersebut. Tetapi saat mendaratkan canting di kain yang ditempel di atas paha, cairan lilin meluber kemana-mana. Alih-alih membentuk motif tertentu, yang dihasilkan malah gambar tak beraturan.
“Tidak apa-apa mas. Biasanya bagi pemula gambar dulu motifnya dengan pinsil,” Ibu Fausiah memberi penguatan.
Fausiah mengaku dirinya mulai membatik sejak berusia 13 tahun. Wanita kelahiran Pekalongan ini sudah terlatih sejak dini untuk membuat motif dan terlibat dalam proses membatik.
Begitu juga Samsudin. Suami dari Fausiah ini membatik sejak kecil. Ia mendapatkan keterampilan itu dari lingkungan sekitar. Anggota keluarganya adalah pengrajin batik. Mulai belajar colet membuat titik-titik, berpindah-pindah ke sejumlah tempat, hingga terdampar di Tangerang mengikuti Ibu Nelty.